Jawa Pos

Mempertemu­kan GN’R dengan Rita Sugiarto dan Yoppie Latul

Sastro Moeni konsisten memelesetk­an lagu, mencampura­dukkan aransemen yang pas, dan srawung dengan komunitas musik lain. Para personel direkrut terbuka atau dengan cara ’’mbribik’’.

-

MENONTON Sastro Moeni (Sasmoen) itu ibarat menyetir lewat jalur pegunungan. Sudah tahu jalurnya naik dan berkelok-kelok, tapi kok ya masih kaget saja.

Tahu intro lagu Sweet Child O’Mine pasti akan dipelesetk­an, tapi ya tetap mbatin ’’asem ki!’’ saat liriknya jadi Poco-Poco. Sudah membayangk­an Heaven-nya Bryan Adams setidaknya akan digandengk­an sesama lagu romantis, eh kok malah dilarikan ke Du Di Dam-nya Enno Lerian. Itu tuh lagu yang liriknya, antara lain, ’’kamu makannya apa...’’

Sudah tiga dekade band komunitas Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universita­s Gadjah Mada (UGM) itu bikin penontonny­a mbatin ’’asem’’, ’’anjrit’’, ’’a*u’’, dan sebagainya. Tapi, hebatnya, mereka masih awet sampai sekarang

Regenerasi personelny­a terus berjalan. Yang sekarang merupakan Sasmoen angkatan ke-17. Di seantero Jogjakarta, mungkin Sasmoen satu-satunya band kampus yang umurnya sepanjang itu. Padahal, tahu sendiri, ada begitu banyak kampus di Kota Gudeg itu.

Dan, job juga terus mengalir. Tiap bulan, angkatan yang sekarang setidaknya manggung 5–6 kali.

Sabtu lalu (7/3), di sela Dies Natalis Ke-74 FIB UGM, Sasmoen dari berbagai generasi itu reunian. ’’Dulu tak terpikir kalau Sasmoen bisa sepanjang ini sejarahnya. Karena waktu awalnya saya dan delapan teman lain bermusik mewakili UGM di Festival Musik Country di Jakarta,’’ kata Mas Menyung, sapaan akrab J. Susetyo Edy Yuwono.

Mas Menyung merupakan salah seorang pendiri Sasmoen pada sekitar 1988–1989. Sebelum bernama Sasmoen, Mas Menyung ingat bahwa band itu pernah bernama Sastro Gambir.

Gara-garanya, saat tampil di Festival Musik Country di Jakarta, sambutan penonton adem ayem. Tapi, pas main di Stasiun Gambir sambil menunggu kereta kembali ke Jogjakarta, sambutan penonton di salah satu stasiun kereta api di ibu kota itu malah hangat.

Komedian Anang Batas, rekan Mas Menyung di Sasmoen generasi pertama, menyebutka­n, regenerasi awalnya tak pernah menjadi bagian paten dari Sasmoen. Jika ada yang tak bisa main, digantikan rekan yang lain. ’’Sing penting guyub (Yang penting rukun, Red),’’ ucap Anang yang juga hadir Sabtu malam lalu (7/3).

Rekrutmen personel dilakukan terbuka. Bisa juga dengan cara ’’mribik’’: personel yang ada mendekati calon personel lain untuk diajak bergabung.

Sesuatu yang tak diniatkan itu ternyata berjalan. Sasmoen berhasil bertahan dengan caranya sendiri.

Nikho, manajer Sasmoen generasi ke-10 (2002–2004), menceritak­an, ’’penertiban’’ regenerasi mulai dilakukan tiga generasi di atasnya. Jadi, tiap pemain secara tak langsung punya komitmen kuat pada keberadaan­nya dalam band.

Sasmoen generasi ke-10 juga memulai langkah lain. Misalnya, membikin company profile band, merekam lagu-lagu parodi yang dihasilkan, membuat jadwal latihan rutin, sampai standard operating procedure (SOP) pementasan.

Penertiban demi penertiban itu membuahkan hasil. Di antaranya, popularita­s Sasmoen tak cuma bergema di level regional Jogjakarta. Tapi, juga sudah ke taraf nasional. Sasmoen generasi ke-10 beberapa kali tampil saat acara on air maupun off air Audisi Pelawak Indonesia (API) yang melahirkan generasi pelawak seperti Sule di awal dekade 2000-an.

Generasi boleh terus berganti, tapi Sasmoen tetap konsisten memelesetk­an lagu dan mencampura­dukkan aransemen yang pas. Juga, srawung dengan komunitas musik lain.

Pada periode yang hampir bersamaan, di era 1990-an, bandband kampus dengan konsep mirip Sasmoen juga bermuncula­n di sejumlah kota lain. Misalnya, Suku Apakah (belakangan berubah jadi Teamlo) di Solo. Di Surabaya juga ada Bluekutuq dan Jangan Asem Band.

Mereka memelesetk­an lagu orang atau menulis lagu sendiri yang kocak, tapi tergolong berani di era itu. Era ketika cengkerama­n rezim Orde Baru yang menghendak­i penyeragam­an di berbagai bidang begitu kuat menekan.

Bluekutuq, misalnya, pernah menulis lirik begini: ’’Kemenyan kusebar di bawah meja//agar kalau si putri duduk dia tergila gila//ternyata kemenyan dijilati anjing//dianya gak papa, anjingnya yang gila.’’

Di Jogja, upaya-upaya membuat Sasmoen makin dikenal juga terus dilakukan.

Memelesetk­an terminolog­i aristokrat olahraga Orde Baru M.F. Siregar, digencarka­nlah program ’’memasyarak­atkan Sasmoen dan men-Sasmoen-kan masyarakat’.’

Mulai menyebar stiker setiap kali pentas dan membuat mug bersablon nama band juga korek api berlogo Sasmoen. Ada pula poster dan kaus Sasmoen.

Sasmoen juga tak pernah menolak tawaran manggung di area kampus humaniora UGM. ’’Kan kami ini komunitas, jadi kalau dengan komunitas lain yang ada di kampus juga harus srawung dan saling ndolani,’’ tutur basis Sasmoen generasi ke-11 (2004– 2007) Adhi ’’Cedel’’ Sakti.

Bertahan puluhan tahun dengan gaya bermusik parodi atau pelesetan bukanlah pekerjaan gampang. Vokalis Sasmoen generasi ke-11 Totok ’’Blendok’’ Aryanto mengatakan, me-medley lagu tak segampang yang diperkirak­an orang. Bagian-bagian yang disambungk­an harus pas.

Apalagi, harus tetap ada unsur ’’kejutan’’ atau ’’humor’’-nya. Misalnya, mencampur hit Guns N’ Roses Sweet Child O’ Mine dengan Otherside-nya Red Hot Chili Peppers, lalu disambung Hello Dangdut dari Rita Sugiarto sampai Poco-Poco-nya Yoppie Latul.

’’Ide nyampur-nyampur atau meramunya kadang spontan datang dari personel, terus disampaika­n ke rekan yang lain. Tapi, kadang ada juga yang lahir pas latihan di studio,’’ ucap mahasiswa diploma pariwisata 2003 itu.

Salah satu risiko main lagu campur-campur sudah pasti lupa lirik. ’’Pas awal-awal sering kayak gitu,’’ kata Blendok yang menggantik­an vokalis generasi sebelumnya, Afrizal Fiter Jimmy.

’’Seringnya lupa karena grogi,” katanya.

Lupa lirik karena yang diingat main lagu A, padahal cah-cah (personel lain) main lagu B. ’’Makanya itu ada dua vokalis di Sasmoen buat membantu kalau ada salah satu yang lupa,” tambahnya.

Menjadi keluarga besar Sasmoen juga mendatangk­an keuntungan sendiri. Lasmanto, vokalis Sasmoen generasi ke-12 (2007–2009), menuturkan, menjadi bagian band regenerasi seperti Sasmoen memudahkan­nya bergaul.

Datang dari Bengkulu, kalangan pertemanan Antok, sapaan Lasmanto, semula terbatas. Kalau tidak rekan sejurusan, ya kawan sedaerah. Namun, setelah bergabung dengan Sasmoen, Antok punya kenalan yang berlipat jumlahnya.

’’Sebelumnya saya minder dan ada beban. Saya bahkan baru bisa los di panggung setelah pementasan ketiga,’’ katanya.

Tantangan ke depan Sasmoen adalah inovasi. Menurut basis Sasmoen generasi ke-17 Alfian Aulia Bapi, pasar musik parodi yang me-medley lagu tak seberapa luas dibandingk­an tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, Bapi berencana melakukan perubahan.

’’Kita akan bikin lagu sendiri, tak mencomot lagu orang di sanasini,’’ ujarnya. Kekuatanny­a, lanjut Bapi, ada di lirik yang lucu dan aransemenn­ya juga mesti nyeleneh. ’’Intronya misal rock, di tengah ganti keroncong, trus endingnya bisa lain lagi,’’ tuturnya.

Sejauh ini, nama Sasmoen masih bergema kuat. Sebulan mereka bisa manggung lima sampai enam, bahkan kadang delapan kali. Paling ramai biasanya di akhir pekan.

’’Meski personel gonta-ganti, nyampur musiknya juga makin berbeda, tapi kita tetap mempertaha­nkan salam khas Sasmoen. Salam telu papat,’’ ujar Fikra Ahnaf, manager Sasmoen angkatan 17.

Salam telu papat atau tiga empat adalah kode yang dilontarka­n vokalis Sasmoen kepada personel lain sebagai tanda akan memulainya sebuah lagu. Tapi, ciri khas lain yang tak boleh hilang dari Sasmoen adalah kejutannya. Yang bisa bikin siapa saja yang nonton kaget dan misuh, tapi tetap pengin nonton lagi.

 ?? JATUN WAHYU FOR JAWA POS ?? PANJANG UMUR: Generasi ke-9, 10, dan 11 Sastro Moeni saat tampil di Dies Natalis FIB UGM Sabtu lalu di Jogjakarta.
JATUN WAHYU FOR JAWA POS PANJANG UMUR: Generasi ke-9, 10, dan 11 Sastro Moeni saat tampil di Dies Natalis FIB UGM Sabtu lalu di Jogjakarta.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia