Rusia dan Arab Saudi Perang Harga Minyak
RIYADH, Jawa Pos – Harga minyak bumi global yang terjun bebas kemarin (9/3) membuat pelaku bisnis dan investor keder. Sebab, perselisihan dua raksasa migas dunia yang jadi penyebab penurunan harga masih jauh dari garis finis. Jika tak dicegah, krisis harga minyak mentah mencetak rekor terburuk dalam empat dekade terakhir.
CNN melansir, harga minyak di AS sempat turun 34 persen menjadi USD 27,34 (Rp 393 ribu) per barel. Sementara itu, minyak Brent yang biasa dijadikan tolok ukur internasional turun hingga 26 persen menjadi USD 33,49 (Rp 481 ribu) per barel. Meski nilainya perlahan membaik, harga minyak tak pernah menyentuh lagi angka USD 40 (Rp 575 ribu) per barel.
Sehari sebelumnya, harga minyak masih di atas angka USD 40 per barel. Namun, bursa berjangka dibuka dengan angka superrendah setelah Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan kebijakan baru. Negara anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) itu memangkas harga jual minyak bumi mereka.
Riyadh memutuskan untuk menurunkan harga komoditas yang diantarkan April sebanyak USD 6–8 (Rp 86 ribu–Rp 115 ribu) untuk wilayah Asia. Harga untuk pengiriman ke AS juga dikurangi USD 7 (Rp 100 ribu). ’’Ini tandanya Arab Saudi siap memulai perang harga minyak bumi,’’ ungkap Matt Smith, direktur riset komoditas di ClipperData, kepada CNN.
Pakar mengatakan, Arab Saudi sedang bersikap nekat. Mereka ingin mengambil kembali gelar pemasok migas utama di bumi. Keputusan itu berasal dari pertemuan antara anggota OPEC dan negara produsen migas lainnya.
Awalnya, OPEC ingin kembali membatasi produksi dan penjualan minyak untuk mengatasi harga yang turun akibat virus korona. Karena itu, anggota OPEC mengusulkan seluruh produsen mengurangi produksi 1,5 juta barel per hari.
Masalahnya, Rusia sebagai produsen minyak bumi di luar OPEC menolak ajakan tersebut. ’’Sekarang pemain besar sedang bermain adu nyali. Tak ada yang tahu bagaimana akhir dari permainan ini,’’ ujar Helima Croft, kepala strategi komoditas global RBC Capital Markets, kepada Agence France-Presse.