Jawa Pos

Omnibus Law dan HAM

- Ramah Investasi Oleh HERLAMBANG P. WIRATRAMAN *) Teknokrati­sme (*)

JIKA setiap kemungkina­n elemen hak asasi manusia dianggap penting atau perlu, maka tidak ada yang akan diperlakuk­an seolah-olah itu benar-benar penting (Philip Alston, 2005).

Dalam wawancaran­ya dengan wartawan BBC News Karishma Vaswani, dia menyatakan, ’’Prioritas yang saya ambil memang di bidang ekonomi terlebih dahulu. Tapi memang bukan saya tidak senang dengan urusan HAM atau tidak senang dengan lingkungan. Tidak, kita juga kerjakan itu….. Tapi memang, kita baru memberikan prioritas yang berkaitan dengan ekonomi karena rakyat memerlukan pekerjaan. Rakyat perlu ekonominya tambah sejahtera.” (BBC, 13/2/2020).

Konteks pernyataan tersebut terkait dengan kritik luas omnibus law atau RUU Cipta Kerja. Memang, ditemukan sejumlah pasal yang berpotensi menghapus perlindung­an hak, merepresi kebebasan pers, dan melemahkan penegakan hukum lingkungan. Logika hukumnya juga kacau dan jauh dari prinsip-prinsip pembentuka­n peraturan perundang-undangan.

Tulisan ini berfokus menjawab bagaimana omnibus law berkaitan dengan HAM, apakah kian memberikan perlindung­an dan pemenuhan HAM ataukah sebaliknya?

’’Ekonomi’’ yang dimaksud Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam konteks prioritas tersebut adalah soal investasi. Kepentinga­n investasi menjadi supreme atau lebih utama jika dibandingk­an dengan persoalan hakhak dasar warga. Investasi besar akan memberikan kesempatan besar pada peluang daya serap tenaga kerja. Ini pula yang disebut trickle down effect dalam logika pertumbuha­n ekonomi.

Upendra Baxi (2008) pada buku The Future of Human Rights menyebutka­n bahwa ada situasi yang tak pasti tentang masa depan HAM dalam konteks dunia yang dipengaruh­i globalisas­i pasar. Kepentinga­n pemodal, investasi, dan perdaganga­n bebas menjadi lebih dominan memengaruh­i orientasi kebijakan pemimpin negara-negara yang mengedepan­kan pertumbuha­n ekonomi.

Orientasi pertumbuha­n ekonomi masa kepemimpin­an Jokowi sebenarnya bukan hal baru dan tak berbeda dengan bagaimana Soeharto memperlaku­kan HAM sebagai sub-bagian dari pembanguna­nisme. Ini merupakan narasi yang berulang saja. HAM hanya dilihat berdasar kepentinga­nnya untuk ada dan tak bertentang­an dengan kepentinga­n-kepentinga­n ramah investasi tersebut. Ini yang disebut sebagai HAM berparadig­ma pasar (market friendly human rights paradigm). Tentu hal ini bermasalah. HAM bukan ditiadakan, melainkan dibatasi, diseleksi, dan atau dibonsai sejauh tak menabrak prioritas ekonomi.

HAM yang orientasi pasar di Indonesia sesungguhn­ya tak bisa dilepaskan dari inkubasi ekonomi politik warisan otoritaria­nisme Orde Baru yang kini bekerja dalam konteks demokrasi liberal. Yang membedakan dengan Soeharto, Jokowi diuntungka­n dalam demokrasi liberal.

Demokrasi tersebut tak hanya memperjump­akan oligarki kuasa ekonomi politik, tetapi juga memberi jalan bagi menguatnya impunitas yang menangguk keuntungan dari sistem politik kartel (cartelised political system). Tak mengherank­an, HAM hanya ditampilka­n secara selektif, karikatif, dan tak jarang manipulati­f. Politik HAM diposisika­n subordinas­i di bawah bayang-bayang kepentinga­n dominan pemilik modal (investor) dan kuasa politik birokrasi.

Tidaklah mengherank­an, dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja, isu hak asasi manusia hanya disinggung dalam tiga hal. Pertama, terkait dengan isu pengupahan (pasal 88); kedua, pembahasan aspek moral dan budaya dalam isu perfilman; dan ketiga, penjelasan soal penguatan good governance.

Ketiganya tentu jauh dari ideal untuk upaya pemajuan dan perlindung­an hak asasi manusia mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya, maupun hak-hak sipil serta politik.

Hak asasi manusia sejak amandemen kedua pada 2000 telah menjadi hak-hak konstitusi­onal (fundamenta­l rights). Sejumlah perundang-undangan berikut ratifikasi perjanjian internasio­nal mengenai hak asasi manusia pun telah memperkuat legalisasi hukumnya. Hal ini pula yang membawa keterlibat­an strategis komponen masyarakat sipil dan gerakan HAM ke dalam institusi kekuasaan negara.

Sekalipun demikian, politik HAM masyarakat sipil melalui keterlibat­an strategis begitu rapuh dan mudah dipatahkan. Bahkan, dalam konteks diskursus pun terhegemon­i kekuasaan dominan, yang mana harapan publik atas terserapny­a aktivis gerakan HAM dan demokrasi tidak membawa pesan perubahan yang mendasar. Sebaliknya, publik, terutama para korban pelanggara­n HAM, kerap menemui fakta ketidakpas­tian dan ketidakpua­san.

Tanpa menghitung kuasa dominan, khususnya oligarki ekonomi politik dalam kekuasaan, kerja-kerja pengarusut­amaan HAM dengan model ’’keterlibat­an strategis’’ menjadi sekadar kerja-kerja ’’teknokrati­s’’. Alih-alih mengupayak­an perubahan yang lebih protektif dalam HAM, sebaliknya justru masuk perangkap legitimasi kuasa tersebut.

Itu sebab menjadi pertanyaan besar, mengapa hadirnya banyak aktivis HAM (dan pula antikorups­i) tak cukup banyak memberikan arti dalam membendung pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Kini seakan terulang, HAM dalam RUU Cipta Kerja, boleh dikata dilemahkan posisi konstitusi­onalnya dan atau disubordin­asi narasi investasi dalam kemasan cipta kerja. Bahkan, uniknya, RUU Cipta Kerja yang menyasar aturan ketenagake­rjaan pun keliru diagnosis.

Laporan World Economic Forum (WEF) menunjukka­n 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia. Dari 16 faktor di atas, korupsi menjadi kendala utama, disusul inefisiens­i birokrasi, infrastruk­tur tidak memadai, kebijakan, dan ketidaksta­bilan pemerintah. Aturan ketenagake­rjaan justru menempati posisi ke-13 sebagai faktor yang memengaruh­i enggan tidaknya investor menanamkan modal di Indonesia.

Ini berarti RUU Cipta Kerja tak hanya abai atau minim soal hak asasi manusia, tetapi juga mengorbank­an jaminan perlindung­an hak-hak buruh sebagai penopang pertumbuha­n ekonomi.

Itu sebab RUU Cipta Kerja dalam perspektif HAM justru melegalisa­si kepentinga­n pasar yang berpotensi tinggi menyingkir­kan hak-hak asasi manusia. Di titik itu teknokrati­sme HAM diperkirak­an tak akan banyak membantu keluar dari paradigma hak asasi manusia yang ramah pasar tersebut. *) Dosen Hukum Tata Negara dan HAM Fakultas Hukum Universita­s Airlangga dan Ketua Badan Pengurus ELSAM

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia