Menyelamatkan BPJS
BEBAN negara bertambah lagi. Putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS jelas memusingkan pemerintah. Bagaimana menambal defisit menganga selebar Rp 32,84 triliun, makin pelik. Padahal, Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan, yang pasal kenaikan iurannya dibatalkan MA itu, diandalkan mampu mengentas BPJS dari kubangan tekor.
Menkeu Sri Mulyani di DPR (18/2/2020) pernah mengatakan akan menarik suntikan Rp 13,5 triliun. Yakni, bila DPR terus mendesak kenaikan iuran BPJS dibatalkan dengan alasan membebani rakyat.
Ketika kini kenaikan iuran tersebut benarbenar dibatalkan MA, tentu tak semudah itu Menkeu merealisasikan ucapannya. Sebab, pasti terjadi komplikasi finansial, apalagi suntikan pemerintah tersebut sudah digunakan untuk menambal tagihan-tagihan ke BPJS yang berjibun.
Karena iuran kembali ke aturan lama, Perpres 82/2018, BPJS pun harus menghitung ulang. BPJS menargetkan akan surplus sekitar Rp 2 triliun di akhir 2020 karena pemberlakuan kenaikan tarif.
Hitungannya harus kembali ke hitungan lama. Dari sebesar Rp 42.000 ke Rp 25.500 untuk kelas III. Dari Rp 110.000 ke Rp 51 ribu untuk kelas II. Dan dari Rp 160.000 ke Rp 80 ribu untuk kelas I. Bisa dibayangkan angka defisit yang makin bengkak. Keributan tentang tunggakan BPJS sudah terbayang akan lebih gaduh.
Sebenarnya masih ada jalan meski sangat berat. Yakni, penguatan penagihan iuran BPJS agar kolektibilitasnya meningkat ke angka 80–90 persen dari 60 persenan selama ini. Rajin menagih iuran itu memang tidak populer, tetapi harus dilakukan supaya ada keseimbangan antara tuntutan hak dan kewajiban.
Selain itu, BPJS perlu mengutamakan pelayanan ke kesehatan dasar, sesuai misi semula. BPJS perlu makin intensif menyeleksi tindakan kesehatan yang mengisap banyak biaya. Misalnya, biaya pasang ring Rp 10,5 triliun dan operasi Caesar Rp 5 triliun.
Bila perlu, pasien-pasien yang memerlukan tindakan itu diwajibkan punya asuransi pendamping. Khususnya bagi pasien yang mampu. Itu untuk menegaskan sifat gotong royong dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Jangan sampai ada ketidakmerataan pelayanan karena ada biaya terlalu besar di bidangbidang tindakan medis tertentu.
Meskipun BPJS bersifat pelayanan kepada rakyat, tetap harus ada hitungan rasional dalam penerapannya. Diperlukan ketegasan dan akuntabilitas dari penyelenggara. Jangan sampai BPJS dianggap sebagai kedermawanan yang tanpa hitungan. Kalau itu terjadi, keberlanjutan sistem jaminan nasional akan terancam. Mana bisa berlanjut kalau terus-menerus tekor.