Pencucian Uang dalam Kasus Jiwasraya
KASUS Jiwasraya menjadi pertaruhan kepercayaan publik terhadap bisnis asuransi. Kepercayaan pada dasarnya merupakan modal spiritual utama di samping modal duit. Betapa akan tidak berdayanya sebuah perusahaan, termasuk industri asuransi sebagai lembaga keuangan nonbank, jika masyarakat sudah tidak memercayainya lagi.
Kasus Jiwasraya tersebut, yang diduga dijadikan sebagai sarana memperoleh keuntungandengancara-caramelanggar hukum, akan membuat pelaku merasa tidak tenang menikmati hasil kejahatan. Sebab itu, tentu diupayakan untuk dikaburkan (dicuci) asal perolehannya sehingga akan tampak sebagai hasil yang diperoleh dari usaha legal. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) melalui pasal 2 telah mengatur mengenai keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatan sebagai tidak pidana asal (predicate crimes). TPPU sebagai tindak pidana lanjutan ataupun tindak pidana yang berdiri sendiri (independent crimes) dapat dilihat dari proses pencuciannya melalui sejumlah tahapan.
Pertama, placement harta kekayaan ke dalam sistem keuangan melalui bank atau lembaga keuangan lainnya. Transaksi-transaksi tersebut dilakukan melalui jumlah yang lebih besar dengan memecahnya ke dalam transaksitransaksi kecil (smurfing). Alternatif lainnya adalah secara fisik menyelundupkan dalam jumlah besar uang tunai ke luar negeri dan menyimpannya di negara yang persyaratan pelaporannya kurang ketat.
Kedua, mentransfer (layering) harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (PJK), terutama bank, ke PJK yang lain. Dilakukan layering sebagai upaya menghindar dari kejaran penegak hukum untuk dapat mengetahui asal-usul harta.
Ketiga, integration, yang butuh penempatan kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan ke dalam ekonomi yang sah tanpa menimbulkan kecurigaan asal perolehannya. Contohnya, membeli realestat atau dapat melibatkan bank di negara-negara yang tidak ada peraturan money laundering secara memadai.
Sesuai UU TPPU, ada kriteria pelaku pencucian uang, yakni pelaku aktif dan pelaku pasif (pasal 3-5). Sementara itu, pasal 5 (1) menyebutkan,” Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan basil tindak pidana….” Bahkan, jika pelakunya korporasi, dapat dikenai ketentuan pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU TPPU.
Untuk menjerat pelaku kasus Jiwasraya, aparat memang sudah seharusnya memberdayakan UU TPPU (Jawa Pos, 18/1/2020). Sebab, TPPU tidak hanya masalah internal Indonesia, tapi juga merupakanmasalahduniainternasional. Berbagai konferensi telah diadakan dalam upaya membahas cara-cara atau metode-metode strategis untuk mencegah dan memberantas jenis kejahatan tersebut. Terlebih, dengan telah dibentuknya Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering oleh negara-negara yang tergabung dalam G-7 sebagai upaya untuk mengintensifkan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang menjadi lebih terkoordinasi. Karena itu, FATF mengimbau negara-negara, termasuk Indonesia, agar ikut memerangi perbuatan pencucian uang sebagai suatu kejahatan lanjutan dari kejahatan yang terorganisasi. Yaitu dengan mengkriminalisasikan TPPU sebagai suatu kejahatan yang dilarang dan menghukum para pelakunya.
Dalam kasus Jiwasraya, para pelakunya tentu saja bukan orang-orang biasa. Namun, diduga melibatkan orangorang ’’berdasi” (white collar) dan dilakukan secara terorganisasi.
Komitmen Indonesia dalam menghadapi kejahatan yang terorganisasi telah tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi. Dalam UU tersebut dinyatakan, ”Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam, dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya.”
TPPU pada dasarnya juga merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi karena ruang lingkup dan dimensinya begitu luas sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai kejahatan terorganisasi, kejahatan kerah putih, kejahatan korporasi, dan kejahatan transnasional. Bahkan, dengan kemajuan teknologi informasi, TPPU dapat menjadi salah satu bentuk kejahatan cyber.
Untuk mengejar aset hasil kejahatan kasus Jiwasraya, seharusnya juga perlu memperhatikan UU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Sebab, kegiatan transfer dana di Indonesia belakangan menunjukkan peningkatan, baik jumlah transaksi, nilai nominal transaksi, maupun jenis media yang digunakan. Hal itu telah ditunjukkan dengan sejumlah kasus yang pernah terjadi. Di antaranya, kasus transfer dana secara ilegal (illegal
remittance) senilai USD 1,4 miliar (Rp 18,9 triliun) yang diduga dilakukan WNI melalui bank di luar negeri (Tempo.co, 9/9/2017).
Pengejaran aset tersebut merupakan salah satu bentuk upaya memberikan kepercayaan kepada mereka yang menjadi korban dalam kasus Jiwasraya terhadap adanya kepastian jaminan perlindungan aset nasabah yang diduga menjadi objek kejahatan pelaku.
Namun, sebagai catatan, sebenarnya dalam kasus Jiwasraya, tidak akan timbul korban yang begitu besar apabila fungsi pengawasan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja optimal. Tentunya, jika OJK sejak dini mengawasi sehingga dapat melakukan mitigasi untuk mengurangi risiko kerugian nasabah lebih besar.
UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memberikan amanat kepada OJK agar mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta melakukan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Tampak amanat itu kurang dijalankan dengan baik sehingga yang seharusnya mencegah adalah lebih baik daripada mengobati tidak terjadi pada kasus Jiwasraya. Akibatnya, mereka yang telah menaruh kepercayaan kepada Jiwasraya untuk mengelola dananya malah menjadi korban dan sekarang penegak hukum bekerja keras untuk mengejar aset yang kemungkinan akan dikaburkan asal perolehannya oleh para pelaku.
Guru besar hukum pidana korporasi dan pencucian uang Fakultas Hukum Universitas Jember