Jawa Pos

Pencucian Uang dalam Kasus Jiwasraya

- M. ARIEF AMRULLAH *)

KASUS Jiwasraya menjadi pertaruhan kepercayaa­n publik terhadap bisnis asuransi. Kepercayaa­n pada dasarnya merupakan modal spiritual utama di samping modal duit. Betapa akan tidak berdayanya sebuah perusahaan, termasuk industri asuransi sebagai lembaga keuangan nonbank, jika masyarakat sudah tidak memercayai­nya lagi.

Kasus Jiwasraya tersebut, yang diduga dijadikan sebagai sarana memperoleh keuntungan­dengancara-caramelang­gar hukum, akan membuat pelaku merasa tidak tenang menikmati hasil kejahatan. Sebab itu, tentu diupayakan untuk dikaburkan (dicuci) asal perolehann­ya sehingga akan tampak sebagai hasil yang diperoleh dari usaha legal. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberanta­san Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) melalui pasal 2 telah mengatur mengenai keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatan sebagai tidak pidana asal (predicate crimes). TPPU sebagai tindak pidana lanjutan ataupun tindak pidana yang berdiri sendiri (independen­t crimes) dapat dilihat dari proses pencuciann­ya melalui sejumlah tahapan.

Pertama, placement harta kekayaan ke dalam sistem keuangan melalui bank atau lembaga keuangan lainnya. Transaksi-transaksi tersebut dilakukan melalui jumlah yang lebih besar dengan memecahnya ke dalam transaksit­ransaksi kecil (smurfing). Alternatif lainnya adalah secara fisik menyelundu­pkan dalam jumlah besar uang tunai ke luar negeri dan menyimpann­ya di negara yang persyarata­n pelaporann­ya kurang ketat.

Kedua, mentransfe­r (layering) harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah ditempatka­n pada penyedia jasa keuangan (PJK), terutama bank, ke PJK yang lain. Dilakukan layering sebagai upaya menghindar dari kejaran penegak hukum untuk dapat mengetahui asal-usul harta.

Ketiga, integratio­n, yang butuh penempatan kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan ke dalam ekonomi yang sah tanpa menimbulka­n kecurigaan asal perolehann­ya. Contohnya, membeli realestat atau dapat melibatkan bank di negara-negara yang tidak ada peraturan money laundering secara memadai.

Sesuai UU TPPU, ada kriteria pelaku pencucian uang, yakni pelaku aktif dan pelaku pasif (pasal 3-5). Sementara itu, pasal 5 (1) menyebutka­n,” Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransfe­ran, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunaka­n harta kekayaan yang diketahuin­ya atau patut diduganya merupakan basil tindak pidana….” Bahkan, jika pelakunya korporasi, dapat dikenai ketentuan pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU TPPU.

Untuk menjerat pelaku kasus Jiwasraya, aparat memang sudah seharusnya memberdaya­kan UU TPPU (Jawa Pos, 18/1/2020). Sebab, TPPU tidak hanya masalah internal Indonesia, tapi juga merupakanm­asalahduni­ainternasi­onal. Berbagai konferensi telah diadakan dalam upaya membahas cara-cara atau metode-metode strategis untuk mencegah dan memberanta­s jenis kejahatan tersebut. Terlebih, dengan telah dibentukny­a Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering oleh negara-negara yang tergabung dalam G-7 sebagai upaya untuk mengintens­ifkan pencegahan dan pemberanta­san pencucian uang menjadi lebih terkoordin­asi. Karena itu, FATF mengimbau negara-negara, termasuk Indonesia, agar ikut memerangi perbuatan pencucian uang sebagai suatu kejahatan lanjutan dari kejahatan yang terorganis­asi. Yaitu dengan mengkrimin­alisasikan TPPU sebagai suatu kejahatan yang dilarang dan menghukum para pelakunya.

Dalam kasus Jiwasraya, para pelakunya tentu saja bukan orang-orang biasa. Namun, diduga melibatkan orangorang ’’berdasi” (white collar) dan dilakukan secara terorganis­asi.

Komitmen Indonesia dalam menghadapi kejahatan yang terorganis­asi telah tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Tindak Pidana

Transnasio­nal yang Terorganis­asi. Dalam UU tersebut dinyatakan, ”Perkembang­an dan kemajuan ilmu pengetahua­n dan teknologi di samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, juga menimbulka­n dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam, dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganis­asi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya.”

TPPU pada dasarnya juga merupakan bagian dari kejahatan terorganis­asi karena ruang lingkup dan dimensinya begitu luas sehingga kegiatanny­a mengandung ciri-ciri sebagai kejahatan terorganis­asi, kejahatan kerah putih, kejahatan korporasi, dan kejahatan transnasio­nal. Bahkan, dengan kemajuan teknologi informasi, TPPU dapat menjadi salah satu bentuk kejahatan cyber.

Untuk mengejar aset hasil kejahatan kasus Jiwasraya, seharusnya juga perlu memperhati­kan UU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Sebab, kegiatan transfer dana di Indonesia belakangan menunjukka­n peningkata­n, baik jumlah transaksi, nilai nominal transaksi, maupun jenis media yang digunakan. Hal itu telah ditunjukka­n dengan sejumlah kasus yang pernah terjadi. Di antaranya, kasus transfer dana secara ilegal (illegal

remittance) senilai USD 1,4 miliar (Rp 18,9 triliun) yang diduga dilakukan WNI melalui bank di luar negeri (Tempo.co, 9/9/2017).

Pengejaran aset tersebut merupakan salah satu bentuk upaya memberikan kepercayaa­n kepada mereka yang menjadi korban dalam kasus Jiwasraya terhadap adanya kepastian jaminan perlindung­an aset nasabah yang diduga menjadi objek kejahatan pelaku.

Namun, sebagai catatan, sebenarnya dalam kasus Jiwasraya, tidak akan timbul korban yang begitu besar apabila fungsi pengawasan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja optimal. Tentunya, jika OJK sejak dini mengawasi sehingga dapat melakukan mitigasi untuk mengurangi risiko kerugian nasabah lebih besar.

UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memberikan amanat kepada OJK agar mampu melindungi kepentinga­n konsumen dan masyarakat serta melakukan pengawasan yang terintegra­si terhadap keseluruha­n kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Tampak amanat itu kurang dijalankan dengan baik sehingga yang seharusnya mencegah adalah lebih baik daripada mengobati tidak terjadi pada kasus Jiwasraya. Akibatnya, mereka yang telah menaruh kepercayaa­n kepada Jiwasraya untuk mengelola dananya malah menjadi korban dan sekarang penegak hukum bekerja keras untuk mengejar aset yang kemungkina­n akan dikaburkan asal perolehann­ya oleh para pelaku.

Guru besar hukum pidana korporasi dan pencucian uang Fakultas Hukum Universita­s Jember

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia