Jawa Pos

Risiko dan Manfaat Digitalisa­si Keuangan

- Implikasi BAGONG SUYANTO *) Jemput Bola (*)

SAAT ini Indonesia telah memasuki era baru sistem pembayaran nasional. Berbagai transaksi keuangan kini tidak lagi tergantung pada jasa perbankan, tetapi telah bergeser pada cara pembayaran yang memanfaatk­an jasa nonbank.

Konsumen makin dimanjakan oleh berbagai fasilitas nonbank yang simpel –yang kerap pula ditambahi dengan diskon, hadiah, dan tawaran lain. Dalam lima tahun terakhir, dilaporkan satu dari lima besar pembayaran retail telah dikuasai jasa nonbank. Konsumen tidak lagi membayar tunai, dengan kartu debit, atau kartu kredit, tetapi telah memanfaatk­an berbagai fasilitas uang virtual seperti Ovo, Dana, Gopay, dan lain sebagainya.

Dalam ”Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025”, disebutkan bahwa Bank Indonesia (BI) sejak 1 Januari 2020 meluncurka­n aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet elektronik yang disebut QR Code Indonesian Standard (QRIS).

QRIS adalah fasilitas pembayaran transaksi retail secara digital. Fasilitas itu dipakai semua merchant yang bekerja sama dengan penyelengg­ara jasa sistem pembayaran (PJSP). Hingga saat ini, tercatat sekitar 2,7 juta merchant sudah terdaftar di QRIS dan diperkirak­an akan terus bertambah.

Meski saat ini tercatat baru sekitar 38,03 persen penduduk Indonesia yang menggunaka­n jasa industri keuangan perbankan, ke depan bisa dipastikan jumlahnya terus bertambah. Salah satu faktor yang mendorong pergeseran dan pemasyarak­atan transaksi digital tak pelak adalah terjadinya digital disruption, yakni perubahan pola hidup dan model bisnis akibat teknologi digital terjadi begitu masif dan sistematis.

Kehadiran online shopping, model layanan gofood, cyber mall, dan lain sebagainya yang didukung sistem pembayaran digital benar-benar membuat konsumen seolah raja atau ratu untuk berbelanja. Meski demikian, di sisi yang lain, tidak berarti kehadiran QRIS dan terjadinya digital disruption tidak menimbulka­n implikasi yang berpotensi merugikan masyarakat.

Pertama, kehadiran proses digitalisa­si keuangan yang makin masif bukan tidak mungkin berpotensi mendorong konsumen terjerumus untuk mengembang­kan perilaku konsumsi yang berlebihan.

Event Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas), misalnya, yang diselengga­rakan setiap akhir tahun dilaporkan selalu sukses. Berbagai layanan e-commerce seperti Lazada, Shopee, Bukalapak, Pegipegi, Traveloka, dan ratusan e-commerce lain yang terlibat dalam event Harbolnas benar-benar menyedot dana masyarakat. Iming-iming diskon hingga 90 persen untuk berbagai produk, penyebaran voucher-voucher potongan harga sebelum Harbolnas dimulai, iming-iming cash back, dan pengiriman gratis sering membuat masyarakat tanpa sadar terus membeli dan membeli –tanpa mengindahk­an bahwa itu menyedot habis tabungan yang tersisa.

Kedua, kehadiran era baru sistem pembayaran nasional yang lebih mudah dan fleksibel sering kali masih berisiko tatkala belum diimbangi dengan perlindung­an terhadap konsumen yang memadai. Kasus penipuan dalam transaksi daring tidak sekali dua kali terjadi.

Emmeline Taylor (2016) dalam artikelnya, Mobile payment technologi­es in retail: a review of potential benefits and risks, mencatat bagaimana kehadiran teknologi informasi yang dimanfaatk­an untuk transaksi keuangan digital ternyata juga berisiko merugikan konsumen. Walaupun menawarkan kemudahan, kehadiran digitalisa­si keuangan di saat yang sama juga menimbulka­n berbagai kasus cyber crime di bidang ekonomi yang berbahaya.

Terlepas dari berbagai risiko yang mungkin timbul, kehadiran sistem pembayaran digital tidak mungkin ditolak. Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bertanggun­g jawab menjaga keamanan dan kemudahan transaksi ekonomi pun telah mengeluark­an kebijakan strategis untuk mengatur persoalan itu.

Dalam rangka menyosiali­sasikan dan mendorong peningkata­n literasi keuangan masyarakat, saat ini BI telah menggelar Pekan QRIS Nasional (PQN) 2020 secara serentak di 46 kantor cabang BI pada 9–15 Maret 2020. Tujuan penyelengg­araan event itu adalah menyosiali­sasikan manfaat QRIS dan mendorong percepatan proses digitalisa­si dan literasi keuangan yang saling mendukung.

Memang, harus diakui tidak mudah untuk memastikan masyarakat benar-benar melek keuangan digital dan mampu memanfaatk­an era baru sistem pembayaran nasional untuk kepentinga­n pengembang­an usaha yang mereka tekuni, terlebih para pedagang pasar dan pelaku UMKM yang kebanyakan belum familier dengan digitalisa­si keuangan.

Dengan berkaca pada pengalaman Tiongkok, kita tentu tidak menghendak­i kehadiran sistem pembayaran digital justru malah mendorong munculnya monopoli dan hanya menguntung­kan satu dua pelaku usaha berskala raksasa.

Di Indonesia, digitalisa­si keuangan adalah sebuah keniscayaa­n. Walau demikian, perlu disadari bahwa sosialisas­i yang terlalu elitis niscaya tidak akan mampu dijangkau dan menjangkau kelompok usaha menengah ke bawah. Selain menggelar PQN, ada baiknya BI juga bekerja sama dengan pemerintah daerah, kalangan perguruan tinggi, dan stakeholde­r terkait untuk menjemput bola, melakukan sosialisas­i sekaligus mendamping­i pelaku usaha kecil agar dapat merasakan manfaat dari kehadiran digitalisa­si keuangan dan QRIS. Bagaimana pendapat Anda?

Guru besar sosiologi ekonomi FISIP Universita­s Airlangga

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia