Korona dan Kemauan Politik untuk Warga Miskin
PERSEBARAN virus korona sudah demikian mencemaskan. Dan, akan lebih mengkhawatirkan lagi jika masuk ke negara atau kawasan miskin
Penduduk miskin cenderung tinggal di kawasan padat yang dekat satu sama lain. Sehingga jika salah seorang terinfeksi, akan dengan cepat tersebar.
Selain itu, tidak semua orang miskin mau atau terbiasa mencuci tangan setelah beraktivitas. Meski air mengalir dengan cukup baik di kawasannya.
Tidak semua orang juga mampu meningkatkan asupan nutrisi mereka setiap hari. Orang miskin makan dengan nutrisi sangat sedikit karena jebakan kemiskinan.
Saya mengacu pada Abhijit Banerjee dan Esther Duflo, dua ekonom yang mendapatkan Nobel Ekonomi 2019. Mereka melakukan studi dengan data set kasus mikro kurang lebih di 18 negara.
Banyak cara sederhana yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan, tetapi sering kali orang miskin enggan untuk memanfaatkannya secara maksimal. Duflo dan Banerjee menyebutnya sebagai low hanging fruit theory atau buah yang bergantung rendah.
Buah yang bergantung rendah, mudah dijangkau, namun sering kali kita enggan memetiknya. Contoh utama yang sering diberikan pemerintah adalah kelambu mencegah malaria, botol klorin untuk memurifikasi air mencegah diare serta anak cacingan, dan imunisasi.
Alasan mengapa orang miskin yang pendidikannya rendah kurang memanfaatkan low hanging fruits adalah menganggap ”buah” tersebut berkualitas rendah dan tidak bernilai. Di sisi lain, iman dalam agama juga kerap menentang program imunisasi.
Penyebab lainnya soal inkonsistensi waktu (time inconsistency).
Orang miskin cenderung memilih pembelanjaan hari ini, misalnya sembako, dibandingkan harus menunda untuk membeli sebotol klorin atau satu paket masker. Mereka hanya membelinya nanti jika mempunyai uang lebih.
Permasalahan lainnya, warga miskin cenderung menghindari pelayanan kesehatan publik karena buruknya fasilitas dan kualitas dokter. Banerjee dan Duflo menemukan itu pada kasus pedesaan India.
Di perkampungan kumuh New Delhi, misalnya, hanya 34 persen dokter yang mempunyai gelar medis formal. Rata-rata pekerja kesehatan, baik dokter maupun perawat, di Indonesia, Uganda, Peru, dan Ekuador juga membolos hingga 35 persen per tahun.
Selain buruknya fasilitas, secara kultural, masyarakat tradisional yang terdapat orang miskin menempatkan dokter sebagai alternatif terakhir setelah mereka mengecek penyakitnya ke pengobatan alternatif yang dikelola dukun ataupun pemuka agama.
Optimisme
Saya termasuk orang yang tidak pesimistis dengan penanganan manusia dalam menangani persebaran virus. Jika kita mengacu pada sejarah, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2017) telah menunjukkan bahwa dalam ratusan tahun belakangan ini, manusia telah berhasil mengembangkan teknologi kesehatan mengatasi wabah.
Wabah pes hitam pada 1330-an telah membunuh lebih dari 75 juta jiwa. Wabah itu mengurangi populasi secara drastis hingga seperempat penduduk Afrika Utara dan Eropa dan membuat penguasa putus asa. Pihak berwenang sama sekali tidak berdaya dalam menghadapi musibah itu, kecuali melakukan konsolidasi doa dan prosesi massal.
Manusia di zaman pertengahan belum mengetahui adanya makhluk superkecil bernama bakteri dan virus sebagai pembunuh massal. Mereka masih percaya bahwa udara buruk, setan yang jahat, peri, malaikat, dan dewa yang marah adalah penyebab dari bencana.
Demikian pula jika kita membaca berbagai catatan sejarah kolonial Spanyol, Portugal, dan Inggris. Salah satu penyebab musnahnya penduduk lokal jajahan adalah terinfeksi virus campak, tuberkulosis, sifilis, tifus, patogen flu yang dibawa kalangan penjajah, anak buah mereka, dan para budak yang diangkut dalam kapal.
Meski demikian, perkembangan teknologi kesehatan berhasil menemukan berbagai obat antivirus sehingga mampu mencegah berkembangnya korban. Meski virus baru sering muncul dalam waktu beberapa tahun, jumlah korban dapat ditekan.
Walau demikian, jawaban bahwa inovasi teknologi medis saja berhasil memberantas wabah tentu tidak cukup. Saya percaya kemampuan institusi politik dan pemerintah dalam menangani wabah juga menjadi faktor penentu selanjutnya.
Bukan Sekadar Masalah Teknis Medis
Daren Acemoglou, ekonom politik yang satu universitas dengan Banerjee dan Duflo di MIT, dalam bukunya, Why Nation Fail (2012), berargumen bahwa pengaturan institusi politik dan ekonomi adalah faktor utama menentukan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat yang sehat bergantung pada institusi negara yang sehat.
Institusi-institusi kesehatan dengan instruksi birokrasi yang tidak rumit dan bebas korupsi menentukan penanganan medis secara profesional. Institusi kesehatan harus transparan dan tidak lalai.
Kesehatan masyarakat miskin semakin rawan jika birokrat kesehatan, dokter, dan perawat digaji rendah (underpaid) serta terlalu banyak bekerja (overworking) sehingga tidak menikmati pekerjaannya.
Inovasi teknologi kesehatan dan obat-obatan saja tidak cukup jika tidak dibarengi kemauan akan pemerataan akses. Jika tidak dibarengi kemauan politik, hanya kelas masyarakat menengah ke atas yang dapat mengakses fasilitas dan obat-obatan dengan baik.
Persis dengan rekomendasi yang diajukan Banerjee dan Duflo, pemerintah perlu memberikan subsidi yang lebih kepada pelayanan dan fasilitas kesehatan publik. Bukan hanya kelambu, botol klorin dan imunisasi gratis, tetapi juga suplai masker dan pembersih tangan (hand sanitizer) gratis, khususnya di kawasankawasan miskin padat penduduk.
Anak-anak sekolah wajib diberi suplemen nutrisi di sekolah secara gratis. Dalam pandangan Banerjee dan Duflo, subsidi kesehatan adalah investasi jangka panjang untuk pembangunan manusia yang lebih baik agar manusia keluar dari jebakan kemiskinan
(poverty trap) yang berkelanjutan antargenerasi.
Ini cara radikal mengentas kemiskinan. Bukan pada pariwisata sebagaimana yang sering kali didorong oleh pemerintahan Jokowi saat ini.