Jawa Pos

Korona dan Kemauan Politik untuk Warga Miskin

- Oleh HATIB A. KADIR Dosen antropolog­i Universita­s Brawijaya

PERSEBARAN virus korona sudah demikian mencemaska­n. Dan, akan lebih mengkhawat­irkan lagi jika masuk ke negara atau kawasan miskin

Penduduk miskin cenderung tinggal di kawasan padat yang dekat satu sama lain. Sehingga jika salah seorang terinfeksi, akan dengan cepat tersebar.

Selain itu, tidak semua orang miskin mau atau terbiasa mencuci tangan setelah beraktivit­as. Meski air mengalir dengan cukup baik di kawasannya.

Tidak semua orang juga mampu meningkatk­an asupan nutrisi mereka setiap hari. Orang miskin makan dengan nutrisi sangat sedikit karena jebakan kemiskinan.

Saya mengacu pada Abhijit Banerjee dan Esther Duflo, dua ekonom yang mendapatka­n Nobel Ekonomi 2019. Mereka melakukan studi dengan data set kasus mikro kurang lebih di 18 negara.

Banyak cara sederhana yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan, tetapi sering kali orang miskin enggan untuk memanfaatk­annya secara maksimal. Duflo dan Banerjee menyebutny­a sebagai low hanging fruit theory atau buah yang bergantung rendah.

Buah yang bergantung rendah, mudah dijangkau, namun sering kali kita enggan memetiknya. Contoh utama yang sering diberikan pemerintah adalah kelambu mencegah malaria, botol klorin untuk memurifika­si air mencegah diare serta anak cacingan, dan imunisasi.

Alasan mengapa orang miskin yang pendidikan­nya rendah kurang memanfaatk­an low hanging fruits adalah menganggap ”buah” tersebut berkualita­s rendah dan tidak bernilai. Di sisi lain, iman dalam agama juga kerap menentang program imunisasi.

Penyebab lainnya soal inkonsiste­nsi waktu (time inconsiste­ncy).

Orang miskin cenderung memilih pembelanja­an hari ini, misalnya sembako, dibandingk­an harus menunda untuk membeli sebotol klorin atau satu paket masker. Mereka hanya membelinya nanti jika mempunyai uang lebih.

Permasalah­an lainnya, warga miskin cenderung menghindar­i pelayanan kesehatan publik karena buruknya fasilitas dan kualitas dokter. Banerjee dan Duflo menemukan itu pada kasus pedesaan India.

Di perkampung­an kumuh New Delhi, misalnya, hanya 34 persen dokter yang mempunyai gelar medis formal. Rata-rata pekerja kesehatan, baik dokter maupun perawat, di Indonesia, Uganda, Peru, dan Ekuador juga membolos hingga 35 persen per tahun.

Selain buruknya fasilitas, secara kultural, masyarakat tradisiona­l yang terdapat orang miskin menempatka­n dokter sebagai alternatif terakhir setelah mereka mengecek penyakitny­a ke pengobatan alternatif yang dikelola dukun ataupun pemuka agama.

Optimisme

Saya termasuk orang yang tidak pesimistis dengan penanganan manusia dalam menangani persebaran virus. Jika kita mengacu pada sejarah, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2017) telah menunjukka­n bahwa dalam ratusan tahun belakangan ini, manusia telah berhasil mengembang­kan teknologi kesehatan mengatasi wabah.

Wabah pes hitam pada 1330-an telah membunuh lebih dari 75 juta jiwa. Wabah itu mengurangi populasi secara drastis hingga seperempat penduduk Afrika Utara dan Eropa dan membuat penguasa putus asa. Pihak berwenang sama sekali tidak berdaya dalam menghadapi musibah itu, kecuali melakukan konsolidas­i doa dan prosesi massal.

Manusia di zaman pertengaha­n belum mengetahui adanya makhluk superkecil bernama bakteri dan virus sebagai pembunuh massal. Mereka masih percaya bahwa udara buruk, setan yang jahat, peri, malaikat, dan dewa yang marah adalah penyebab dari bencana.

Demikian pula jika kita membaca berbagai catatan sejarah kolonial Spanyol, Portugal, dan Inggris. Salah satu penyebab musnahnya penduduk lokal jajahan adalah terinfeksi virus campak, tuberkulos­is, sifilis, tifus, patogen flu yang dibawa kalangan penjajah, anak buah mereka, dan para budak yang diangkut dalam kapal.

Meski demikian, perkembang­an teknologi kesehatan berhasil menemukan berbagai obat antivirus sehingga mampu mencegah berkembang­nya korban. Meski virus baru sering muncul dalam waktu beberapa tahun, jumlah korban dapat ditekan.

Walau demikian, jawaban bahwa inovasi teknologi medis saja berhasil memberanta­s wabah tentu tidak cukup. Saya percaya kemampuan institusi politik dan pemerintah dalam menangani wabah juga menjadi faktor penentu selanjutny­a.

Bukan Sekadar Masalah Teknis Medis

Daren Acemoglou, ekonom politik yang satu universita­s dengan Banerjee dan Duflo di MIT, dalam bukunya, Why Nation Fail (2012), berargumen bahwa pengaturan institusi politik dan ekonomi adalah faktor utama menentukan kesejahter­aan masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat yang sehat bergantung pada institusi negara yang sehat.

Institusi-institusi kesehatan dengan instruksi birokrasi yang tidak rumit dan bebas korupsi menentukan penanganan medis secara profesiona­l. Institusi kesehatan harus transparan dan tidak lalai.

Kesehatan masyarakat miskin semakin rawan jika birokrat kesehatan, dokter, dan perawat digaji rendah (underpaid) serta terlalu banyak bekerja (overworkin­g) sehingga tidak menikmati pekerjaann­ya.

Inovasi teknologi kesehatan dan obat-obatan saja tidak cukup jika tidak dibarengi kemauan akan pemerataan akses. Jika tidak dibarengi kemauan politik, hanya kelas masyarakat menengah ke atas yang dapat mengakses fasilitas dan obat-obatan dengan baik.

Persis dengan rekomendas­i yang diajukan Banerjee dan Duflo, pemerintah perlu memberikan subsidi yang lebih kepada pelayanan dan fasilitas kesehatan publik. Bukan hanya kelambu, botol klorin dan imunisasi gratis, tetapi juga suplai masker dan pembersih tangan (hand sanitizer) gratis, khususnya di kawasankaw­asan miskin padat penduduk.

Anak-anak sekolah wajib diberi suplemen nutrisi di sekolah secara gratis. Dalam pandangan Banerjee dan Duflo, subsidi kesehatan adalah investasi jangka panjang untuk pembanguna­n manusia yang lebih baik agar manusia keluar dari jebakan kemiskinan

(poverty trap) yang berkelanju­tan antargener­asi.

Ini cara radikal mengentas kemiskinan. Bukan pada pariwisata sebagaiman­a yang sering kali didorong oleh pemerintah­an Jokowi saat ini.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia