Sang Buah Hati Terus Beri Motivasi Ibunda agar Bersemangat
Rika Rokhana dan Rarasmaya Indraswari adalah dua di antara ribuan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang akan diwisuda hari ini. Mereka lulus program doktor ITS bersamasama. Keduanya dinyatakan sebagai lulusan doktor termuda dan tertua di ITS.
WAJAH Rarasmaya Indraswari begitu semringah saat ditemui Jawa Pos di Gedung Rektorat Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Kamis (12/3). Dia tidak sendiri. Ada ibunya, Rika Rokhana, yang selalu mendampingi putri pertamanya itu.
Hubungan Rika dan Raras –sapaan Rarasmaya Indraswari– bukan sekadar ibu dan anak. Mereka juga partner belajar yang baik hingga akhirnya bisa lulus program doktor di ITS. Secara bersama-sama pula. Rika adalah lulusan S-3 prodi teknik informatika dan Raras lulusan S-3 prodi teknik elektro.
Kebetulan, R aras menjadi w isu dawan doktor termudadi IT Stahun ini. Sementara itu, Rika merupakan w isudawan doktor tertua pada wisuda hari ini. Keduanya terlihat begitu kompak dan saling mendukung
”Sebenarnya, saya dan ibu tidak pernah merencanakan bisa diwisuda bareng,” kata Raras.
Saat itu, Raras lebih dulu menyelesaikan sidang terbuka program doktor. Sementara itu, ibunya masih proses menuju sidang terbuka. Raras pun terus memberikan semangat kepada ibunya untuk segera menyelesaikan disertasi agar bisa ikut sidang terbuka. ”Anak saya ini paling semangat. Saya terus dimotivasi biar cepat selesai,” sambung Rika, lantas tertawa.
Raras merupakan wisudawan doktor termuda di ITS. Usianya masih 23 tahun. Dia mengikuti program pendidikan magister menuju doktor untuk sarjana unggul (PMDSU) pada 2015. Setelah lulus program sarjana, Raras melompat langsung pendidikan S-3. ”Program PMDSU ini melalui seleksi ketat yang digelar oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) saat itu,” ujar perempuan kelahiran 17 Juli 1995 tersebut.
Sementara itu, ibunya adalah seorang dosen di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) dan mengambil program doktor di ITS sejak 2016. Dia mendapatkan beasiswa unggulan untuk dosen Indonesia (BUDI) dari Kemenristekdikti saat itu. ”Jadi, 3,5 tahun saya fokus tugas belajar,” kata Rika.
Meski berbeda prodi yang diambil saat kuliah, ibu dan anak tersebut memiliki ketertarikan di bidang yang sama. Yakni, pengembangan teknologi untuk dunia kesehatan.
Misalnya, disertasi yang digarap RarasdanRikasama-samaberkaitan denganduniakesehatan.Rikameneliti alat pendeteksi patah tulang pipa dengan menggunakan sistem tomografi ultrasonik tiga dimensi.
Raras membuat aplikasi untuk mendeteksi osteoporosis dari citra rahang tiga dimensi. ”Sebenarnya, kami meneliti hal berbeda. Yang kami kerjakan juga beda,” kata Raras.
Namun, Raras mengatakan bahwa bidang yang diteliti sama-sama mengarah pada kesehatan. Untuk itu, mereka bisa lebih mudah untuk berkoordinasi dalam mencari jurnal. Di rumah juga jadi ada teman belajar. ”Jadi saling termotivasi,” ujarnya.
Putri sulung dua bersaudara itu memang terbilang cerdas. Sejak SD, dia sudah berprestasi. Bahkan, sering mengikuti olimpiade sains dan menjadi siswa teladan. Saat masuk SMP, dia juga diminta untuk mengajar siswa-siswa SD dalam mempersiapkan olimpiade. ”Saya aktif mengajar anak-anak SD untuk mempersiapkan olimpiade hingga tahun lalu. Lalu, fokus dengan disertasi saya,” kata dia.
Tidak hanya itu, Raras juga menjadi siswa akselerasi. Jadi, dia menyelesaikan SMP hanya dua tahun. Begitu juga jenjang SMA. Kemudian, saat kuliah, dia langsung ikut program PMDSU. ”Kurang lebih hampir lima tahun saya menyelesaikan S-1 hingga S-3,” ujarnya.
Rarasmenambahkan,dirinyasangat suka melakukan penelitian. Sejak S-1,diamenjadiasistendosen(asdos). Beberapakalijugamenelurkanjurnal ilmiah skala internasional yang terindeks scopus.
Inovasi terbarunya adalah membuat software untuk deteksi osteoporosis. Raras menjelaskan, biasanya osteoporosis dideteksi melalui scanning dari punggung. Biayanya pun sangat mahal. ”Dari situlah, saya melanjutkan topik penelitian dengan promotor saya,” ujarnya.
Raras mengembangkan teknologi untuk mendeteksi osteoporosis. Namun, cara mendeteksinya bukan dari punggung, melainkan dengan citra tulang rahang. ”Dari foto tiga dimensi tulang rahang, bisa diketahui osteoporosis atau tidak,” jelasnya.
Tidak ingin berhenti di situ, Raras pun ingin mengembangkan inovasi tersebut. Rencananya, dia akan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga (Unair). ”Harus ada sosialisasi ke dokter-dokter. Selain itu, harus ada validasi dari hasil deteksi osteoporosis dengan menggunakan software yang dibuat,” katanya.
Saat ini, total ada sembilan jurnal yang terpublikasi indeks scopus. Dan, ada 18 jurnal yang terpublikasi di Google Scholar. Meski sudah banyak jurnal yang dihasilkan, Raras masih memiliki keinginan untuk melanjutkan penelitian tentang osteoporosis.
Tidak hanya itu, Raras juga ingin melakukan penelitian bersama ibunya. Fokusnya tetap sama untuk dunia kesehatan. Hal itu didukung ayahnya, Wiwiet Herulambang, yang merupakan dosen teknik informatika di Universitas Bhayangkara (Ubhara). ”Saya ingin sekali menjadi ilmuwan sejak kecil. Jadi, saya tidak akan berhenti melakukan penelitian,” ujarnya.