Korona, Karantina, dan Social Distancing
PEMERINTAH terus mengeluarkan kebijakan pencegahan persebaran virus korona. Yang terbaru, Presiden Joko Widodo mengimbau agar warga melakukan karantina (sendiri) dan social distancing. Mereka diminta tetap tenang. Tidak panik. Bergotong royong. Dan, terus beraktivitas produktif, bersatu padu untuk tetap bersikap optimistis. Langkah tersebut diharapkan bisa menghambat dan menyetop penularan virus korona. Imbauan presiden itu disampaikan di Istana Bogor pada 15 Maret 2020.
Hari ini umat manusia dihadapkan pada masalah bumi. Pandemi virus yang tak terlihat. Tapi membuat seisi bumi kelimpungan. Kesombongan menjadi kelu, senjata tak bermesiu, strategi terdahulu pun harus ditiru. Mungkin begitulah kenyataannya. Tuhan mengerdilkan tingginya kesombongan manusia melalui virus yang superkecil.
Dulu di era pemerintahan Umar bin Al Khattab (18 Hijriah atau 1400 tahun yang lalu) pernah terjadi peristiwa yang serupa dengan saat ini. Saat itu Khalifah Umar bersama para sahabatnya hendak masuk dalam salah satu wilayah Syam yang sedang mengalami wabah penyakit.
Saat itu Khalifah Umar bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju Syam. Mereka berhenti di daerah perbatasan bernama Sargh. Itu dilakukan karena mendengar ada wabah tha’un amwas yang melanda seluruh Negeri Syam. Tha’un amwas adalah penyakit yang sangat menular. Gejalanya timbul benjolan di seluruh tubuh. Benjolan itu pecah, lalu mengakibatkan pendarahan. Ketika itu datang kepada Khalifah Umar beserta rombongan Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang gubernur yang dikaguminya. Sedangkan mereka masih berada di perbatasan. Terjadi dialog yang serius di antara para sahabat, apakah mereka terus masuk ke Syam atau kembali ke Madinah.
Khalifah Umar yang cerdas lantas meminta saran kaum Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang ikut pembukaan Kota Makkah. Muncul dua pendapat utama. Terus masuk Syam atau kembali ke Madinah. Abu Ubaidah sendiri menginginkan mereka terus masuk sambil berkata, ’’Mengapa engkau lari dari takdir Allah?’’
Khalifah Umar memulai memberi gambaran, ’’Jika kamu punya kambing dan ada dua lahan, satu subur dan satu lagi kering, ke mana akan engkau arahkan kambingmu? Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah? Sesungguhnya dengan pulang ke Madinah, kami hanya berpindah dari takdir satu ke takdir yang lain.’’
Rupanya dua pendapat ini mereda setelah Abdurrahman bin Auf menyampaikan pesan Rasulullah SAW melalui sebuah hadis. ’’Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu, janganlah kalian keluar untuk lari darinya.’’ Di hadis tersebut, nabi juga menyampaikan, ’’Maka, tidaklah seorang hamba yang dilanda wabah lalu ia menetap di kampungnya dengan penuh kesabaran dan mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang Allah SWT tetapkan. Baginya pahala orang yang mati syahid.’’ Akhirnya mereka pun pulang ke Madinah.
Inilah yang sekarang dipopulerkan dengan istilah karantina. Karantina adalah sistem yang mencegah perpindahan orang dan barang selama periode tertentu untuk mencegah penularan penyakit. Dilakukan pengasingan terhadap seseorang atau suatu benda yang akan memasuki suatu negara atau suatu wilayah. Dalam masa pengasingan, biasanya di area atau di sekitar pelabuhan dan bandara, sebagaimana sekarang ketat diberlakukan di Singapura atau negara yang semisal. Dilakukan pengawasan dan pemeriksaan kesehatan. Masa karantina berakhir apabila diagnosis pasti telah diperoleh.
Benar-benar terjadi sejumlah besar korban mati di Negeri Syam ketika itu. Total sekitar 20 ribu orang meninggal. Jumlah itu hampir separo total penduduk
Syam. Abu Ubaidah termasuk di antara penduduk yang meninggal. Pemimpin Negeri Syam itu lantas digantikan oleh Amr bin Ash. Pemimpin cerdas ini menjadi jalan selamatnya Syam.
Amr bin Ash berkata, ’’Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gununggunung.’’ Penduduk Syam pun mematuhi dan mereka pun berpencar dan menempati gununggunung. Wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang akan dibakar.
Social distancing (jarak sosial) adalah serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi. Dilakukan untuk menghentikan atau memperlambat persebaran penyakit menular. Tujuannya adalah mengurangi kemungkinan kontak antara orang yang membawa infeksi dan orang lain yang tidak terinfeksi. Dengan begitu dapat meminimalkan penularan penyakit, angka kesakitan, dan pada akhirnya kematian.
Social distancing sangat efektif untuk menahan laju penyakit infeksi yang ditularkan melalui kontak drop et (kontak tetesan). Melalui udara. Yang biasanya terjadi ketika batuk atau bersin. Kontak fisik langsung berupa bersalaman, berpelukan, atau yang semisal. Kontak fisik tidak langsung, misalnya memegang railing tangga, presensi finger print, handle pintu, dan menekan tombol lift. Bisa juga berupa pemindahan dokumen. Baik dokumen resmi atau yang paling berisiko adalah dokumen medis di pusat perawatan medis. Semua rentan menghadirkan penyampaian virus korona.
Upaya social distancing dijalankan antara lain melalui lockdown (penguncian). Warga diminta mengarantina sendiri dengan tinggal di rumah. Baik seutuhnya atau disesuaikan dengan situasi kedaruratan. Menghindari kerumunan orang. Umumnya di pasar, mal, atau tempat lain yang biasa dilakukan. Berusaha memperoleh panas sinar matahari di tempat terbuka dan bersih. Menghindarkan diri dari tempat tertutup, pengap, lembap, terlebih dinginnya air condition (AC). Menunda kegiatan yang berisiko. Mengumpulkan lebih dari 10 orang; apakah arisan, reuni, atau situasi yang serupa. Secara umum, berusaha menghindari dari upaya kegiatan masal.
Mari kita sikapi datangnya pandemi korona ini secara rasional dan terukur. Tidak abai, di samping tidak berlebihan.
Karantina dan social distancing. Dua-duanya dilakukan cepat dan tepat di Wuhan (Tiongkok) dan Singapura. Untuk sementara mereka mampu mengendalikan korona mendekati sempurna. Menjadi contoh bagi negara-negara lainnya. Indonesia sepatutnya melakukan langkah-langkah serupa. Mari kita semua mendukungnya! *) Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, anggota Dewan Pakar IDI Jatim, President Asia Pacific International Congress of Anatomist-6