Antisipasi Krisis Ekonomi Covid-19
KEKHAWATIRAN publik global akan resesi dunia terjustifikasi sejak ditetapkannya Covid-19 sebagai pandemi global oleh WHO 11 Maret lalu. Bahkan, volume perekonomian dunia diproyeksikan UNCTAD akan hilang sekitar USD 1 triliun, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia di bawah 2 persen. Jauh lebih rendah daripada proyeksi Bank Dunia awal tahun ini (2,5 persen). Selain dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, gangguan global supply chain dari dan ke Tiongkok karena Covid19, kebijakan lockdown dan semi lockdown beragam negara, maupun ketidakpastian yang disebabkan harga minyak memperparah kondisi yang ada.
Sejak awal tahun indeks pasar saham global utama menunjukkan tren penurunan signifikan (19–33 persen). Bagaimana di Indonesia? Dalam dua pekan terakhir kita menyaksikan IHSG BEI turun 33,24 persen ke 4.194,94 (20 Maret). Dibandingkan awal tahun, rupiah terdepresiasi hingga 15,12 persen terhadap USD, Sementara terselamatkan oleh stimulus moneter dari BI. Gubernur BI Perry Warjiyo pada 20 Maret 2020 memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 4,2–4,6 persen (terendah sejak 2001).
Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani pada hari yang sama menyampaikan beberapa skenario pertumbuhan ekonomi kepada Presiden Joko Widodo, hingga yang pesimistis tahun ini hanya tumbuh 2,5 persen, bahkan 0 persen.
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar pelambatan ekonomi dapat diminimalkan?
Semua kepala negara dan/atau kepala pemerintahan menyadari bahwa pandemi Covid-19 adalah fenomena global yang serius. Dua hari lalu kanselir Jerman membuka pidatonya, ”Es ist ernst (this is serious). Take it seriously.” Hongkong termasuk pemerintahan yang merespons dengan cepat, dengan mengeluarkan stimulus relieve burden pada 26 Februari 2020. Di antara programnya, memberikan uang tunai HKD 10.000 (sebelumnya HKD 1.200) kepada setiap penduduk yang berusia di atas 18 tahun, mengurangi pajak pribadi hingga 100 persen untuk 2019–2020 maksimal HKD 20.000, dan beberapa kemudahan lain terkait dengan pengeluaran tempat tinggal.
Bagaimana Tiongkok, negara asal pandemi Covid-19? Meskipun sampai saat ini belum diumumkan stimulus keuangan, lewat People’s Bank of China (PBOC), bank sentral Tiongkok, pada 3 Februari 2020 memperpanjang pinjaman sebesar USD 174 miliar untuk membuat pasar uang stabil dan perbankan memiliki cash on hand. Besoknya, jumlah tersebut ditambah sebesar USD 71 miliar. Selain mengurangi lending facility rate pada 16 Februari, pada 13 Maret persyaratan cadangan bank yang bisa dipinjamkan ke sektor riil diturunkan sebesar USD 79 miliar.
Amerika Serikat, dimulai oleh Federal Reserve, memotong suku bunga acuan menjadi 0 persen pada 15 Maret. Diikuti Stage Three Proposal yang diajukan oleh Menteri Keuangan Steven Mnuchin pada 17 Maret kemarin. Pertama, stimulus sebesar USD 8,3 miliar untuk meminimalkan pandemi Covid-19 guna membiayai riset terkait vaksin, pemerintah negara bagian dan kota untuk memerangi penyebaranvirus,danmengalokasikan dana untuk mencegah tersebarnya virus ke luar AS.
Kedua, memberikan fasilitas gratis untuk tes Covid-19 bagi yang membutuhkan, keamanan makanan, peningkatan dana Medicaid dan hal lain yang menciptakan social stability. Selain itu, memperpanjang pembayaran pajak hingga tiga bulan bagi wajib pajak individu maupun badan usaha sehingga dana USD 300 miliar dapat diputar lagi untuk berusaha.
Ketiga, stimulus ekonomi sebesar USD 1 triliun: 50 persen untuk bantuan langsung tunai kepada setiap pembayar pajak senilai USD 1.000 (rata-rata, bergantung tingkat pendapatan dan jumlah keluarga). Sisanya dialokasikan pada sektor industri yang paling terdampak dan USD 300 miliar untuk garansi 100 persen bagi pinjaman sektor UKM agar ada kontinuitas pekerjaan dengan 500 karyawan atau kurang.
Hal yang sama dilakukan negaranegara lain dengan menyediakan stimulus ekonomi seperti Jepang, Australia, Korea Selatan, Inggris, Italia, Prancis, Jerman, dan Kanada. Bahkan, International Monetary Fund (IMF) dan World Bank juga telah menyediakan dana pinjaman yang bisa dimobilisasi hingga lebih dari USD 1 triliun untuk menyelamatkan dunia dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Polling terbaru yang dilakukan IPSOS, lembaga survei yang diacu World Economic Forum, terhadap 10.000 orang di 12 negara (12–14 Maret 2020) menunjukkan bahwa Covid-19 dirasa lebih mengancam perekonomian (khususnya penghasilan yang dimiliki responden) dibandingkan kesehatan mereka. Meskipun survei tersebut tidak mencakup Indonesia, hal itu patut menjadi perhatian pemerintah.
Tentu pemerintah Indonesia harus take it seriously agar tingkat kepercayaan masyarakat pulih dan social stability tercapai. Pertama, mendukung penguatan layanan kesehatan dan dana operasional untuk mengefektifkan kebijakan lockdown atau semi lockdown yang diambil. Rapid test yang diumumkan Jumat (20/3) oleh presiden adalah langkah yang tepat dan perlu dikombinasikan dengan best practices negara lain yang telah berhasil.
Kedua, memberikan bantuan langsung tunai bagi warga negara (sesuai level pendapatan dan jumlah keluarga yang ditanggung) untuk memampukan mereka berkonsumsi sekaligus menggerakkan sektor riil di domestik. Perhatian khusus perlu diberikan kepada tiga kelompok pendapatan paling rentan, yakni poor, vulnerable, dan aspiring middle class (79,23 persen dari total penduduk Indonesia – SUSENAS, 2016; Bank Dunia, 2020).
Ketiga, memberikan stimulus bagi UKM yang memiliki porsi terbesar dan paling terdampak dengan menjamin pinjamannya atau penggajian pegawainya agar tidak di-PHK. Keempat, memberikan stimulus bagi sektor-sektor ekonomi yang paling terdampak agar tidak bangkrut dan memperbesar pengangguran. Kelima, memberikan stimulus pengurangan suku bunga pinjaman atau stimulus pajak bagi individu maupun badan usaha agar sektor riil tetap berjalan. *) Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga