Masker untuk Mereka yang Butuh
DARI dalam rumah di Pekanbaru itu, kepedulian terus mengalir. Berbentuk masker yang diproduksi sendiri oleh suami istri penghuninya, Ridho Ikhsan dan Fella Diasary.
Di masa pandemi Covid-19 ini, masker adalah barang yang sangat sulit didapat di berbagai wilayah di tanah air. Tak terkecuali di Pekanbaru, juga di seantero Riau
”Kemarin niatnya bikin untuk sendiri. Beli bahan semampunya untuk ngisi kekosongan waktu. Istri jahit dan saya mengerjakan yang tidak teknis,” kata Ridho kepada Riau Pos.
Kemudian, tebersitlah niat itu. ”Kami produksi untuk masyarakat yang butuh,” tuturnya.
Dalam sehari, produksi masker pasutri itu 25–30 helai. Keterbatasan tenaga membuat jumlah produksi mereka juga terbatas.
Ridho berusaha menggaet pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bisa menjahit untuk ikut terlibat. ”Nanti pun akan kami bayar (hasil jahitnya, Red) per helai, lalu kami bagikan kepada masyarakat yang membutuhkan masker tersebut,” tutur dia.
Bersama istri, ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama Riau itu terus mencari terobosan yang efektif untuk menjawab tantangan dan kelangkaan masker. Setelah menghitung, mereka sedikitnya membutuhkan 4–5 orang untuk membantu produksi masker. ”Jadi, kalau 1 orang bisa jahit 50 aja, sehari bisa produksi 200 helai masker. Itu sudah kami wacanakan untuk dimulai hari ini (kemarin, Red),” tutur dia.
Kemarin dia sudah melakukan koordinasi dengan pelaku UMKM terdekat. Mereka akan diupah, tapi tentu dengan bayaran yang wajar karena semua yang dijalani adalah bentuk kegiatan amal dan sosial. ”Ada yang butuh, ya kami bagikan,” kata dia.
Di Jogjakarta, saat banyak bisnis tiarap, penjual wedang uwuh justru mengalami lonjakan permintaan dengan bisa dibilang tanpa harus ”meninggalkan rumah”. Dari semula dititipkan di toko oleh-oleh, kini para reseller yang malah mendatangi unit usaha yang ada di kawasan Imogiri Timur itu.
Namun, menurut M. Nur Syifa yang juga owner UMKM Zea Citra Mandiri, lonjakan permintaan itu sempat dibarengi susahnya mencari bahan dasar wedang uwuh, yakni jahe. ”Harga jahe yang semula di pasar tradisional sebelum wabah korona Rp 30 ribu per kilo (kilogram,
Red) naik jadi Rp 60 ribu. Yang jahe merah lebih ekstrem, pernah sampai Rp 100 ribu per kilo,” kata Syifa kepada Jawa Pos. Wedang uwuh adalah minuman asal Jogja dengan bahan jahe, secang, cengkih, serai, kapulaga, dan gula batu. Minuman yang awalnya hanya dijumpai di kawasan Imogiri itu disebut uwuh yang berarti sampah dalam bahasa Jawa. Sebab, penampakannya campur aduk.
UMKM Zea Citra Mandiri mengemas produknya dengan kreatif. Ada yang dikemas seukuran kantong-kantong seduh. Ada pula yang dimodel ekstrak wedang uwuh.
Untuk produk yang dikemas dalam kantong, satu kotak yang berisi 15 kantong dijual Rp 19 ribu. Lalu, produk original yang berisi lima plastik racikan wedang uwuh dijual Rp 15 ribu. Sementara ekstrak yang berisi lima buah dijual Rp 16 ribu.
”Pembelian paling ramai malah dari Jogja. Mereka reseller yang kemudian menjual di online dan mengirim ke luar kota,” ucap Syifa.