Garden City Menuju Green City
Putrajaya tak ingin hanya menjadi kota modern. Mereka ingin kota tersebut juga ramah lingkungan.
’’PAKAI beg, ke?’’ Pertanyaan itu selalu dilontarkan penjaga toko saat pelanggan membayar belanjaan di toko dan swalayan yang berada di Putrajaya, Malaysia. Pemerintah setempat memberlakukan penggunaan kantong berbayar. Harga satu kantong minimal 20 sen ringgit atau setara Rp 700. Karena itu, banyak di antara penduduk yang sudah sadar dengan membawa kantong belanjaan sendiri.
Jenis kantong yang digunakan sama. Terbuat dari serat umbiumbian. Wujudnya sedikit liat dan kuat. ’’Kami beli ke pemerintah,’’ jelas salah seorang penjaga di Suria Mall.
Bukan hanya kantong plastik yang dibatasi. Sedotan juga. Mayoritas tempat makan sudah menggunakan sedotan kertas. Itu pun diberikan jika pelanggan meminta. Jika tidak, biasanya pelanggan hanya diberi sendok untuk mengaduk.
Pemerintah Putrajaya memang lebih ketat soal penggunaan plastik. Sebab, mereka memiliki rencana jangka panjang. Targetnya, pada 2025 kota yang berkonsep garden city itu bakal menjadi green city.
Putrajaya adalah kota percontohan. Pemerintah Malaysia sejatinya menargetkan nol penggunaan plastik sekali pakai pada 2030. Kebijakan itu berlaku untuk seluruh wilayah di Malaysia. Pada 2021 semua wilayah sudah harus menerapkan plastik berbayar.
Di Kuala Lumpur, hanya tokotoko besar yang menerapkan. Mungkin karena banyaknya pedagang kecil di ibu kota Malaysia tersebut sehingga penerapannya lebih sulit. Berbeda dengan Putrajaya yang jumlah toko dan lokasinya sudah diatur sedemikian rupa.
’’Putrajaya bakal bertransformasi menjadi green city dan kota paling layak huni di negara ini,’’ ujar Amran bin Mohd Noor, ketua Penolong Pengarah Seksyen Kawalan Perancangan Rekabentuk Bandar dan Permit Bahagian Pembangunan Tanah dan Kelulusan Pelan Jabatan Perancangan Bandar Perbadanan Putrajaya.
Untuk merealisasikan diri menjadi kota paling layak huni, setiap detail pembangunan sudah dikonsep untuk membuat nyaman penduduk. Misalnya, jalur lari dan bersepeda yang ada di sekeliling kota mengitari danau buatan. Jalur pedestrian yang nyaman dan lebar serta taman hijau yang ada di mana pun mata memandang.
Tidak ada pabrik yang akan dibangun di kota itu sehingga emisi karbon bisa terkendali. Pun kendaraan yang lalu-lalang hanya sedikit. Nanti jika kota itu sudah dibangun sepenuhnya dan penduduknya telah memenuhi kuota, seluruh transportasi umum bakal terkoneksi menjadi satu.
Gedung-gedung di Putrajaya juga dirancang ramah lingkungan dan hemat energi. Amran menceritakan, pernah ada yang mempertanyakan biaya listrik untuk pencahayaan gedunggedung di kota tersebut saat malam. Banyak gedung yang terlihat hidup dan menggunakan banyak lampu penerangan. Padahal, lampu-lampu yang menghiasi itu adalah jenis yang hemat energi. Pengaturan pencahayaan juga mengesankan mereka memakai banyak lampu, padahal tidak. Itu terbukti dengan rendahnya tagihan listrik untuk gedunggedung pemerintah.
Di Putrajaya, penyaluran air juga dilakukan terpusat. Karena itu, tidak ada tandon-tandon air di kota tersebut. Aliran air bersih selalu lancar. Limbah air diolah hingga bersih sebelum dialirkan ke danau.
Daur ulang dilakukan sejak awal konstruksi Putrajaya. Ketika kota yang menjadi pusat pemerintahan Malaysia itu dibangun, ada beberapa bukit yang harus dihancurkan. Batu-batu besar dari bukit tersebut dipakai untuk membuat bendungan. Dengan begitu, biaya konstruksi bisa dikurangi. Batuan yang lebih kecil dipakai untuk membangun jalan raya.