Empon-Empon Berbisik ke Nyambik
DENGAN sekali hening cipta Raja Singa Sastro, disusul sekali pula auman panjangnya, langit merekah. Seluruh hewan rimba raya mendongak. Mereka berdecak-decak menyaksikan film pada rekahan merah marun itu. Adegan nyambik alias biawak dikeluhi empon-empon. Jahe mengeluh, ‘’Mbik, Mbik, manusia sekarang panic buying diriku. Untuk pagar bagus penangkal wabah.’’
Tanaman rimpang itu tersedu. Dahulu, sedunya, sebelum meruak pandemi wabah, manusia cuma mencarinya untuk diirisiris. Dicampur ke kopi. Mantul!
Dahulujahecumauntukmenambah nafsu kaumnya Harun Masiku saat makan sushi. Berasa masam yang lembut dari cuka beras dan sedikit amis sehabis makan nasi, sayur, dan sayatan ikan mentah itu? Receh! Makan suwiran jahe! Nafsu timbul lagi. Selang-seling begitu dan seterusnya.
‘’Lho, bukannya manusia butuh kalian juga untuk melancarkan pernapasan dan pencernaan?’’ nyambik mengernyit dan menjulur-julurkan lidahnya. Tubuhnya seolah dihangatkan oleh cerita dan karakter jahe yang memang menghangatkan.
‘’O iya, betul, Mbik. Tapi, pas orde itu manusia nggak serakus sekarang. Burung-burung paruh bengkok dan burung-burung kicau yang juga doyan kami dulu masih kebagian.’’
Mereka yang masih tergolong kaum jahe-jahean seperti kunyit berkeluh kesah serupa. Beda dengan saat mendengarkan curhatan jahe yang membuat tubuh nyambik jadi hangat, baperan kunyit membuat tubuh nyambik menguning full sekujur.
‘’Hmmm...Pahit. Pahit. Pahit...’’ celetuk brotowali, tanaman yang daunnya mirip sirih dan memang terkenal pahit. Daun kelor mengamininya.
Datanglah sesama tumbuhan berakar rimpang dengan jahe, namun tidak termasuk kaum jahejahean. Dialah temulawak dari kaum temu-temuan, yaitu temu giring, temu ireng, dan putih. Nada keluhannya ada ungu-ungunya, seperti warna kembangnya.
‘’Oh, Mbik, Nyambiiiiik...Tidak dapatkah engkau merasakan pilu hatiku kini melihat sapi ternak pada gigit jari. Mereka cemas...Cemas sekali oh, Nyambik...Cemas akan apa sapi-sapi itu? Oh, cemas akan kehabisan temulawak lantaran ludes oleh manusia yang sedang menggebugebu hirau mencari pagar ayu jiwa raganya guna merintangi kehadiran wabah.’’
Adegan nyambik yang dikerumuni empon-empon itu hilang mendadak. Sebelumnya Ratu Singa Jendro menitikkan air mata, lalu berdehem-dehem. Berbeda dengan Sastro yang tadi mengheningkan cipta lalu mengaum panjang.
Rupanya, itu jadi semacam remote control bagi matinya film di langit. Dan, rupanya, itu pertanda pula bahwa jodoh memang harus sefrekuensi. Lelaki korup akan berjodoh dengan perempuan tukang iri karena dua-duanya didasari frekuensi yang sama: rakus. Lelaki sakti, Raja Singa Sastro, berjodoh pula dengan perempuan sakti, Ratu Singa Jendro, walau ekspresi kesaktiannya berbeda-beda.
‘’Pelajaran apa yang dapat kalian petik dari Empon-Empon the Movie tadi?’’ ratu singa bertanya kepada seluruh hewan.
‘’Bahwa buron Harun Masiku harus ditemukan,’’ jawab tikustikus. ‘’Takutnya beliau kena korona, tapi sungkan melapor. Ini bahaya bagi orang-orang lain yang pernah mendekati beliau. Lebih bahaya dari kumpul mudik.
Lebih bahaya dari kumpulkumpul di tempat ibadah.’’
‘’Bahwa nyambik setia pada ajaran leluhur,’’ sahut tokek. Sanak famili cicak, kadal, nyambik, dan komodo itu mencari makna lain film tadi. ‘’Bahwa mengeluh itu beradab. Yang biadab adalah mengeluh di depan mereka yang mengeluh.’’
Menurut tokek, sebenarnya nyambik juga ingin sambat. Bukan saja karena dagingnya dikuras jadi obat kaum Harun Masiku dan kulitnya dijadikan tas kaum Harun Masiku yang perempuan. Sudah memberi atau menerima tas kulit nyambik, tetap saja pasangan belum tentu abadi. Inilah sambatnya nyambik.
Ratu dan raja singa saling melirik. Oooooh...