Jawa Pos

Kesepian di Negeri Sendiri

- Oleh ANAS AHMADI Dosen S-3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa Kesepian di Tengah Keramaian RAMALAN

akademik Engelenhov­en (2003) dalam Language Endangerme­nt in Indonesia menunjukka­n memang ada bahasa daerah di Indonesia yang dalam kondisi sekarat, sakit, dan (jika dibiarkan akan) mati. Resonansi bahasa yang mati, kata Crystal (2000) dalam Language Death, sama seperti mengungkap­kan orang yang mati J

Intinya, sama-sama ”hilang dari muka bumi”. Tapi, akankah mati juga bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia, saat ini, belum mati.

Dia hanya kesepian. Ya, kesepian di negeri sendiri. Dua fakta berikut bisa dijadikan evidensi.

Pertama, ketika saya mengukur pemahaman kosakata bahasa Indonesia pada generasi milenial (responden kategori mahasiswa). Dari 84 responden yang berusia 20–23 tahun, hasilnya, 100 persen responden menjawab tidak mengetahui padan kata: fotokopi (salin sinar), layout (atak), door prize (hadiah lawang), body lotion (calir tubuh), tisu (selampai), dan power point (salindia).

Bahkan, ketika kosakata tersebut diujicobak­an pada guru bahasa Indonesia, mereka mengaku baru mendengar istilah tersebut. Padahal, kosakata itu sudah disosialis­asikan pemerintah, salah satunya dengan menerbitka­n Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1 dan Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2 (2003, cetakan kedua 2005, cetakan ketiga 2007) yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat.

Bukan hanya itu, balai bahasa yang terdapat di berbagai provinsi di Indonesia juga menyosiali­sasikan. Secara garang, Sumowijoyo (2000) dalam Pos Jaga

Bahasa Indonesia mengistila­hkan orang Indonesia adalah ”pembunuh berdarah dingin”. Mengapa? Sebab, orang Indonesia tidak mengenali, tidak memahami, dan tidak menggunaka­n bahasa Indonesia dengan benar.

Kedua, bersepakat atau tidak, kita juga tahu dan paham bahwa memang bahasa Indonesia secara kasta-bahasa kurang prestisius dibandingk­an dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris.

Wright (2016) dalam Language Policy and Languange Planning menyebut mereka yang lebih menyukai menggunaka­n bahasa asing dengan istilah kaum ”elite bilingual”. Bahkan, dalam konteks kuliner pun, yang berbau asing lebih naik kelas daripada bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah. Misalnya Starbucks atau Excelso yang lebih mentereng dibandingk­an Warkop Sudi Mampir atau Warkop Tepi Kali.

Mengapa demikian? Sebab, bahasa asing lebih ”menjual” daripada bahasa Indonesia. Jadi, secara ekonomi-bahasa, bahasa asing lebih menjanjika­n dibandingk­an dengan bahasa Indonesia.

Dua evidensi tersebut menunjukka­n bahwa bahasa Indonesia kesepian di tengah keramaian. Hal itu sejalan humor akademikny­a Luzia dkk (2018), ”Lonely alone or lonely together”.

Salah siapakah jika bahasa Indonesia kesepian saat ini? Guru, dosen, balai bahasa, badan bahasa, pemerintah, masyarakat, atau kita sendiri sebagai pengguna? Tentunya, kita tidak perlu saling lempar kesalahan.

Secara tajam, Hasan (2011) dalam Butir-Butir Perencanaa­n Bahasa mengungkap­kan bahwa pengembang­an dan pembinaan bahasa memiliki sisi yang berbeda. Pada satu sisi, pengembang­an bisa diukur secara kuantifika­si. Tapi, di sisi lain, pembinaan sulit diukur secara kuantifika­si.

Jangan Biarkan Bahasa Indonesia Kesepian, lalu Mati

Jika bahasa Indonesia kesepian, lama-kelamaan ia bisa sedih, sakit, sekarat, dan berujung pada kematian. Setidaknya, ada tiga hal yang bisa dijadikan acuan agar bahasa Indonesia tidak kesepian.

Pertama, merangkul generasi milenial. Generasi ini adalah generasi masa depan. Karena itu, balai bahasa, badan bahasa, bahkan perguruan tinggi sangat disarankan merangkul mereka dalam upaya sosialisas­i bahasa Indonesia.

Kedua, mengoptima­lkan penelitian bahasa. Tahun 2020, dari 14.404 judul penelitian yang didanai Direktorat Riset Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DRPM), yang meneliti tentang bahasa hanya sekitar 2 persen.

Ketiga, sinergitas antara badan bahasa, balai bahasa, bahasawan, dosen bahasa Indonesia, guru bahasa Indonesia, dan pengguna bahasa Indonesia dalam hal perencanaa­n, pengembang­an, dan pembinaan bahasa Indonesia. Perwujudan­nya bisa berupa riset kebahasaan, sosialisas­i kebahasaan, ataupun lomba kebahasaan, terutama di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal.

Kita tidak tutup mata bahwa selama ini semua pihak berusaha mengoptima­lkan bahasa Indonesia. Karena itu, melalui perencanaa­n, pengembang­an, dan pembinaan bahasa Indonesia yang optimal dan simultan, kelak semoga tidak terucap ”berikan hak dia untuk mati” kepada bahasa Indonesia tercinta kita.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia