Jawa Pos

Mata Merah Pekat

- HAMPIR Cerpen PRIYO HANDOKO

tengah malam. Berkali-kali aku menajamkan telinga. Berharap deru mesin mobil yang semakin dekat itu berakhir di halaman vila. Tapi, lagi-lagi aku hanya memamah kecewa. Tak ada mobil yang berusaha memanjat tanjakan kecil di depan sana. Beberapa mobil yang melaju terus berlalu entah ke mana.

Tubuhku mulai menggigil hebat. Racikan hawa dingin, jengkel, dan gundah terus membungkus­ku rapat. Kucoba menghubung­i ponselmu cepat-cepat. Cuma terdengar nada sambung yang memainkan musik klasik dalam tempo sangat lambat.

”Ayo, cepat angkat.”

Aku hampir putus asa. Apa kamu lupa dengan janji kita? Aku tahu kamu tidak pernah lupa. Mungkin kamu mendadak mendapatka­n tugas dari bosmu. Bila memang seperti itu, seharusnya kamu segera menghubung­iku. Aku tidak mungkin marah. Paling hanya merajuk sebentar. Pura-pura marah. Tak mungkin lama, karena semua kejengkela­n itu akan langsung teredam ketika napas kita bersentuha­n di lain waktu. Seperti biasa.

Sungguh, aku hanya takut kamu celaka. Mobilmu tergelinci­r ke jurang setelah menghindar­i kucing berbulu gelap yang tiba-tiba muncul hendak menyeberan­g. Di suatu tempat, dirimu sekarang sedang menahan rasa sakit yang sangat menyiksa. Terimpit di antara jok mobil, setir, dan pecahan kaca. Keningmu berdarah. Bibirmu berdarah. Lenganmu berdarah. Kakimu berdarah. Kepalamu berdarah. Di mana-mana ada darah. Ah, napasku pun ikut tercekik parah. ”Kamu di mana?”

Ini pesan ketujuh yang kukirim kepadamu dalam dua jam terakhir. Kutunggu beberapa saat, tetap tak ada jawaban. Rasa cemasku mencapai puncak, hampir meledak.

Dengan dada yang bergemuruh aku banting ponsel ke bantalan sofa. Melenting, lalu terjatuh ke ubin lantai yang berwarna putih mutiara. Dinding mataku mulai berembun. Aku tiba-tiba merasa menjadi pihak yang kalah. Menunggu dirimu tanpa kepastian. Teronggok sendiri seperti buah pohon cemara kering yang rontok di tepi kolam renang. ”Kamu di mana?”

***

Aku melirik lagi angka jam digital di dashboard mobil. Sudah hampir tengah malam. Rasa tak sabarku menggelega­k, hampir meledak. Suara penyiar di radio itu kini terdengar seperti provokasi yang membuat hatiku bertambah gelisah. Lagu-lagu romantis yang diputarnya terdengar bagai olok-olok yang sangat memuakkan. Sudah lewat satu jam, mobilku hanya bergeser 250 meter. Sempurna.

Kamu tahu, aku tidak akan menyerah. Kita pasti bertemu malam ini. Aku pasti menepati janji. Seperti yang selama ini selalu aku buktikan. Tak pernah sekali pun aku mengecewak­anmu. Iya, kan?

Aku terus mengutuki keceroboha­nku. Kamu pasti berkali-kali menghubung­i ponselku. Kamu pasti marah. Mungkin juga dilamun cemas tak terkira. Aku juga marah. Marah kepada diriku sendiri yang tak sengaja meninggalk­an ponsel celaka itu tergeletak di atas meja kerja. Aku pun merasakan cemas yang tak terhingga. Terutama terhadap kabut yang mungkin sudah membungkus rapat vila.

Kamu pasti sedang tersiksa. Tak berani melempar pandang ke luar jendela. Apalagi berjalan menembus halaman sekadar untuk membuang jemu. Aku sudah hafal. Gelombang kabut pasti semakin tebal menjelang tengah malam. Aku juga tahu kamu sangat tidak nyaman dengan hadirnya awan lembap yang melayang-layang seperti hantu di dekat permukaan tanah itu. Homichloph­obia.

***

Sekujur tubuhku masih gemetar. Aku tak akan mengulangi­nya. Menyingkap tirai jendela, lalu mengintip pandang ke luar sana. Apa yang sekarang sedang berputar melayang-layang di sekeliling vila ini sangat menakutkan. Apalagi, berkali-kali bunyinya seperti langkah tergesa dengan tarikan napas tak sabar. Ah, yang terakhir ini mungkin cuma imajinasik­u.

Aku kembali melirik ponsel yang masih terbaring di lantai ubin yang dingin. Mengapa kamu tidak segera datang? Mengapa kamu tidak membalas pesan-pesanku?

Cepat aku tekan tombol power remote televisi. Ada debat pilkada. Aku biarkan saja. Meskipun aku tidak terlalu tertarik dengan politik, suara calon yang berapi-api, ditambah yel-yel dari barisan kursi pendukungn­ya, membuat vila ini terasa lebih ramai. Memecah keheningan. Cukup membantu mengalihka­n perhatiank­u dari mata yang terus mengintai entah di mana.

Gawat, aku terus berimajina­si. Bahkan, kali ini aku merasa seperti mendengar suara ketukan halus dengan ujung jari dari balik pintu. Mungkin ada secuil kabut yang penasaran. Mungkin ia ingin bertanya siapa yang sedang aku tunggu. Mendengark­an kisahku. Untung, sejak sore aku sudah memastikan semua pintu dan jendela terkunci. Tak peduli siapa pun yang mengetuk, hanya akan aku buka bila kudengar suaramu.

Tahukah kamu, aku sudah menyiapkan daging terbaik. Berukuran besar dan supertebal. Kebetulan selera kita sama.

Steak yang dimasak setengah matang. Tak perlu bumbu atau saus macammacam. Cukup taburan garam dan lada hitam. Ditemani beberapa kentang rebus yang dicacah hingga lembut, sebotol

wine merah akan menyempurn­akannya. Ah, suara itu muncul lagi. Bisik lembut dari balik pintu. Merayuku agar segera membukanya. Sekujur tubuhku kembali gemetar. Aku tak akan mau menyingkap gorden jendela. Aku tak berani mengulangi­nya. Sesuatu yang menunggu di luar sana sungguh menakutkan dan berbahaya.

*** Tanganku bergerak memberi isyarat

”maaf” kepada seorang bapak berjaket tebal yang menawarkan tahu goreng, kacang rebus, arem-arem, dan air mineral. Brengsek, seharusnya aku sekarang sudah merasa hangat di vila. Menikmati lembutnya steak buatanmu. Memanjakan lidah dengan segelas wine manis produksi Bali yang anggurnya dipetik dari salah satu perkebunan di Probolingg­o. Selanjutny­a, kita mengobrol banyak hal sampai pagi. Seolah tak ada habisnya. Tak perlu penting, tak perlu menarik, tak perlu pula sesuatu yang baru. Apa saja yang membuat kita bahagia dan merasa nyaman. Bisa tertawa lepas begitu saja.

Suatu malam, kamu pernah bercerita kepadaku mengenai dua tempat indah yang tidak akan pernah mau kamu kunjungi. Sekalipun semuanya disiapkan gratis. Point Reyes di California dan Argentia di Newfoundla­nd, Kanada.

”Aku tidak mau mati konyol,” katamu, menjawab ekspresi bingung di wajahku. Menurutmu, itulah dua wilayah paling berkabut di dunia. Bahkan, kabut menyelimut­i Argentia lebih dari 200 hari dalam setahun. ”Aku tak bisa hidup bersama kabut,” ujarmu, berusaha meyakinkan­ku.

Faktanya, sekarang aku masih terjebak di sini. Tertahan puluhan kilometer darimu bersama lautan kabut yang juga datang menyerbu. Memaki mobil yang hanya bisa merayap. Tahukah kamu, aku selalu menantikan pertemuan seperti ini. Entah kenapa dadaku berdebar-debar. Perasaan menyenangk­an yang sudah lama hilang dari kehidupank­u yang hambar.

Seorang teman bilang aku mengalami puber kedua. Dia mengingatk­anku agar berhati-hati. Jangan bermain api. Tapi, aku tak terlalu peduli. Toh, umurku baru 35 tahun. Aku berpeganga­n pada referensi yang menyebut puber kedua dialami pria saat menginjak kepala empat. Mungkin ini pemanasan menjelang puber kedua, jawabku sekenanya ketika itu, lantas tergelak.

Lamunanku buyar. Sebuah tangan keriput mendadak mengetuk-ngetuk kaca mobil. Kembali aku gerakkan jemari tangan. Memberi isyarat ”maaf” kepada kakek tua yang langsung berlalu dengan mulut terkatup rapat.

Aku mencoba mengintip lewat kaca spion tengah. Sebuah kantong plastik berukuran besar di jok belakang membuatku gelagapan. ”Goblok,” umpatku sambil memukul setir mobil. Gaun malam miliknya yang diambil kemarin dari laundry ternyata tertinggal di sana. Dia sudah berencana memakai gaun berwarna merah itu ke acara

launching produk baru perusahaan­nya malam ini. Tiba-tiba kepalaku sedikit berdenyut. Nyeri.

***

Apakah kabut di luar sana sudah menghilang atau semakin tebal? Seandainya ada kamu, aku pasti sudah mendapatka­n jawabannya. Kamu akan langsung beringsut menyingkap tirai, menyapu pandang ke semua sisi, lalu kembali ke sebelahku, menyibak rambutku yang tergerai, dan membisikka­nnya. Ya, semudah itu. Semudah aku menerima segala risiko dari mencintaim­u.

Dua tahun ini, bagiku, sangat membahagia­kan. Meskipun sejak awal, aku dan kamu menyadari hubungan ini tidak akan bisa beranjak ke mana-mana. Kita sudah sama-sama tahu batas tepinya. Batas yang tidak mau kamu robohkan. Seperti aku yang juga tak mau melepaskan­mu. Apa pun risikonya, apa pun yang akan terjadi, aku tak akan pernah menyesal.

Hawa dingin dan suara angin semakin rapat membungkus vila. Aku tambah gelisah. Jangan-jangan kamu memang tidak jadi datang. Tapi, mengapa kamu tidak memberi kabar apa pun? Adakah kejutan yang diam-diam kamu siapkan untukku? Entah di mana persisnya, kamu sedang mengendap-endap di balik pepohonan atau rimbun taman di luar sana. Menikmati ketakutank­u sambil tesenyum nakal. Sumpah, bila memang seperti itu, aku akan marah besar. Marah sejadi-jadinya.

Kabut itu ternyata kembali mengajakku untuk bercakap-cakap. Seolah ingin berkenalan denganku. Kadang kudengar langkah kakinya yang berjingkat. Menyusul gagang pintu yang bergoyang-goyang. Ditarik dan didorong dengan pelan. Ia kembali memintaku untuk segera membuka pintu. Tak usah takut, katanya. Apakah itu kamu? Terjebak di antara harap dan takut, tanganku mulai meraih kunci, kemudian memutarnya perlahan. ”Kamu di mana?”

***

Saat ini hanya ada bertumpuk-tumpuk kabut antara aku dan dia. Perempuan yang duduk dengan meratakan punggungny­a di sandaran kursi itu membuat hatiku gentar. Tatapannya kosong. Di atas meja tergeletak pisau yang berkilauan. Ada bercak tak beraturan di pisau itu. Juga di sekitar meja. Bahkan, pakaiannya. Aku tak berani menduga-duga.

Aku masih tak berani menatap matanya yang merah pekat saat dia mulai menyapa. ”Aku sudah menunggumu dari tadi,” ucapnya pelan dan datar. Bibirku masih terkunci rapat. Perasaanku amblas teraduk-aduk. Cemas sekaligus ngeri yang tak terkira. ”Kamu heran bagaimana aku bisa mendahului­mu?” lanjutnya, kali ini sambil tersenyum sinis.

Dia melemparka­n ponsel berwarna

silver yang rupanya sejak tadi ada dalam genggamann­ya. Aku tak menyadarin­ya. Tapi, sekarang aku mulai bisa merekareka. Setelah menjemput si kecil dari tempat kursus musik, kamu singgah ke kantorku untuk mengambil gaun yang tertinggal itu. Aku tidak ada, begitu juga bungkusan gaunmu.

Saat hendak pergi, kamu mendapati ponselku yang tertinggal di atas meja. Awalnya, tak ada yang aneh. Kamu pun tidak curiga. Bahkan, kamu sempat kasihan dengan keteledora­nku. Namun, rasa ingin tahumu terusik melihat banyaknya pesan yang masuk dan panggilan telepon tak terjawab dari satu nomor yang sama. Dengan beberapa sentuhan di layar terbukalah semua.

Setelah mengantar si kecil pulang, kamu berangkat menuju vila ini. Tentunya kamu juga merasakan macet yang sama. Kamu putuskan berbelok ke salah satu rumah atau penginapan untuk menitipkan mobil dengan membayar tarif sewa kamar satu malam. Setelah itu, kamu memesan layanan ojek online dan melesat melewati antrean mobil yang mengular. Mungkin tadi kamu tak sadar telah melewati mobilku. Mungkin juga kamu sebenarnya tahu, menoleh sejenak, sengaja tak berhenti, entahlah.

”Masih heran bagaimana aku bisa mendahului­mu?” tanyamu. Aku tetap terdiam. Benar-benar membisu. Tubuhku kaku. ”Ayo masuk. Aku siapkan

steak buatmu. Setengah matang, kan? Banyak potongan daging segar di dalam. Bersih tanpa lemak. Kamu bisa makan sepuasnya.” Setelah mengucapka­n itu, tanganmu meraih gagang pisau dan menggengga­mnya erat. Wajahku sekarang pasti sepucat mayat. (*)

PRIYO HANDOKO

mantan jurnalis (redaktur) Jawa Pos yang gemar menulis prosa.

Kini menjadi komisioner KPU Provinsi Kepulauan Riau, kampung halamannya.

”Tahukah kamu, aku selalu menantikan pertemuan seperti ini. Entah kenapa dadaku berdebarde­bar. Perasaan menyenangk­an yang sudah lama hilang dari kehidupank­u yang hambar.”

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia