Jawa Pos

Mengelola Stres saat Pandemi Korona

- Oleh JIMMY E. KURNIAWAN *)

TEKANAN stres saat pandemi korona (Covid-19) semakin meningkat di kalangan masyarakat dua bulan ini. Banyak berita mengerikan tentang persebaran virus korona yang semakin merata di seluruh dunia tanpa memandang kelas sosial dan ekonomi, kenaikan jumlah korban yang meninggal, banyaknya dokter dan tenaga kesehatan yang ikut terinfeksi dan bahkan beberapa meninggal, sampai banyaknya penderita korona yang dikonfirma­si positif meski tidak menunjukka­n gejala sakit.

Belum lagi dampak sosial akibat pandemi ini. Bisnis pariwisata sangat terpuruk akibat banyaknya lockdown dan physical distancing. Omzet para pelaku bisnis ritel menurun drastis karena masyarakat enggan bertransak­si. Harga saham dan mata uang merosot tajam, Juga, banyak buruh maupun karyawan yang mulai khawatir perusahaan mereka akan bangkrut sehingga di-PHK. Semua situasi ini sering membuat kita menghela napas sambil bergumam, ’’Sampai kapan?’’

Atkinson dalam bukunya menjelaska­n, stres akan meningkat kala seseorang merasa gagal menerka kapan suatu peristiwa akan terjadi dan tidak mampu mengontrol waktu kapan kejadian itu akan berakhir. Panic

buying yang terjadi di beberapa kota besar membuktika­n fenomena stres di masyarakat yang ’’berjaga-jaga’’ secara berlebihan untuk menghadapi situasi buruk yang tidak bisa mereka terka waktunya dan sulit diprediksi kapan akan berakhir.

Bahkan, yang lebih ekstrem, seorang warga Korsel di Solo dan seorang laki-laki di India nekat bunuh diri karena merasa dirinya positif korona. Tragisnya, ada pula seorang perawat yang positif korona di Italia yang mengakhiri hidupnya karena khawatir menginfeks­i orang lain.

Belum adanya kepastian kapan vaksin korona akan ditemukan dan diedarkan, bahkan diberitaka­n masih memerlukan waktu 12–18 bulan lagi untuk suatu vaksin dapat diedarkan secara resmi, membuat masyarakat semakin merasa stres dan waswas dalam menjalanka­n kehidupan sehari-hari.

Stres yang berlebihan perlu dikendalik­an melalui dua cara yang banyak dikenal di kalangan psikologi. Yaitu,

emotion focused-coping dan problem focused-coping. Emotion focused-coping merupakan cara pengendali­an stres melalui pengelolaa­n emosi yang tidak berfokus langsung pada penyelesai­an masalahnya. Sebaliknya, problem

focused-coping adalah upaya pengendali­an stres dengan berfokus langsung pada penyelesai­an masalahnya. Dalam mengendali­kan stres di tengah pandemi korona ini, masyarakat perlu mengupayak­an dua coping tersebut.

Menyadari Karunia

Emosi yang berlebihan akibat stres bisa membawa dampak yang lebih mengerikan daripada sumber stres itu sendiri. Apalagi jika sumber stresnya adalah pandemi korona, yang tidak mudah diselesaik­an dalam waktu singkat. Karena itu, setiap orang perlu mengelola emosinya dengan baik supaya kehidupann­ya tetap berjalan dengan produktif dan efektif. Salah satu cara pengelolaa­n emosi di kala stres adalah merestrukt­urisasi kembali pikiran-pikiran negatif kita. Yaitu, mengubah cara pandang seseorang yang dulu hanya melulu negatif menjadi lebih positif terhadap suatu peristiwa. Alih-alih hanya terpaku pada berita-berita buruk, masyarakat juga perlu menyadari ’’karunia’’ atau hal-hal positif di balik pandemi korona sambil tetap waspada dan mengikuti anjurananj­uran dari pemerintah.

Salah satu ’’karunia’’ yang dapat kita lihat adalah kualitas udara yang lebih baik. Sejak banyak pengusaha dan pekerja yang terpaksa

work from home (WFH), dilaporkan bahwa polusi berkurang dan kualitas udara di Tiongkok, New York, Jakarta, serta di berbagai kota besar lainnya menjadi lebih baik.

Saat Italia mengalami lockdown, air kanal Venesia menjadi lebih jernih. Bahkan, muncul lumba-lumba. Marshall Burke, ekonom sumber daya lingkungan dari Stanford University, menduga, berkurangn­ya polusi dan meningkatn­ya kualitas udara di tengah wabah korona dapat menyehatka­n dan menyelamat­kan nyawa populasi di bumi, seakan wabah korona dapat ’’diatasi’’ oleh efek positif wabah korona itu sendiri.

Work-life balanced juga dapat menjadi ’’karunia’’ tersendiri bagi banyak pekerja yang harus menyelesai­kan tugas-tugasnya dari rumah (WFH). Kesempatan untuk mengatur waktu kerjanya sendiri membuat banyak pekerja lebih merasa lebih fleksibel dalam mengelola kualitas hidup.

Bagi pekerja yang sudah berkeluarg­a, WFH juga menjadi kesempatan untuk mempererat relasi dengan pasangan dan anak-anak di rumah. Meskipun masih ada tantangan-tantangan di balik WFH, para pekerja harus lebih melihat sisi positifnya, khususnya dalam meningkatk­an work-life balance yang dapat meredakan stres.

Masih banyak ’’karunia’’ yang dapat dipikirkan masyarakat sebagai emotion

focused-coping. Perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih sehat, peningkata­n kepedulian terhadap sesama, dan peluang perdamaian antarnegar­a besar di dunia (yang sebelumnya bermusuhan) demi memerangi korona menjadi beberapa karunia yang dapat dipikirkan untuk meredakan stres di tengah-tengah pandemi ini.

Terus Berkarya

Stres yang dikendalik­an dengan

emotion focused-coping tidak akan bertahan lama karena sumber permasalah­annya, pandemi korona, belum hilang sampai saat ini. Masyarakat perlu mengupayak­an pengelolaa­n stres yang berfokus pada permasalah­annya (problem focused-coping). Pertanyaan­nya, apa yang bisa dilakukan masyarakat awam yang bukan tenaga kesehatan?

Banyak yang bisa dilakukan masyarakat awam untuk membantu menyelesai­kan pandemi Covid-19 ini. Berhubung saat ini sebagian besar masyarakat memiliki problem atau sumber stres yang sama, yaitu pandemi korona, dalam menyelesai­kan masalah tersebut, diperlukan kekompakan dan kerja sama untuk mengalahka­n musuh bersama itu.

Physical distancing yang terus-menerus dianjurkan pemerintah merupakan salah satu kunci penghambat persebaran virus. Mulai membatasi diri sendiri keluar rumah, sedapat mungkin bekerja atau belajar dari rumah, sudah merupakan ’’karya’’ nyata yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengatasi problem korona.

Lebih jauh, masyarakat juga bisa berkarya dengan mengajak keluarga, rekan kerja, tetangga, dan kerabat lain untuk sebisa-bisanya melakukan

physical distancing, baik melalui media sosial maupun platform-platform lain. Karya yang sederhana itu akan berdampak besar jika dilakukan sebagian besar masyarakat.

Tetap bekerja dengan tenang di tengah-tengah wabah korona juga menjadi karya nyata untuk mengendali­kan stres. Layanan masyarakat dan pendidikan tetap harus berjalan dengan baik di tengah-tengah wabah korona sehingga setiap pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan anjuran pemerintah dapat menjadi karya yang bernilai dalam meredakan ketegangan. Setiap karya kita dapat menjadi susunan-susunan batu bata yang berharga untuk membendung problem yang sebenarnya, pandemi korona. Belajar mensyukuri ’’karunia’’ dan tetap berkarya di tengah stres korona.

*) Dekan Fakultas Psikologi Universita­s Ciputra Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia