Jawa Pos

Relaksasi Terarah demi Ekonomi

- ILUSTRASI BAGUS/JAWA POS

KITA harus realistis. Sulit rasanya bertahan hidup normal bila pembatasan kian diperketat karena Covid-19. Normal dalam arti terjaminny­a hajat hidup karena produktivi­tas masyarakat. Untuk itu, isyarat pemerintah untuk mencari cara relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) perlu dipertimba­ngkan. Agar, ekonomi tak tercekik karena sektor produktif banyak yang absen.

Upaya relaksasi itu memang masih maju mundur. Karena memang situasi belum aman. Ketika Jakarta, sebagai pusat persebaran Covid19, sudah relatif mendatar, muncul klasterkla­ster di daerah. Di Pasar Kota Padang; pabrik rokok Sampoerna (Surabaya); Jatisari (Tulungagun­g); Desa Abuan, Kecamatan Susut (Bangli); Bondalem (Singaraja); Polsek Kademangan (Blitar); dan tempat-tempat lain.

Bila dilihat, sudah ada model penerapan isolasi sesuai hot spot, tak berdasar area administra­tif semata. Seperti klaster Sampoerna dan desadesa itu diisolasi sebatas di hot spot. Tidak satu kecamatan atau satu kabupaten seperti PSBB.

Desa Jatisari, misalnya, diisolasi satu desa dengan 6.500 warga di dalamnya. Itu sebenarnya sudah lebih fokus, tapi masih terlalu banyak. Semestinya fokus pada titik penularan, misalnya, hanya satu lingkungan atau RT. Bila perlu, hanya rumah-rumah warga yang positif yang diisolasi. Tentu dengan disantuni kebutuhann­ya.

Apabila isolasi atau karantina level mikro di hot spot itu bisa diterapkan, diharapkan sumber daya (petugas medis, polisi, tentara, dishub, BNPB) bisa lebih fokus bekerja. Memadamkan Covid-19 di ”titik apinya”. Kasus pertama di Depok pun yang diisolasi hanya satu rumah milik pasien 01 dan 02.

Penerapan PSBB perlu dievaluasi secara terukur. Termasuk ukuran ekonomi. Berapa dampak penurunan ekonomi yang terjadi. Terutama di kota-kota besar. Jangan sampai terlalu banyak wilayah yang tak relevan dibatasi, namun tak bisa menghindar karena jadi bagian secara administra­tif.

Kita melihat kelesuan, bahkan ramalan depresi, terjadi di sektor ekonomi. Dengan bantuan ratusan triliun rupiah untuk warga terdampak menunjukka­n betapa besar ”infus” yang dikucurkan. Ini tak boleh berkepanja­ngan. Normalnya, orang harus berkarya agar bisa menghidupi diri sendiri.

Kian mendesak untuk menghidupk­an usahausaha kecil dan menengah. Karena di sanalah persebaran pendapatan terjadi. Jangan biarkan mereka merosot menjadi penerima asupan bantuan alias kaum miskin. Sektor apa yang aman untuk direlaksas­i, tinggal belajar dari pengalaman negara-negara lain yang relatif sudah ”bernapas” dari rundungan Covid-19. Seperti Vietnam, Taiwan, Korsel. Tetap dengan protokol kesehatan, yang kini jadi ukuran normal baru.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia