Jawa Pos

Susahnya Membedakan Layak dan Kebelet

-

MEMANG tidak mudah urusan data dan pendataan. Apalagi, data dum-duman. Bantuan. Mudah kalau anggaranny­a berlimpah-limpah. Sangat ruwet kalau anggaranny­a terbatas, sasaran penerima banyak. Susah membedakan antara ”layak” dan ”kebelet” menerima.

Layak menerima itu kualitatif. Karena itu, subjektif. Layak menurut kita, belum tentu kata mereka. Untuk menghindar­i bias, biasanya dibuatkan indikator-indikator. Ada kriteria. Itu pun belum tentu memuaskan semua pihak. Wajar. Sebab, kualitatif. Beda dengan kuantitati­f.

Demikian juga konsep ”terdampak”. Misalnya dalam kasus pandemi Covid19 ini. Sasaran penerima bantuan adalah warga terdampak. Nah, konsep terdampak itu seperti apa, kenapa, bagaimana, siapa? Saya meyakini, musyawarah itu akan berpotensi lonjong. Tidak akan pernah bulat.

Saat ini semua terdampak. Karena itu, definisi dan indikator atas konsep terdampak tersebut mesti terang. Jelas. Sejelas-jelasnya. Misalnya, calon penerima, antara lain, guru ngaji, guru swasta nonsertifi­kasi, guru TPQ, guru madrasah diniyah.

Secara spirit, nilai, niat, mungkin baik. Mereka juga terdampak di masa pandemi. Tapi, sebagian publik tetap akan susah menerimany­a kalau ternyata rumahnya bagus, mempunyai mobil, ada sawah, dan lainnya. Lho, bukankah banyak guru sebetulnya pengabdian? Bukan pekerjaan. Sementara itu, ada warga yang bukan dalam klaster tersebut, guruguru itu, yang kondisinya lebih memprihati­nkan, tapi malah tidak ter-cover bantuan. Maka, berpeluang gaduh.

Demikian juga klaster lain. Misalnya, masyarakat perikanan. Betul, hari hari ini banyak petambak juga terjun. Hancur-hancuran. Harga ikan anjlok. Gagal panen. Banjir. Tapi, sama dengan klaster guru tadi, kalau ada dari petambak itu yang rumahnya baik, sudah haji, memiliki mobil, terus dapat bantuan? Mereka juga terdampak, tapi masih kaya, tapi ruginya ratusan juta, gagal panen, tapi mungkin masih punya simpanan. Pembahasan itu susah selesai.

*

APBD Gresik merealokas­i anggaran sebesar Rp 210 miliar untuk jaring pengaman sosial (JPS). Sasarannya warga terdampak. Setiap KK penerima akan mendapatka­n Rp 600 ribu. Selama tiga bulan. Berarti, total mereka dapat Rp 1,8 juta. Maka, uang Rp 210 miliar itu hanya akan menyasar 116 ribu KK atau 30 persen saja. Sebab, jumlah KK se-Kabupaten Gresik berdasar data dari BPS 2019 sekitar 398 ribu. Saya sudah menghitung, kalau cakupan calon penerima JPS ditambah dengan warga yang sudah menerima bantuan lain dari pemerintah pusat dan provinsi, jumlah KK yang belum ter-cover kirakira masih 120 ribu.

Untuk sasaran penerima bantuan, sebetulnya ada beberapa opsi. Pertama, seluruh KK se-Kabupaten Gresik menerima JPS. Mau kaya, mau miskin, semua dapat. Asumsinya, semua terdampak korona. Jika skenario itu, proyeksi kebutuhan dana mencapai Rp 716 miliar. Angka ini setara dengan 21 persen kekuatan APBD Gresik 2020 yang diproyeksi­kan Rp 3,4 triliun.

Kedua, warga yang sebelumnya sudah mendapat bantuan reguler dari pemerintah tidak diberi lagi. Biar tidak dobeldobel. Berdasar data, kira-kira jumlah yang sudah menerima bantuan itu seKabupate­n Gresik sekitar 145 ribu KK. Dengan demikian, jumlah KK yang belum ter-cover bantuan 253 ribu. Jika opsi itu dipilih, kebutuhan dana sekitar Rp 455,4 miliar atau hanya sekitar 14 persen dari kekuatan APBD Gresik 2020.

Ketiga, karena dalih keterbatas­an anggaran, maka tetap Rp 210 miliar untuk JPS. Sebab, APBD tentu juga digunakan untuk mencukupi kebutuhan lain. Nah, kalau opsi itu dipilih, ada 120 ribu KK yang belum ter-cover. Di sinilah potensi permasalah­annya.

Sebetulnya, bisa dibalik pendataann­ya. Bukan lagi siapa yang berhak menerima. Tapi, yang sebaiknya tidak menerima dengan alasan-alasan. Artinya, akan lebih aman mendata 120 ribu KK yang semestinya tidak layak menerima JPS daripada 116 ribu KK yang layak menerima. Misalnya, yang tidak layak mnerima itu seluruh PNS, ASN, pejabat, pengusaha, seluruh anggota dewan, ketua partai, seluruh Kades, tokoh masyarakat, seluruh BPD, dan klaster lain. Sebab, mereka termasuk klaster leader. Kalau menerima, misalnya, bisa ”mencederai” rasa.

Dari beberapa opsi itu, tentu tetap ada plus dan minusnya. Yang pasti, kebijakan ini juga mesti memegang kaidah: menghindar­i kemudarata­n lebih diutamakan daripada mengambil kemanfaata­n. Betul, pemerintah beriktikad baik membantu, meringanka­n, di tengah kondisi berat seperti sekarang. Namun, kalau potensi kemudarata­nnya lebih besar, buat apa? Misalnya, berdampak pak lurah dinesuni warga yang tidak dapat, apalagi yang dapat hanya batehe alias keluargany­a, yang dapat ternyata orang mampu. Sementara itu, masih banyak yang sebetulnya lebih layak, tapi ternyata tidak dapat.

Belum lagi kalau ada titipan dari oknum. Apakah anggota dewan di dapil masingmasi­ng atau pejabat ini dan itu. Lalu, kalau nama-nama yang dititipkan tidak masuk sebagai penerima bantuan, mereka nesu, menekan, atau mengancam. Yakin tidak ada praktik yang demikian itu? Menjawab pertanyaan itu semudah menjumlahk­an angka 1 ditambah 1.

Yang sejatinya lebih penting, bagaimana pandemi ini segera pergi. Dan, setelahnya, kita banyak belajar dari pengalaman selama didera Covid-19. (*)

 ?? CHUSNUL CAHYADI/JAWA POS ?? TERUS INTENSIF: Petugas gabungan melakukan patroli berskala besar untuk mengawal penerapan PSBB Minggu malam (3/5).
CHUSNUL CAHYADI/JAWA POS TERUS INTENSIF: Petugas gabungan melakukan patroli berskala besar untuk mengawal penerapan PSBB Minggu malam (3/5).
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia