Potensi Naik Lagi setelah Longgar
Beberapa negara mulai melonggarkan kebijakan. Penduduk yang sebelumnya terkurung di dalam rumah mulai menikmati kebebasan. Namun, ada ketakutan. Gelombang penularan kedua bisa melanda.
JAMAAH memasuki salah satu masjid di Seoul, Korea Selatan (Korsel). Masingmasing memakai masker. Mulai Rabu (6/5) hampir semua masjid kembali dibuka. Tapi, dengan aturan ketat. Tiap jamaah wajib menuliskan namanya di daftar hadir. Dengan begitu, jika salah seorang tertular Covid-19, pelacakan orang yang kontak dengannya bakal lebih mudah. Mayoritas ibadah juga masih dilakukan di area luar masjid.
Korsel memang mulai melonggarkan kebijakan terkait dengan Covid-19. Penularan di negara tersebut terus menurun. Beberapa negara lainnya melakukan hal serupa. Sebut saja Australia, AS, Pakistan, Tiongkok, dan beberapa negara Eropa. Jalanan yang sebelumnya sepi sudah dilalui banyak orang. Pun demikian dengan tempat ibadah dan hiburan.
Namun, ada yang dikhawatirkan oleh para pakar kesehatan dengan pelonggaran aturan itu. Yaitu, penularan gelombang kedua. ’’Kita mengambil risiko melakukan kesalahan yang tidak bisa ditoleransi,’’ ujar Ian Lipkin dari Centre for Infection and Immunity, Columbia University.
Korsel sudah bersiap untuk penularan kedua. Pasalnya, warga Yongin berkunjung ke kelab malam di Seoul pekan lalu dan ternyata Rabu dia dipastikan positif Covid-19. Demikian pula teman yang pergi dengannya. Itu adalah kasus penularan lokal satu-satunya hari itu. Selama masa inkubasi, dia diyakini telah kontak dengan lebih dari 2 ribu orang. Sebab, selain pergi ke Seoul, dia ke Gapyeong, Chuncheon, dan Hongcheon. Pria tersebut juga pergi ke lima kelab di Distrik Itaewon, Seoul.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Korsel Son Young-rae Kamis (7/5) mengakui bahwa gelombang kedua Covid-19 memang tidak terhindarkan. Itu menilik besarnya skala pandemi virus yang kali pertama ditemukan di Tiongkok tersebut. Meski begitu, Korsel sudah bersiap jika hal itu terjadi.
Son menegaskan bahwa sistem pengawasan dan kemampuan skrining Korsel mampu mengidentifikasi kemungkinan penularan dengan cepat. Pelacakan yang efektif membuat kasus cepat diketahui. Sejauh ini hanya 5 persen pasien positif yang asal penularannya tidak diketahui. Dia meyakini gelombang kedua tidak akan sebesar yang pertama.
’’Menilik kebijakan jaga jarak kami, wabah akan dikendalikan dalam klaster yang lebih kecil. Kecepatan penularan infeksi juga bakal lebih lambat,’’ terang Son seperti dikutip The Straits Times.
Persiapan serupa dilakukan Jerman. Kanselir Jerman Angela Merkel meminta penduduk tetap waspada karena peluang gelombang kedua tetap ada. Hal senada diungkapkan Presiden Robert Koch Institute Lothar Wieler. Yaitu, para ilmuwan yakin gelombang kedua bahkan ketiga sangat mungkin muncul. ’’Ini pandemi dan dalam pandemi virus akan tetap berada di daftar perhatian medis hingga 60–70 persen populasi terinfeksi,’’ tegasnya.
Sementara itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa Covid-19 bakal merenggut setidaknya 190 ribu nyawa di Benua Afrika dalam 12 bulan ke depan. Virus mematikan tersebut juga akan bertahan di benua itu selama beberapa tahun. Bulan lalu WHO sempat menyatakan bahwa akan ada 10 juta penularan di Afrika dalam 6 bulan. Hal tersebut terjadi lantaran sistem kesehatan di negara-negara Afrika lemah.
Covid-19 juga menimbulkan dampak lainnya. Yakni, meningkatnya kebencian terhadap golongan tertentu. Sentimen terhadap warga asing, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata, terus naik. Ujaran kebencian kian sering dilontarkan. Pun demikian dengan xenophobia yang terus bermunculan. Kebencian terhadap umat Islam dan warga Asia juga naik.
’’Jurnalis, whistle-blower, tenaga kesehatan, relawan, dan pejuang HAM dijadikan target hanya karena melakukan pekerjaannya,’’ tegas Sekjen PBB Antonio Guterres kemarin (8/5).