Jawa Pos

Mas Didi Menolak Dibantu karena Ingin Berusaha Sendiri

Karakter bersahaja dan pantang menyerah Didi Kempot terasah sejak masa kecilnya di Ngawi. Suaranya bagus dan punya karisma.

- LATIFUL HABIBI, Ngawi, Jawa Pos

KATA sang kakak, ”Pas kecil Didi itu memang bandel, tapi sebatas umumnya anak remaja. Mulai dari malas sekolah sampai suka berkelahi dengan teman dan sebagainya.”

Kata sang adik, ”Cerita dari ibu, Mas Didi itu sekolah jarang masuk, senengane gelut (suka berkelahi, Red).’’

Kata teman sekolah, ”Wah, dia itu kendel (pemberani, Red). Waktu masih SMP dia pernah mengajak berantem anak-anak SMA.”

Semua cerita itu terjadi di Ngawi, tempat Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot dibesarkan. Didi yang lahir di Solo diboyong ke kabupaten di ujung barat Jawa Timur tersebut setelah pernikahan ibundanya, Umiyati, dengan Ranto Edi Gudel, yang sudah membuahkan tiga buah hati, tak bisa bertahan. Saat sang adik dibawa ke Ngawi, dua kakaknya, Joko Lelur Sentot Suwarso dan Mamiek Prakoso, ikut sang bapak di Solo.

”Dia dibawa ke Ngawi saat masih bayi,” terang Lilik Subagyo, kakak tertua Didi, putra Umiyati dari pernikahan sebelum dengan Ranto Edi Gudel, kepada Jawa Pos Radar Madiun.

Didi pun tumbuh jadi bocah Dusun Sidowayah, Desa Jenggrik, Kecamatan Kedunggala­r, Ngawi, kampung halaman sang ibu. Kampung yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Ngawi ke barat

Di kampung itu pula karakter Didi yang pemberani, pantang menyerah, serta perhatian kepada saudara dan sesama terbentuk. Karakter yang tetap tak luntur kala namanya kelak melejit sebagai maestro campursari/ pop Jawa.

Masa sekolah dasar dia lalui di SDN 1 Jenggrik. Setelah lulus, kata Lilik, dia sempat meneruskan sekolah di SMP Kosgoro, Ngawi. Namun, tak sempat lulus.

Selama menjalani masa sekolah di Ngawi, Lilik menyebut adiknya itu dulu sering ke Solo. Meski beda provinsi, jarak Ngawi-Solo tidak terlalu jauh karena Ngawi berbatasan langsung dengan Jawa Tengah.

Biasanya, Didi Kempot ke Solo untuk meminta biaya kebutuhan ke bapaknya yang merupakan seniman tradisiona­l itu. Jika urusannya sudah selesai, biasanya Didi Kempot tetap pulang ke rumah ibunya di Ngawi. ”Saya malah belum tahu kalau Didi itu pernah sekolah di Solo. Kalau saya, Sentot, dan Mamiek memang pernah (sekolah di Solo),” ungkap Lilik.

Eko Guntur Martinus, adik Didi, anak Ranto Edi Gudel dari pernikahan lain, kepada Jawa Pos Radar Solo menceritak­an bahwa kakaknya sempat bersekolah SMP di Solo. Tapi, juga terhenti karena perkara biaya. Dan, akhirnya dititipkan ke seorang pakde di Samarinda, Kalimantan Timur.

Setelah berpisah dengan Ranto Edi Gudel, Umiyati menikah lagi. Dia kembali dikaruniai tiga anak: Noviana Ida Hayati, Agustina Prihatini, dan Dina Yuli Setyowati.

Dina Yuli Setyowati mengaku lebih banyak mendengar cerita tentang sang kakak dari almarhumah ibunya. Sebab, jarak usianya dengan Didi terpaut jauh: 12 tahun. Saat dia beranjak besar, sang kakak yang biasa memanggiln­ya Yuleng itu sudah tak lagi tinggal di Ngawi.

Bahkan, Yuli baru tahu memiliki saudara laki-laki Didi Kempot itu ketika sudah kelas II SD atau sekitar tahun 1985. ”Pertama ketemu dengan Mas Didi dan Mas Mamiek itu di rumah kontrakan ibu. Bukan di rumah ini (keprabon/peninggala­n orang tua, Red),” kenang Yuli yang kini menempati rumah peninggala­n sang ibu tersebut.

Waktu itu Mamiek sudah menjadi pelawak terkenal anggota grup legendaris Srimulat. Tapi, Didi Kempot masih belum jadi ”orang”. Setahu Yuli, aktivitas kakaknya kala itu masih lebih banyak mengamen.

Sebelum menikah dengan Saputri pada 1994, Didi seingat Yuli juga jarang pulang ke Ngawi. ”Mas Didi lebih sering pulang ke Solo, dan sesekali ke Ngawi untuk membesuk ibu,’’ ungkap dia kepada Jawa Pos Radar Madiun.

Kendati tak terlalu sering bertemu langsung, Yuli mengenang Didi sebagai kakak yang sangat menyayangi adik-adiknya. Didi juga disebutnya sebagai sosok yang sangat bersahaja kepada siapa saja, pekerja keras, dan tidak mau bergantung kepada orang lain.

”Sempat beberapa kali Mas Mamiek yang sudah sukses duluan ingin membantu, tapi Mas Didi selalu menolak karena ingin berjuang dengan usahanya sendiri,” kenangnya.

Anang Leybon, teman sekolah Didi, menyaksika­n sendiri kegigihan sang kawan yang dulunya suka gelut itu di jalanan Jakarta. Waktu itu, 1989, Anang yang bekerja sebagai kernet Kopaja bertemu Didi yang tengah mengamen. Mereka baru bertemu lagi setelah itu pada 2000 di Ngawi

”Banyak kenangan saya dengan Kempot, tapi saya tidak tega untuk menceritak­annya,” ujar Leybon yang mengenal Didi semasa di SMP itu.

Musik memang sudah sejak awal jadi pilihan hidup pria kelahiran 31 Desember 1966 tersebut. Kebetulan, Didi dianugerah­i suara yang merdu.

Menurut Lilik, beberapa kali adiknya yang semasa kecil bandel itu memenangi lomba menyanyi, baik di Ngawi maupun semasa tinggal di Samarinda. ”Jadi, karismanya itu sudah kelihatan. Dia hobi bernyanyi, suaranya bagus, suka main musik,” papar Lilik.

Bukti keseriusan­nya bermusik itu, lanjut Lilik, sekembali ke Solo dari Samarinda, Didi rela menjual sepeda untuk membeli gitar. ”Akhirnya tidak mau sekolah, malah pilih ngamen,” kenangnya.

Tapi, berkat keputusan itu, semua tahu, sesudahnya adalah sejarah. Lewat perjuangan berliku, Didi menggapai langit popularita­s dengan sederet lagu yang sukses menembus berbagai demarkasi: tua-muda, kayamiskin, kampung-kota.

Sampai akhirnya The Godfather of Broken Heart itu harus mengakhiri perjalanan­nya. Kembali ke kota tempat dia memulai semuanya: Ngawi.

 ?? LATIFUL HABIBI/JAWA POS RADAR NGAWI ?? CIKAL BAKAL: Lilik Subagyo, kakak Didi Kempot. Foto kanan, kondisi rumah ibunda Didi di Dusun Sidowayah, Desa Jenggrik, Kabupaten Ngawi.
LATIFUL HABIBI/JAWA POS RADAR NGAWI CIKAL BAKAL: Lilik Subagyo, kakak Didi Kempot. Foto kanan, kondisi rumah ibunda Didi di Dusun Sidowayah, Desa Jenggrik, Kabupaten Ngawi.
 ?? LATIFUL HABIBI/JAWA POS RADAR NGAWI ??
LATIFUL HABIBI/JAWA POS RADAR NGAWI

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia