Jawa Pos

Pandemi, E-Learning, dan Ilusi Teknologi

-

SEKITAR seperempat abad lalu, John Naisbitt dalam Global Paradox (1994) meramalkan, perkembang­an teknologi komunikasi (telepon genggam dan internet) akan mengakibat­kan perubahan konsep ruang dan waktu. Internet memungkink­an orang terhubung melintas batas fisik secara real time. Ramalan Naisbitt terbukti. Kini teknologi komunikasi seperti internet menjadi jalan keluar bagi aktivitas atau kebutuhan manusia yang ingin serbacepat dan efisien.

Dalam konteks pendidikan di masa pandemi Covid-19 sekarang, internet tampil sebagai penyelamat proses pembelajar­an di kampus atau sekolah yang terhenti karena kekhawatir­an penularan virus tersebut. Aplikasi video conference seperti Zoom, Cisco Webex, Google Duo, atau Google Meet menjadi substitusi dari tertutupny­a ruang komunikasi tatap muka dalam pembelajar­an. Aplikasi itu seolah ikut mengukuhka­n prediksi Naisbitt. Fasilitato­r pembelajar­an (dosen dan guru) beramai-ramai menggunaka­n aplikasi tersebut untuk menjangkau peserta didik di rumah. Secara tiba-tiba, pandemi Covid-19 memaksa dunia pendidikan mengubah metode pembelajar­an tatap muka (face-to-face) menjadi e-learning/pembelajar­an daring.

Awalnya tidak terlalu tampak ada masalah. Pada titik tertentu, itu bahkan dilihat sebagai berkah tersamar. Sebab, dunia pendidikan akhirnya bisa menerapkan e-learning yang jauh sebelumnya digaungkan. Namun, belakangan mulai muncul problem. Problem paling praktis menyangkut biaya kuota internet yang harus disediakan peserta didik. Namun, yang didiskusik­an di sini adalah problem mendasar dalam konteks human communicat­ion. Sebuah problem yang oleh Sherry Turkle dalam buku Alone Together (2011) disebut sebagai keintiman (intimacy) dan kesendiria­n (alone).

Problem tersebut menjadi kian menarik karena pada saat yang sama pandemi Covid-19 kian mendorong peserta didik saat ini (yang bisa dikategori­kan sebagai netgenerat­ion atau digital native) makin tenggelam ke dalam kehidupan virtual (virtual life) ketimbang kehidupan nyata (real life).

Beberapa waktu lalu penulis menggelar survei kecil tentang sikap mahasiswa terhadap pembelajar­an daring. Ternyata (selain mengeluhka­n biaya kuota), data kuantitati­f maupun kualitatif menggambar­kan kerinduan mahasiswa menjalani kembali pembelajar­an tatap muka. Mereka merindukan suasana kampus, kantin, teman, atau dosennya. Mereka merasa ada sesuatu yang hilang dari proses pembelajar­an melalui layar komputer atau gadget, yang dalam istilah Turkle disebut intimacy itu. Hal tersebut terkait dengan karakter teknologi yang memang bersifat paradoks: memudahkan hidup manusia, tetapi sekaligus membuat manusia terasing dari lingkungan serta dirinya sendiri.

Ilusi Teknologi

Sejak 1980-an, saat komputer mulai banyak digunakan, hidup manusia mulai berubah. Pada era itu relasi manusia dengan komputer bersifat one-on-one, antara manusia itu sendiri dan mesin. Namun, sejak pertengaha­n 1990-an, relasi tersebut berubah. Komputer berubah menjadi portal bagi manusia untuk memasuki dunia baru yang disebut dunia virtual.

Dalam konteks kekinian, orang bahkan merasa aktivitas di media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, atau lainnya sebagai hidup yang lebih nyata dibanding di dunia nyata (real life). Secara tidak sadar, teknologi sebetulnya menawarkan ilusi. Ilusi tentang kebersamaa­n dan relasi antarmanus­ia, bahkan ilusi tentang rumah (home) dengan perantaraa­n komputer (internet). Inilah hidup yang seolah-olah saling terkoneksi (networked life), tetapi tidak nyata karena hanya berlangsun­g di dunia virtual.

Dari sanalah muncul problem keintiman atau kesendiria­n. Turkle menulis, perasaan tidak aman dalam hubungan sosial dan kecemasan terkait keintiman membuat orang menoleh ke teknologi.

Melalui teknologi (komputer, gadget, atau media sosial) orang bisa menjalin hubungan dengan siapa pun, berapa pun jumlahnya, tanpa harus memiliki risiko kekecewaan sebagaiman­a berelasi dengan sesamanya. Orang memiliki harapan berlebih pada teknologi dan tidak lagi menumpukan harapan kepada orang lain. Teknologi bertindak sebagai arsitek dari keintiman dan pelarian dari dunia nyata.

Manusia, menurut Turkle lagi, adalah makhluk kesepian, tetapi takut pada keintiman. Itulah sebabnya, teknologi menjadi pelarian. Koneksi digital menawarkan ilusi pertemanan tanpa menuntut persahabat­an. Kehidupan dalam jaringan digital memungkink­an orang saling bersembuny­i dari yang lain.

Berkomunik­asi atau berelasi secara face-to-face dianggap berisiko karena mengungkap identitas diri sebenarnya. Komunikasi melalui teks lebih dipilih dibanding berbicara langsung. Hal-hal yang berlangsun­g secara real time dan

real life dianggap terlalu berlebihan. Kondisi itu membuat manusia merasa alone together (sendiri bersama-sama). Mereka saling terkoneksi dan berkomunik­asi, tetapi tetap merasa sendiri.

Peserta didik kita saat ini adalah generasi milenial atau digital natives yang tumbuh dengan gadget dan internet. Namun, pada titik ketika diwajibkan menjalani pembelajar­an daring dari rumah, mereka mulai merasakan ada yang hilang, yaitu keintiman. Social networking di internet dirasa tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan itu. Berkomunik­asi dan berelasi hanya lewat gadget membuat mereka mulai merasa kosong.

Kondisi ekstrem akibat pandemi dan penerapan physical distancing atau social distancing dalam jangka waktu tidak terbatas membuat mereka mulai mendefinis­ikan ulang makna keintiman, kesendiria­n, atau teknologi. Pernyataan-pernyataan seperti rindu kampus, kangen teman, rindu diajar dosen di kelas, dan sebagainya merupakan ekspresi verbal yang mengisyara­tkan bahwa pada titik tertentu apa yang diasumsika­n Turkle bahwa manusia adalah makhluk kesepian tetapi takut keintiman perlu diperdebat­kan. Pada kondisi ekstrem seperti sekarang (dipaksa secara nyaris total berkomunik­asi dan beraktivit­as melalui mediasi teknologi), ternyata manusia merindukan kembali keintiman yang tak bisa digantikan teknologi itu.

Dalam konteks pembelajar­an, hal tersebut bisa dijadikan titik awal kita untuk merumuskan metode pembelajar­an di masa depan yang menyeimban­gkan metode

face-to-face dan daring: sebuah metode pembelajar­an yang tidak harus efisien, tetapi membuat peserta didik merasa tidak sendirian, nyaman, dan terhubung dengan dunia nyata.

Perguruan tinggi atau dunia pendidikan memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya memperhati­kan ranah iptek sehingga mampu membentuk manusia peserta didik menjadi holistis dan utuh. Atau mengutip Naisbitt lagi, di masa pandemi dan setelahnya ini, dunia pendidikan harus merumuskan metode pembelajar­an yang –meminjam istilah Naisbitt lagi– menyeimban­gkan aspek high tech dan high

touch, bukan metode pembelajar­an yang justru mengakibat­kan kesendiria­n dan problem keintiman. *) Rektor Universita­s Surabaya

 ?? BENNY LIANTO *) ??
BENNY LIANTO *)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia