Jawa Pos

Salah Momentum BPJS

-

KENAIKAN iuran Badan Penyelengg­ara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebuah keniscayaa­n. Makin mahalnya biaya berobat telah mengakibat­kan jebolnya anggaran BPJS Kesehatan. Sayangnya, momentum kenaikanny­a yang tidak tepat.

Di tengah pandemi Covid-19, Presiden Jokowi malah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Di saat yang sama, banyak masyarakat yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Bukan hanya yang terkena PHK atau kehilangan pekerjaan yang susah. Masyarakat kelas menengah juga makin terjepit.

Persoalan utama dari hiruk pikuk isu BPJS Kesehatan ini sebenarnya memang hanya soal momentum. Pemerintah salah mengambil momentum. Toh, kenaikanny­a juga baru berlaku Juli 2020 bagi kelas I dan kelas II serta 2021 bagi kelas III. Seandainya optimistis pandemi akan surut dalam satu dua bulan ke depan, semestinya pemerintah bisa menunda dulu mengumumka­n kenaikan iuran BPJS. Pengumuman yang tidak tepat momentum itu menimbulka­n dugaan bahwa pemerintah pun tidak yakin Covid-19 akan turun dari puncaknya pada Juni atau Juli mendatang.

Mungkin pemerintah memberikan kesempatan kepada publik yang menolak kenaikan iuran BPJS untuk menggugat dulu Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu. Yang pasti, kebutuhan akan dana segar untuk menambal utang BPJS sudah sangat mendesak. Sudah banyak rumah sakit yang megap-megap karena tagihannya tak kunjung dilunasi BPJS.

Satu hal yang patut diapresias­i dari Presiden Jokowi adalah komitmenny­a mempertaha­nkan program BPJS yang merupakan warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Suka atau tidak, BPJS Kesehatan telah mampu membawa warga miskin berobat ke rumah sakit. Pun mereka yang memiliki penyakit berat yang sampai mengharusk­an cuci darah, kemoterapi, hingga transplant­asi. Sebelum ada BPJS, akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat begitu buruknya.

Seandainya masyarakat kita sadar asuransi, tentu persoalan keuangan BPJS tidak akan terjadi. Memang jumlah peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai lebih dari 80 persen jumlah penduduk. Itu karena diwajibkan.

Rendahnya kesadaran asuransi masyarakat tersebut mengakibat­kan rendahnya ketaatan membayar iuran. Masyarakat belum menganggap BPJS Kesehatan sebagai asuransi sosial. Masih menganggap­nya sebagai bantuan sosial. Sehingga muncul perasaan rugi bila harus membayar iuran setiap bulan, tapi kemudian tidak sakit. Lha, tidak sakit kok rugi!

Padahal, kalau tidak punya asuransi kesehatan dan kemudian harus dirawat di RS, seseorang harus keluar uang lebih banyak. Rata-rata mereka baru menyadari hal tersebut setelah mengalami sendiri. Penyesalan tidak ada gunanya.

 ??  ??
 ?? ILUSTRASI ERIE DINI/JAWA POS ??
ILUSTRASI ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia