Self Distancing, Mendidik dalam Keseimbangan
KALI ini self distancing sama sekali tidak berkaitan dengan Covid-19. Virus korona baru ini justru bisa menjadi momentum untuk membangun literasi mendalam tentang model pendidikan masa depan. Konon, pascapandemi, akan terbangun normalitas kehidupan baru. Dalam normalitas baru itu, self distancing, menjaga jarak, juga akan menjadi budaya baru.
Warren Edward Buffett pernah meminta nasihat bisnis kepada ayahnya. Sang ayah melarangnya masuk ke bisnis investasi saham. Walter Elias Disney pun diberi nasihat oleh kakak dan istrinya untuk tidak mengerjakan proyek Snow White. ”Kini semua tahu keduanya sama-sama sukses di dunia meski idenya pernah ditolak orang terdekatnya” . Demikian catatan Adam Grant dari Wharton School of the University of Pennsylvania dalam artikelnya di The New York Times (2/4). Sejarah telah mencatat, figur terdekat pun harus piawai dalam menjaga jarak sarannya.
Nah, pernahkah kita memberi atau menerima saran yang salah? Jangan-jangan kita bijak saat menasihati orang lain saja, tetapi tak berdaya dengan masalah sendiri.
Disadari atau tidak, guru bukan lagi tokoh utama atau orang terdekat dalam belajar siswa. Selain ada keluarga, siswa memiliki perpustakaan superlengkap dunia maya. Pusat big data itu dapat diakses dengan secolekan ujung jarinya. Dengan gawai, dunia sudah dalam genggaman kecilnya. Guru pun perlu menyadari bahwa fatwa didaktisnya bukan lagi kebenaran satu-satunya. Posisi guru kini memiliki tandingan. Meski demikian, relasi profesional guru-siswa masih memiliki ruang luas sarat inspirasi.
Bagaimana menyikapi perilaku zaman baru ini agar mendidik tetap bernilai? Menjaga jarak menjadi jalan bijak dalam membangun komunikasi efektif pada era sekarang dan nanti.
Beberapa langkah strategis dapat dilakukan dalam menjaga jarak psikologis guru-siswa. Pertama, guru dapat mengambil jarak dari rasa superiornya kepada siswa. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat siswa cukup memiliki modal referensi dari luasnya jagat informasi.
Kedua, guru sebaiknya menyadari bahwa masih banyak misteri pengetahuan yang belum diungkap karena sejatinya ilmu tidak bakal habis dikupas. Banyak ruang kosong yang dapat diperbincangkan.
Ketiga, guru perlu menggunakan kacamata bening objektifnya dalam melihat ihwal belajar siswa dari perspektif yang lebih luas dan lengkap. Jadi, drone view dapat digunakan agar diperoleh pandangan yang lebih bijak dan tidak egoistis. Karena itulah, saat memasang pigura di dinding, seseorang butuh bantuan orang lain untuk melihat dari jauh apakah piguranya lurus atau miring.
Pada sisi lain, setiap siswa sejatinya sudah mampu menjadi active problem solver. Mereka hanya butuh ruang pengakuan dari lingkungannya. Ketahudirian self distancing semua pihak adalah kuncinya. Guru-siswa dapat menjadi mitra lempar-tangkap isu literatif sehingga bisa saling melengkapi. Meski demikian, percayalah bahwa figur guru tetap terhormat di mata siswa karena jaga jaraknya berbuah bangunan kepercayaan diri.
Autokritik KH Agoes Ali Masyhuri pun perlu direnungi. Ilmu semakin tersebar. Adab dan akhlak semakin lenyap. Belajar semakin mudah. Guru semakin tidak dihargai (Jawa Pos, 26/4). Sinyalemen itu patut menjadi cambuk bagi guru untuk lebih menguatkan personalitas dan referensi kesejagatannya. Guru tidak harus mengetahui semua hal. Tetapi, guru harus menjadi kawan berdiskusi tentang banyak hal. Tugas guru adalah memastikan bahan berwacananya tetap bersanad. Dalam normalitas baru, hakikat mendidik adalah membangun keseimbangan.
EKO REDJO SUNARIYANTO