Susul Jerman, Jepang Alami Resesi
TOKYO, Jawa Pos – Jepang kembali terpuruk. Negara yang dipimpin Perdana Menteri Shinzo Abe itu mengalami resesi lagi. Kali ini adalah yang pertama sejak 2015. Resesi tersebut merupakan efek samping dari pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian berbagai negara.
Perekonomian Jepang turun 0,9 persen pada periode Januari– Maret jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Namun, jika dihitung tahunan, penurunannya mencapai 3,4 persen. Pada kuartal terakhir 2019, Jepang mengalami penurunan 6,4 persen. Sebuah negara disebut mengalami resesi jika pertumbuhan ekonomi riilnya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia itu harus bersiap karena diperkirakan situasi justru bakal memburuk. Berbagai analisis memprediksi bahwa perekonomian Jepang akan anjlok 22 persen pada periode April–Juni. Itu akan menjadi penurunan terbesar dalam catatan sejarah Jepang jika benar terjadi.
’’Kami memperkirakan hal terburuk belum terjadi,’’ ujar ahli ekonomi senior di SuMi Trust Naoya Oshikubo seperti dikutip The Guardian.
Jepang bukan satu-satunya yang mengalaminya. Pekan lalu Jerman terkena resesi yang merupakan dampak ekonomi dari Covid-19. Dampak perekonomian secara globalakibatCovid-19itubisamencapai USD 8,8 triliun atau setara dengan Rp 132,002 kuadriliun.
Banyak negara yang menerapkan kebijakan lockdown untuk memperlambat penularan Covid-19. Imbasnya, banyak bisnis yang harus tutup sementara atau bahkan gulung tikar. Jepang tidak menerapkan lockdown. Namun, Negeri Sakura itu sejak April mengeluarkan status darurat untuk 39 di antara 47 prefektur di negara tersebut. Situasi kian buruk karena sejak Oktober lalu Jepang menaikkan pajak penjualan dari 8 ke 10 persen.
Selama ini Jepang mengekspor besar-besaran produk yang dihasilkannya. Begitu negara-negara jujukan ekspor tersebut tutup karena lockdown, Jepang kelimpungan. Penjualan produk perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota dan Honda di seluruh dunia terjun bebas.
Di dalam negeri, Jepang mengandalkan sektor pariwisata. Namun, karena pendemi Covid-19, turis asing tak lagi berdatangan. Total ada lebih dari 16 ribu kasus di Jepang dan 740 orang tewas.
AS tak lebih baik. Di kuartal pertama tahun ini, perekonomian negara yang dipimpin Presiden Donald Trump itu turun hingga 4,8 persen. Angka pengangguran di negara tersebut bahkan diperkirakan bisa mencapai 25 persen. Tiongkok yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia mengalami penurunan 6,8 persen di kuartal pertama.
Tiongkok belum bisa berhasil lepas dari virus mematikan tersebut. Klaster baru di Provinsi Jilin memaksa mereka harus kembali memberlakukan lockdown. Total ada 108 juta orang di provinsi tersebut yang di-lockdown. Jaringan transportasi umum seperti bus dan kereta api dihentikan, sekolah ditutup sementara, dan puluhan ribu orang dikarantina. Situasi itu membuat cemas penduduk. Sebab, mereka berpikir pandemi di Tiongkok telah selesai ketika karantina di Wuhan berakhir.
Di beberapa negara lain situasinya juga sama buruk. Sistem kesehatan di Sao Paulo, kota terbesar di Brasil, bahkan sudah hampir kolaps. Rumah sakit umum di kota tersebut sudah terisi 90 persen. Dua pekan lagi mereka tidak mungkin menerima pasien.
’’Mereka yang melanggar lockdown itu seperti bermain Russian roulette dengan nyawa orang,’’ tegas Wali Kota Sao Paulo Bruno Covas.