Kemendikbud Longgarkan Syarat Prodi Baru
Tapi, Belum Ada Kampus yang Mengajukan
JAKARTA, Jawa Pos – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan kelonggaran pada kampus yang ingin membuka program studi (prodi) baru. Terutama prodi dengan sistem kerja sama. Kelonggaran tersebut merupakan bagian dari implementasi program Kampus Merdeka.
Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud Ridwan menjelaskan, syarat pembukaan prodi tahun ini memiliki banyak perbedaan dengan tahun lalu. Terutama soal kemudahan pembukaan prodi baru dengan skema kerja sama bagi PTN atau PTS yang terakreditasi unggul. ”Prinsipnya, mereka diberi izin membuka prodi sendiri,” ujarnya dalam konferensi pers virtual kemarin (18/5).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, tahun lalu hanya PTN badan hukum yang diberi privilege tersebut. Itu pun melalui prosedur normal, harus ke kementerian untuk mendapatkan izin. Tahun ini, ketentuan itu diubah. Seluruh PT yang memiliki akreditasi dengan peringkat baik sekali atau unggul dapat membuka prodi melalui kerja sama sendiri. Hal tersebut sesuai dengan Permendikbud 7/2020 pasal 36 ayat (1). Ketentuan itu pun berlaku bagi perguruan tinggi dengan peringkat akreditasi A dan B. ”Bisa kerja sama dengan mitra industrinya,” tuturnya.
Selain itu, pada kebijakan sebelumnya, pembukaan prodi baru harus menunggu nomenklatur. Saat ini tak perlu menunggu adanya nomenklatur baru, boleh langsung mengajukan. ”Cukup mencantumkan dua surat, pembukaan prodi dan penambahan prodi,” sambungnya.
Nah, untuk syarat-syaratnya, kampus harus membuat perjanjian kerja sama dengan organisasi atau lembaga terkait untuk mendukung capaian pembelajaran. Kemudian menyatakan kesanggupan menelusuri lulusan prodi pada dunia kerja. Dengan begitu, lulusan prodi tersebut bisa langsung mendapatkan pekerjaan.
Untuk program pendidikannya, Ridwan mengatakan, tak ada pembatasan. Bisa untuk program sarjana hingga doktor. Dia menyebutkan, prioritas lembaga atau organisasi yang menjadi mitra kerja sama adalah perusahaan multinasional, teknologi global, start-up teknologi, organisasi nirlaba kelas dunia, dan institusi multilateral.
Lalu, tidak ada batasan program studi. Tidak harus di bidang science, technology, engineering, and mathematics (STEM) atau non-STEM. Alasannya, seluruh PT tersebut sudah bekerja sama dengan industri mengenai kesepakatan bahwa lulusan bisa langsung diterima bekerja. ”Tapi, yang diharapkan pemerintah itu pembukaan program studi kekinian yang dapat mendukung industri 4.0,” katanya.
Karena mengacu pada kebutuhan industri, lanjut Ridwan, prodi bisa saja ditutup bila mitra tidak membutuhkan lagi lulusan program tersebut. Bisa juga dengan mengalihkan ke industri lain yang membutuhkan tenaga ahli di bidang tersebut. ”Ini bukan unit struktural. Kalau butuh bisa dibuka. Kalau cukup kebutuhannya, boleh ditutup,” papar Ridwan.
Sayangnya, meski banyak kemudahan yang ditawarkan, belum ada PT yang mengajukan pembukaan prodi baru dengan skema kerja sama tersebut. Ridwan menduga, hal itu disebabkan sektor industri yang saat ini juga sedang mengalami kesulitan akibat Covid-19.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Paristiyanti Nurwardani menegaskan, belum ada keputusan terkait pembukaan kegiatan pembelajaran di kampus untuk tahun akademik baru. Hingga kini, pihaknya masih menunggu keputusan BNPB dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).