Jawa Pos

Ramadan, Budaya Memberi, dan Pandemi

- Oleh (*)

SUATU hari anak saya yang masih SD dengan cemberut berkata, ’’Aduh, Lebaran ini aku miskin kalau gak mudik’.’ Saya tertawa mendengar kalimat itu karena seperti biasa dia pasti sudah membayangk­an dapat uang ’’angpao’’ yang banyak ketika bertemu sanak saudara saat Idul Fitri. Mungkin, hampir semua anak di Indonesia mempunyai pemikiran yang sama dengan anak saya ketika menjelang Lebaran. Budaya membagi-bagi uang ketika berkumpul saat Lebaran memang sudah berlangsun­g lama. Entah bagaimana dulu awalnya.

Hati kecil saya terusik juga dengan kata-kata tersebut. Muncul kegalauan dalam diri saya. Membayangk­an kalau sikap mengharap pemberian orang lain itu menjadi pola pikir yang akan dibawa sampai dewasa. Akan sangat mengkhawat­irkan kalau setiap individu mempunyai sifat suka diberi dan bukan sebaliknya.

Hal tersebut sebenarnya sudah tampak di masyarakat Indonesia pada umumnya. Ketika ada bantuan atau pemberian sesuatu secara gratis, antusiasme massa sangat besar. Mereka rela berdesakde­sakan sampai berebut mendapatka­n barang gratisan tersebut. Ironisnya, tidak semua dari mereka adalah orang yang benar-benar susah. Tidak jarang, mereka sebenarnya masih bisa makan layak, tetapi merasa dirinya masuk golongan yang pantas diberi.

Contoh kecil lain ketika ada pembagian takjil gratis di jalan saat Ramadan. Tujuan pembagian takjil adalah memberi mereka yang tidak punya makanan untuk buka puasa atau para musafir yang kira-kira saat azan magrib masih di jalan. Dengan begitu, dia punya bekal untuk sekadar membatalka­n puasa. Kenyataann­ya, setiap kendaraan yang lewat berebut meminta takjil tersebut. Padahal, ada di antaranya yang merupakan perjalanan pulang dari beli takjil. Itu pun sampai ada yang marah ketika tidak kebagian. Miris sekali melihat mental sebagian masyarakat seperti ini.

Budaya masyarakat suka meminta atau diberi menunjukka­n belum berhasilny­a pendidikan karakter di keluarga dan sekolah. Orang tua dan guru perlu menanamkan nilai-nilai empati serta peduli yang lebih besar kepada anak-anak. Orang yang suka diberi saja menunjukka­n rasa empati dan pedulinya rendah karena dia lebih mementingk­an dirinya sendiri. Pembiasaan semangat tangan di atas lebih baik daripada di bawah sangat penting diberikan sejak anak usia dini. Jika hal itu dilaksanak­an bersama antara keluarga dan sekolah, generasi Indonesia masa depan mempunyai budaya memberi yang lebih kuat daripada menerima.

Kuatnya budaya memberi juga akan meningkatk­an kualitas manusia dalam lingkungan tersebut. Mungkin, itulah yang ingin diajarkan Tuhan saat ini. Tampaknya, salah satu alasan Covid-19 belum beranjak dari bumi ketika Ramadan tahun ini adalah Tuhan ingin menyeleksi kualitas pribadi manusia. Di tengah dampak ekonomi pandemi ini, akan terlihat siapa yang mempunyai jiwa suka memberi atau hanya suka diberi.

Salah satu ibadah yang utama dalam Ramadan adalah sedekah. Semangat bersedekah di saat usaha lagi sepi, gaji dipotong berapa persen, tidak ada tunjangan hari raya, atau mungkin terkena PHK menjadi tantangan yang sangat berat saat ini. Hanya orang-orang yang mempunyai kualitas iman tingkat tinggi yang mampu bersedekah di tengah kesulitan hidup. Dialah yang akan menutup Ramadan dengan gelar takwa. Semoga kita salah satunya. Amiin.

ANA CHRISTANTI MPd

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia