Bisa Tampil di Acaranya Mahasiswa Saja Saya Sudah Senang Hidup Dan Perjalanan Didi kempot (16)
Di Jogjakarta, Didi Kempot berkonser, berkolaborasi, dan bertemu anak muda Papua yang fasih menyanyikan lagu-lagunya. Artis besar yang sama sekali nggak ”ngartis”.
AYUB Antoh tak akan pernah melupakan hari itu, 5 Oktober 2019. Hari ketika dia dipertemukan dalam panggung yang sama di Jogja Expo Center dengan sang idola: Didi Kempot.
Jaraknya tak sampai sebulan setelah dia mengunggah video di YouTube
Video yang menarik banyak perhatian karena ”kontras-kontras” di dalamnya. Ayub pesepak bola, tapi yang diunggah bukan kemampuan olah bola, melainkan olah suara. Dia dari Sorong, Papua Barat, tapi yang dinyanyikan lagu Jawa. Fasih lagi.
Mereka membawakan Sewu Kutho hari itu, lagu Didi favorit Ayub. ”Saya bangga, juga degdegan, bertemu Pakde Didi. Tapi, ketika sudah nyanyi, enjoy,” kata dia kepada Jawa Pos Radar Jogja kemarin (21/5).
Banyak noktah penting dalam karir Didi dicatat di Jogjakarta. Ayub dengan latar yang kontras hanyalah salah satu eksemplar.
Sejumlah lagu Didi berlatar Jogjakarta, di antaranya Banyu Langit, yang sangat populer itu. Dia juga kerap berkolaborasi dengan musisi Jogjakarta. Djaduk Ferianto salah satunya. Tafsir Djaduk atas Stasiun Balapan, seperti ditampilkan kembali oleh Didi dengan iringan Kua Etnika di Ngayogjazz 2019, misalnya, demikian memikat.
Didi sebelum ”Godfather of Broken Heart” dan ”Cendol Dawet” juga mencatat sebuah konser penting di Panggung Kemepyar Etnika Fest 2017. Dia manggung di lokasi terbuka di Wisdom Park, di ujung simpang empat Sagan, Gondokusuman, Sleman.
Tak sedikit dari ribuan penonton yang kebetulan saja lewat saat itu akhirnya berhenti dan ikut bernyanyi serta berjoget. ”Seingatku juga nggak ada tagline khusus, seperti ’Cendol Dawet’. Orang-orang menikmati dengan caranya sendiri, yang sakit hati, patah hati sesuai karya beliau, semua mengeluarkan perasaannya,” tutur Kevin Maulana, salah seorang panitia Etnika Fest 2017, kepada Jawa Pos Radar Jogja.
Kevin mengenang, dirinya mengusulkan Didi jadi bintang tamu berdasarkan pengalaman kuliah kerja nyata di Kulonprogo, Jogjakarta. Hampir setiap hari dia mendengar lagu-lagu Didi di rumah-rumah warga, di antara tongkrongan bapak-bapak, hingga hajatan seperti resepsi pernikahan. Suket Teki dan Dalan Anyar yang sedang hit kala itu.
”Didi Kempot itu artis yang tetap jalan terus di arusnya sendiri, kenapa nggak coba dihadirkan lagi di acara mahasiswa? Setelah kami diskusikan, temanteman divisi acara setuju, akhirnya cari-cari kontaknya, terus kami hubungi,” jelas alumnus ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu.
Popularitas Didi sudah melejit saat itu. Tapi, yang mereka temui di balik layar ternyata sosok yang ramah dan bersahaja, jauh dari kesan ”ngartis”.
”Dengan deal harga waktu itu, kami sanggupnya hanya Rp 10 juta. Pakde Didi bilang, ”Sing penting buat teman-teman (kru), nek aku bisa tampil di acaranya mahasiswa wae wis seneng (Yang penting buat teman-teman (kru), kalau saya bisa tampil di acaranya mahasiswa saja sudah senang)’,” kenang Kevin menirukan Didi.
Ketidak-”ngartisan”-an Didi itu juga dikenang Desi Aprilia, liaison officer-nya saat itu. Persisnya saat mengarahkan Didi menuju hotel untuk transit. ”Sudah di-share location tetap saja pakde nggak paham cara pakainya, akhirnya mengandalkan telepon. Dari Jalan Kaliurang
sampai Hotel Tentrem, beliau bolak-balik tanya, ’Saya sampai sini terus belok mana?’ Pokoknya wes ora kaya artis blas (pokoknya tidak seperti artis sama sekali),” kenangnya.
Dua tahun berselang, dia kembali tampil dalam acara Jogja Menyapa di Fakultas Ilmu Budaya UGM (Universitas Gadjah Mada). Acara yang digagas MC kondang Anang Batas bersama Paniradya Kaistimewan DIJ dan Departemen Antropologi UGM itu digelar dalam rangka menyambut mahasiswa baru yang berkuliah di Jogja.
Antusiasme penonton ternyata luar biasa. Anang menilai, fenomena itu sebagai wujud ekspresi perasaan anak muda atas kejenuhan di sekitarnya, termasuk musik. ”Mas Didi sangat berhasil menjadi tumpuan anak-anak muda, terutama nggrantes (nelangsanya), ambyarnya,” ungkapnya.
Kesamaan kultur karena samasama berada di wilayah Mataraman sebagaimana Solo, kota tempatnya tinggal, barangkali, yang turut membuat Didi sangat mudah diterima di Jogjakarta. Ayub mengaku mulai mengenal karya-karya Didi juga saat diasuh orang tua angkatnya di Jogjakarta.
”Awalnya saya dengar-dengar saja, tapi lama-lama enak juga,” kata pemain berposisi fullback yang kini bermain di klub Liga 2 Martapura FC itu, lantas tertawa.
Berawal dari cover lagu Cidro yang dia unggah di YouTube pada 19 September 2019, total sudah 15 kali mantan pemain PSIM Jogjakarta tersebut manggung bareng Didi. Didi yang dia panggil pakde itu juga selalu berpesan kepadanya untuk selalu semangat dalam berkarya.
”Pakde selalu SMS saya, tanya kabar. Sudah makan belum? Beliau selalu care dan mau bergaul sama siapa pun. Tidak memandang mau dari Jawa, Papua, mau merangkul,” kenang Ayub yang meninggalkan Sorong saat berusia 9 tahun karena menerima beasiswa dari sebuah yayasan panti asuhan di Jogjakarta itu.
Tak ada konser Didi di Jogja yang tidak ”pecah”. HRD Boshe VVIP Club Jogja Titik Sugiarti yang dua kali menangani konser Didi di tempat dia bekerja menuturkan, penonton selalu berdesak-desakan.
Begitu juga saat Didi tampil di sisi utara Tebing Karst Breksi yang terletak di Sambirejo, Prambanan, Kabupaten Sleman, pada 13 September 2019. Menurut Anang Batas yang ikut menangani acara itu, kurang lebih 15 ribu orang membanjiri area konser.
Tak terkecuali di Ngayogjazz 2019 dan di banyak panggung lainnya di Jogjakarta. Sedemikian intim kedekatan itu, ketika Didi berpulang, Jogjakarta pun tak pelak ikut berkabung.
Anang sampai menciptakan sebuah lagu berjudul Kelingan, Kelangan (Teringat, Kehilangan) yang dia unggah di YouTube untuk menunjukkan besarnya rasa kehilangan itu.
Rasane ora percaya, ora nduga, ora ngira.
Nanging iki pancen nyata, kabeh kudu isa nampa...
(Rasanya tidak percaya, tidak menduga, tidak mengira.
Tapi, ini memang nyata, semua harus bisa menerima...)
”Kelingan Mas Didi itu grapyak (ramah), murah senyum, entengan (suka menolong, Red). Kita kelangan sosok yang seperti itu,” kata Anang.