Ramadan, Pandemi, dan Hidup Damai Menuju ”New Normal”
PANDEMI Covid-19 yang mengiringi Ramadan ini memberikan pelajaran yang sama: mengajak manusia untuk berubah. Berubah dari biasanya atau kebiasaannya. Biasanya makan dan minum saat siang, selama Ramadan dibatasi saat malam. Atau, sejak matahari terbenam hingga terbit lagi.
Biasanya enggan pakai masker dan cuci tangan. Selama pandemi, masyarakat ”dipaksa” memakai masker dan cuci tangan sesuai dengan protokol kesehatan. Dua perilaku tersebut membutuhkan pembiasaan.
Mengubah perilaku bukanlah per soalan mudah. Belajar dari pengalaman Nabi Muhammad SAW, beliau membutuhkan 23 tahun untuk mengubah bangsa Arab jahiliah. Yang penuh kebiadaban menjadi masyarakat madani yang penuh peradaban.
Dalam konteks kekinian, Ramadan bertahun-tahun sebelumnya ternyata tidak mampu membuat banyak manusia mempertahankan kebiasaan Ramadan. Yakni, membatasi pola makan. Manusia tetap saja serakah.
Padahal, itulah sejatinya yang secara simbolik diajarkan kepada manusia untuk mengekang (imsak) hawa nafsu. Menahan diri dari yang dia miliki. Menahan diri dari perilaku menguasai apa yang bukan miliknya. Merebaknya patologi sosial (penyakit masyarakat) tidak lain merupakan kegagalan manusia dalam mengambil pelajaran dari esensi Ramadan.
Pandemi Covid-19 yang datang menjelang Ramadan sejatinya menjadi pengantar, pengiring, sekaligus pengontrol atau rencana tindak lanjut (RTL) pascaRamadan. Pandemi mengubah tatanan sosial. Jika diambil hikmahnya, manusia dipaksa mengubah perilaku hidupnya. Yang biasanya hidup dengan kemewahan, kini hidup dengan kesederhanaan.
Berapa banyak pengusaha besar yang gulung tikar akibat pandemi, sekarang mereka hidup sederhana. Yang biasanya suka traveling, sekarang harus menikmati hidup di rumah bersama keluarga. Itulah yang dikatakan para ahli sebagai tatanan baru (new normal). Tatanan baru menurut para ahli, kata Suko Widodo,
akan menciptakan perilaku manusia yang baru. Yang berbeda dan berubah dari perilaku sebelumnya.
Hal tersebut perlu diperjuangkan. Caranya, seperti yang disampaikan Presiden Jokowi, masyarakat dan bangsa Indonesia harus bisa hidup damai dengan
Covid-19. Tentu itu bukan statemen menyerah kepala negara, tapi sebuah strategi menghadapi lawan yang tidak kasatmata ini.
Ibarat bermain kungfu, bangsa Indonesia harus menggunakan jurus Tai Chi. Ketika diserang musuh, tidak langsung melawan dengan serangan secara bersamaan. Namun, mengikuti irama lawan, lalu balik menyerang tanpa pukulan atau mencederai, bahkan tanpa menyentuhnya dengan keseimbangan dan energi yang dimilikinya. Hidup damai dengan Covid-19 dapat diartikan sebagai sebuah strategi baru setelah berbagai upaya belum menunjukkan hasil signifikan.
Jika dikaitkan dengan Ramadan, indikator kesuksesan Ramadan dengan keutamaan Lailatul Qadar-nya adalah adanya perubahan perilaku pada diri manusia. Mereka yang bertahan adalah manusia mukmin yang menjalankan ketakwaan dan yang secara istiqamah (ajek) ”hidup damai” dengan kehidupan Ramadan. Selama maupun setelah Ramadan. Mereka akan kembali kepada kesucian (fitrah). Itulah sejatinya ”New Normal” yang sebenarnya. Selamat berdamai, menyongsong Idul Fitri.
Dr H SHOLEHUDDIN MPdI Ketua ISNU Sidoarjo, Dosen Unusida dan Al Khoziny