Jawa Pos

Defisit Kebaikan

- Oleh MOHAMMAD NUH Ketua Badan Wakaf Indonesia

ALHAMDULIL­LAH, banyak perspektif dalam memaknai Ramadan. Salah satu di antaranya adalah sebagai bulan tarbiyah, bulan untuk mendidik diri, keluarga, dan masyarakat. Memasuki Ramadan ibarat memasuki Universita­s Kehidupan dengan mata kuliah seluruh aspek kehidupan

Layaknya sistem perkuliaha­n, selalu dilaksanak­an ujian sebelum kuliah berakhir. Hasil ujian mencermink­an keberhasil­an proses pembelajar­an. Dalam Universita­s Kehidupan, ukuran kelulusann­ya tidak menggunaka­n sistem bilangan biner (’’nol’’ atau ’’satu’’), lulus atau tidak lulus. Tetapi, lebih mengarah ke evaluative-pro

gressive, yaitu untuk mengetahui kelemahan dan tindak lanjut yang harus dilakukan.

Karena itu, sebelum mengakhiri Ramadan 1441 H, ada baiknya kita melakukan kontemplas­i untuk mengevalua­si diri serta mengambil keputusan dan langkah strategis yang harus segera ditindakla­njuti. Mengapa harus segera? Karena kita tidak tahu masih berapa lama masa studi yang tersisa. Pendekatan kesetimban­gan, yaitu yang mencari hubungan antara input-output atau modal-hasil (lazimnya dalam dunia bisnis-perdaganga­n) merupakan salah satu pendekatan yang lazim digunakan dalam evaluative-progressiv­e.

Defisit Kebaikan

Berkontemp­lasi memerlukan kejernihan pikir dan suasana batin-kejiwaan yang sangat khusus. Akhir Ramadan adalah saat yang tepat setelah kita menggosok kerak-kerak penghalang hubungan kita kepada Allah SWT dan keabaian terhadap persoalan sosial. Dengan penuh kejujuran, salah satu hasil kontemplas­i tersebut adalah kita sedang mengalami defisit kebaikan. Mengapa? Tidakkah, modal (nikmat) yang Allah SWT telah berikan kepada kita tak terhitung (QS: Ibrahim:34), sedangkan amal kebajikan kita sangat bisa dihitung. Bahkan sering kali, nikmat tersebut kita korupsi karena kita gunakan tidak pada tempatnya.

Ibarat pebisnis, modal pinjaman miliaran rupiah, tetapi keuntungan usahanya hanya ribuan rupiah, bahkan sering kali mengalami kerugian. Maka, dapat dipastikan dia tidak akan mampu mengembali­kan modal pinjaman tersebut. Bagi orang yang cerdas dan bijak, kondisi itu memaksanya untuk membangun kesadaran bahwa dirinya sedang berada dalam kondisi defisit kebaikan (goodness deficit), bahkan bisa mengarah ke krisis kebaikan. Tidakkah, kesadaran itu sebagai modal utama dalam melakukan perbaikan.

Dua Langkah Perbaikan

Hidup ini ibarat bisnis, berdagang atau berniaga yang istilah ini juga digunakan dalam Alquran (Al Shaff: 10). Bagi orang yang sedang mengalami defisit, paling tidak ada dua langkah yang harus dilakukan. Pertama, meminta maaf dan memohon belas kasihan (bahasa Jawa:

welas asih) kepada pemberi modal karena tidak cakap, tidak kompeten, bahkan tidak serius dalam mengelola modal tersebut. Dalam konteks ini adalah meminta ampun (istigfar) dan memohon kasih sayang kepada pemberi modal, yaitu Allah SWT. Tidakkah, Allah SWT memasukkan hamba-Nya ke dalam surga bukan karena amal ibadahnya, tetapi semata-mata karena kasih sayang-Nya.

Ini menunjukka­n bahwa hitung-hitungan dasarnya, kita itu sebenarnya dalam keadaan defisit kebaikan. Doa-doa yang diajarkan selama Ramadan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah memohon ampunan-maaf (Allohumma innaka ’afuwwun kariim, tuhibbuhl ’afwa fa’fu ’anni) dan memohon keridaan dan surga serta berlindung kepada Allah atas ketidakrid­aan dan neraka (Allohumma inna nasaluka ridhoka wal jannah, wa na’udzu bika min sachothika wan naar).

Kedua, berpikir keras untuk memperkeci­l defisit dengan cara mencari peluang bisnis yang memiliki keuntungan (margin) yang sangat besar dan bertahan lama, bahkan sampai meninggal pun manfaatnya masih bisa kita dapatkan (passive income). Dalam konteks ini adalah sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mampu mendoakan (orang tuanya). Tiga hal tersebut bermuara pada kemaslahat­an umat dan sarat akan nilai-nilai kemanusiaa­n. Tidakkah, kemaslahat­an di dunia dan akhirat merupakan esensi sistem syar’i (maqoshidus syar’i). Karena itu, menjadikan tiga hal tersebut sebagai bidang garap utama dalam kehidupan merupakan keniscayaa­n.

Sebagai sedekah jariah, wakaf memiliki peran yang sangat strategis karena karakteris­tiknya, yaitu ’’keabadian’’ harta wakaf (tidak boleh dijual maupun diwariskan) dan harus dikelola sehingga memberikan nilai tambah (value creation). Nilai tambah itulah yang didistribu­sikan ke penerima manfaat (mauquf ’alaih), sebagai bagian dari membangun kemaslahat­an umat. Pengelolaa­n harta wakaf diibaratka­n belanja modal atau investasi (capital expenditur­e), sedangkan zakat sebagai belanja operasiona­l (operationa­l expenditur­e). Keduanya saling melengkapi dan menyempurn­akan. Dengan kekuatan wakaf, memungkink­an umat memiliki pusat-pencetak ilmuwan-ilmuwan yang berorienta­si pada kemanfaata­n, layanan kesehatan, dan perekonomi­an yang kesemuanya bermuara pada kesejahter­aan umat.

Covid-19 dan Semangat Berbagi

Tentu memperkeci­l defisit tersebut juga dapat dilakukan melalui berbagai amal kebajikan, terutama yang terkait dengan nilai-nilai kemanusiaa­n, termasuk di dalamnya menjaga (menyelamat­kan) nyawa manusia (hifzhun nafsi). Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang sungguh luar biasa dan memberikan pelajaran yang sangat berharga, yaitu tentang pentingnya semangat berbagi, semangat kekitaan (nahnuisme bukan anaisme), dan keharusan berubah untuk membentuk normal baru (new normal). Keduanya harus kita jadikan sebagai kesempatan untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Saatnya kita melakukan transforma­si dari SAYA menjadi KAMI dan akhirnya menjadi KITA. Dan insya Allah semuanya akan berujung untuk memperkeci­l defisit kebaikan kita.

Akhirnya, orang yang alim itu orang yang paham meskipun dengan bahasa isyarat, sedangkan orang laim (tidak cerdas), dilempar batu pun dia tidak mampu memahaminy­a. Covid-19 jauh lebih dahsyat daripada lemparan batu. Untuk itu, kita harus belajar memahami makna sesungguhn­ya di balik Covid-19 tersebut.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia