Dampingi Pasien hingga Sembuh, Dapat Kiriman Makanan untuk Satu Kantor
Para Petugas Puskesmas Berjuang di Garis Depan saat Pandemi di Surabaya (3)
Tugas berat diemban para petugas puskesmas di Tenggilis dan Kalijudan. Motivasi dari keluarga dan komitmen bertugas membuat mereka bersemangat.
FAJAR ANUGRAH TUMANGGORGALIH ADI PRASETYO, Jawa Pos
DOKTER Dessy J. Setia masih ingat betul saat pertama ditugaskan untuk mencegah persebaran Covid-19 oleh Dinas Kesehatan Surabaya. Kaget dan sedikit waswas. Hal itu juga dirasakan tenaga kesehatan (nakes) lainnya saat kepala Puskesmas Tenggilis itu membeberkan apa saja tugas yang menanti di tengah pandemi Covid-19.
”Ada banyak. Mulai dari melacak orang yang pernah berkontak dengan pasien, memberikan sosialisasi, mengantarkan permakanan, masuk tim gerak cepat (TGC), hingga melakukan rapid test,” ungkapnya.
Tentu saja, hal itu membuat puskesmas dipaksa siap dengan keadaan yang serba tak menentu. Seiring berjalannya waktu, tanggung jawab terus bertambah. ”Kami juga ditugasi sebagai tenaga bantuan di asrama haji,” katanya kepada Jawa Pos kemarin (21/5)
Dia kerap bertanya-tanya. ”Mampukah puskesmas menjalankannya?” kata warga yang berdomisili di Purimas tersebut.
Meski demikian, tantangan berat tersebut harus dilaksanakan. Apalagi jumlah personel terbatas. Setidaknya ada 55 nakes yang bekerja di Puskesmas Tenggilis. ”Range nakes di Surabaya antara 40-60-an,” ungkapnya.
Dengan total petugas 55 orang itu, Dessy membagi mereka ke empat kelurahan. Yakni, Kendangsari, Kutisari, Tenggilis, serta Panjang Jiwo. ”Sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, apa pun kegiatan di luar harus menggunakan alat pelindung diri (APD). Ini sebagai bentuk kepedulian nakes itu sendiri dan orang lain,” tuturnya.
Dessy tahu persis apa yang dirasakan nakes ketika berhadapan dengan masyarakat. Khususnya saat melakukan rapid test. Dulu di awal-awal paling terasa. Mereka sangat waswas. Maklum, dengan siapa warga yang diperiksa itu berkontak, nakes tidak tahu. ”Di situlah pentingnya memakai APD tadi,” ujarnya.
Selain perlengkapan harus stand by, dia juga tak lupa memotivasi nakes untuk bersabar dan menjalankan tanggung jawab dengan penuh komitmen. ”Saya juga turut serta ke lapangan. Saya paham apa yang mereka rasakan,” kata koordinator TGC wilayah timur itu.
Sembilan puluh lima persen nakes itu sudah berkeluarga dan memiliki anak. ”Tanggung jawab yang saya dan mereka pikul itu semakin berat. Khususnya kami kaum ibu, harus mengurusi keluarga juga,” tutur ibu tiga anak tersebut.
Memang tidak ada stigma yang datang kepada nakes. Keluarga mendukung penuh. ”Tapi, kami harus siap dipanggil kapan saja. Namanya manusia, kadang kami capek juga,” ungkapnya.
Pernah suatu kali ketika sedang tidur malam, Dessy harus bangun karena mendapat telepon dari pos pantau TGC wilayah timur. Mereka perlu bantuan. ”Saya harus berkoordinasi dan tetap stand by di telepon. Jadi, saat tidur saja, kami masih bekerja. Libur pun begitu. Seperti sekarang, ya kerja juga,” katanya, lantas tertawa.
Suami dan anak-anak yang kerap melihat kejadian itu, kata Dessy, di awal-awal memang terkejut. Namun, keluarga kini bisa lebih memahami. ”Anak-anak beri motivasi ke saya untuk selalu sehat, menjalankan tugas sebaik mungkin, dan berdoa. Ini yang menjadi kekuatan saya,” ujar dia.
Kasus Covid-19, kata dia, mengajarkannya banyak hal. Terutama menyadari pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Selama ini, kesannya PHBS seperti cuci tangan sangat disepelekan. ”Jadi, ada juga dampak positif korona ini. Intinya, kita banyak belajar,” ungkapnya.
Misalnya, yang dirasakan banyak tenaga medis. Ramadan yang hampir selesai dan Lebaran yang sudah menanti terasa sangat berbeda. Praktis tak bisa keluar rumah dan hanya berkumpul dengan keluarga masing-masing. ”Tapi, saya tetap bersyukur diberi kesehatan. Soal kebersamaan, itu bisa ditunda dulu,” kata Dessy.
Hal yang sama dirasakan para nakes di lingkungan Puskesmas Kalijudan. Tugasnya bukan di ruangan saja. Namun, kini mereka lebih banyak turun langsung ke lapangan. Misalnya, sosialisasi ke pasar-pasar.
Namanya di pasar, pasti orang sibuk melayani pembeli. Sudah teriak-teriak, saat puasa pula, tapi tidak ada yang mendengarkan. Dianggap angin lalu saja.
”Kadang nelongso yo rodok mangkel, kok nggak direken ya. Tapi, kami tetap berusaha melakukan pendekatan personal ke mereka,” ujar tenaga kesehatan di Puskesmas Kalijudan Yoel Novan Agita Pasenga.
Nakes melakukan sosialisasi secara langsung sambil membagikan selebaran untuk ditempel. Pengalaman mereka tidak berhenti di situ. Paling sulit saat menghadapi warga yang menyangkal dengan hasil pemeriksaan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya. ”Ada yang menolak saat mau dikunjungi. Jadi, mereka menyangkal kalau hasilnya positif, seperti tidak percaya,” papar Fahmy Dhio Wardhana, perawat lain.
Lantas, ada pula yang mengaku kondisinya sudah baik. Tidak perlu dipantau oleh petugas. Kalau sudah seperti itu, petugas bakal membuat laporan ke dinkes untuk ditindaklanjuti.
Belum lagi saat ada pasien yang perlu di-tracing. Namun, tidak ada kontak yang bisa dihubungi. Praktis mereka harus terjun ke lapangan dengan mengenakan APD lengkap. ”Kesulitan kami adalah menghadapi pasien yang tidak jujur,” ujarnya.
Ya, mereka cukup menyulitkan nakes untuk mengambil tindakan yang tepat. Bahkan pernah petugas melakukan kunjungan. Komunikasi berhadapan dengan pasien tersebut. Namun, yang bersangkutan tidak memberi tahu petugas bahwa hasil tesnya positif. ”Baru bilang saat sudah mengobrol lama dengan kami. Rasanya langsung waswas. Tapi, kami mencoba tetap tenang dan melanjutkan tugas,” jelasnya.
Salah satu bagian paling membahagiakan ialah ketika pasien yang mereka dampingi berhasil sembuh. Hal itu dirasakan Reski Eko Kurniyawan, perawat lain. Ada salah seorang warga yang menjadi tanggung jawabnya untuk dipantau. Mulai dinyatakan sebagai orang yang positif Covid-19 hingga dinyatakan sembuh. ”Kurang lebih melakukan pemantauan sampai satu bulan. Senang bisa menjadi bagian kesembuhan pasien,” ucapnya.
Selama satu bulan itu, komunikasi setiap hari tidak pernah putus. Mulai memastikan vitamin dikonsumsi secara teratur hingga memantau keluhan yang dihadapi. Hal itu tidak pernah telat sehari pun. ”Saat sembuh, orangnya syukuran. Satu puskesmas dikirimi makanan,” ujarnya.