Bikin Grup WA Keluarga hingga Persiapkan Telekonferensi
Meski hari raya baru lusa (24/5), sedikit rasa kangen pada keluarga terobati. Suami Audi Zuhria itu mengaku kerap berkirim foto maupun video di grup beranggota 19 orang tersebut. Canda tawa diekspresikan melalui emoticon di dalam pesan singkat. Atau sekadar menulis ”wkwkwk”. Hal itu bisa sedikit mengurangi beban rindu. ”Kami buat janji, nanti kalau ini (pandemi, Red) sudah selesai, pasti pulang kampung,” katanya.
Hal itu pulalah yang dilakukan Muhammad Ridhoudin Yunus. Pegawai Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Surabaya itu berencana membuat video telekonferensi dengan anggota keluarganya. Baik keluarganya di Jember maupun keluarga istrinya di Kediri. ”Tapi, lihat kesiapan yang di rumah dulu. Ada adik-adik yang punya laptop, insya Allah jadi,” ungkapnya.
Alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Malang, itu mengatakan, anggota keluarganya beserta istri berjumlah 12 orang. Itu hanya keluarga inti orang tua dan mertua. Kalau tidak memungkinkan melakukan telekonferensi, pria yang akrab disapa Ridho itu mengaku akan menggunakan aplikasi WA. ”Memang terbatas pesertanya, tapi bisa nunut di samping atau belakang,” paparnya.
Secara terpisah, Ketua PC NU Surabaya Muhibbin Zuhri mengatakan, esensi silaturahmi ada pada interaksi. Bisa dilakukan secara langsung maupun tak langsung.
”Silaturahmi itu berasal dari kata sila yang berarti menyambung dan rahmi yang artinya kekeluargaan. Tali persaudaraan,” katanya.
Nah, menyambung tali kekeluargaan tidak harus dilakukan dengan tatap muka. Saat ini kemajuan tekonologi telah membantu kita dalam bersilaturahmi. ”Kalau dulu hanya dengar suara dari kejauhan. Sekarang kita bisa melihat wajah lewat video call,” paparnya.
Bagaimana tradisi saling memaafkan dengan jabat tangan saat Lebaran? Muhibbin menjelaskan, esensi saling memaafkan ada pada diri sendiri. Bedasar syariat agama, meminta maaf memang mulia. Tapi, yang lebih mulia adalah memaafkan. ”Fa’fu itu perintah agama. Artinya, memaafkan. Jadi, bagaimana kita bisa ikhlas. Itu adalah intinya,” terangnya.
Minta maaf maupun memaafkan tidak harus dilakukan dengan jabat tangan. Banyak ulama yang mengatakan bahwa jabat tangan bisa merontokkan dosa-dosa antar sesama. Namun, kata Muhibbin, perintah agama menerangkan bahwa menghindari keburukan adalah satu bentuk kebaikan yang lebih baik.
”Dalam situasi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, jabat tangan memang tidak disarankan karena bisa menjadi sarana penularan virus. Karena itu, tidak jabat tangan dalam situasi seperti ini justru menjadi suatu kebaikan karena kita telah meninggalkan keburukan atau potensi keburukan,” papar dosen Universtas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya itu.