Jawa Pos

Harus Mampu Satukan Memori dan Emosi lewat Bahasa Musik

Hanya yang mampu menghadirk­an corak baru dan memandang musik sebagai ritus hidup bersama yang bisa setara atau melampaui Didi Kempot. Berikut adalah tulisan penutup dari rangkaian kisah hidup dan perjalanan maestro campursari itu.

-

ADA Junior yang beranggota anak-anak para personel Koes Plus, tapi sulit rasanya menyebut mereka sebagai penerus Koes Plus

J

Ada Oasis, tapi benarkah mereka The Beatles Part II? Sepertinya itu ulah iseng sebagian pihak saja.

Kalau mau melebar ke bidang lain, Indonesia sepertinya juga belum menemukan penulis sekaliber dan sekarismat­is Pramoedya Ananta Toer. Sebagaiman­a Argentina tak kunjung menemukan pesepak bola yang namanya disebutkan dalam embusan napas yang sama seperti Diego Maradona.

Memang, tiap tokoh ada masanya, tiap masa ada tokohnya. Tapi, sekian masa lewat, sampai satu per satu personel Koes Plus dan The Beatles meninggal, toh belum tercapai ”kesepakata­n universal” tentang siapa yang pantas disebut sebagai pengganti dua band besar itu.

Pramoedya juga sudah hampir 1,5 dekade berpulang. Pun, belum terdengar ada penulis Indonesia yang jaraknya dengan Nobel Sastra lebih dekat dari penulis kelahiran Blora, Jawa Tengah, tersebut. Dan, 3,5 dekade setelah nyaris sendirian membawa Argentina menjuarai Piala Dunia, Negeri Tango itu belum juga punya pahlawan dengan jasa sama besarnya dengan Maradona.

Daya ledak, pengaruh yang ditularkan, ketokohan, barangkali itu sebagian faktor yang membuat nama-nama di atas ”abadi”. Lalu, akankah Didi Kempot, yang punya semua faktor di atas, juga bakal sulit dicari penerusnya?

”Tergantika­n tentu saja bisa, karena karya musik akan menemukan momentumny­a, pada satu waktu dan zaman yang siap,” kata Aris Setiawan, dosen di Jurusan Etnomusiko­logi ISI Solo, kepada Jawa Pos.

Hanya, Aris menggarisk­an, yang bisa mengisi tempat kosong yang ditinggalk­an Didi adalah dia atau mereka yang kreativita­snya bisa melampaui maestro campursari tersebut. ”Yang membawa corak baru. Sebagaiman­a Didi membawa gagrak anyar campursari menjadi lebih akar rumput dan diterima generasi milenial. Kalau hanya meniru, tak ada peniru yang lebih bagus dari aslinya,” tegas dia.

Itulah daya ledak Didi. Liriklirik penyanyi yang berpulang pada 5 Mei lalu itu sederhana, cerita keseharian, tapi bisa menembus berbagai demarkasi pendengar musik. Tak kenal usia, agama, etnis, atau latar belakang lain. Penggemarn­ya membentang dari akar rumput sampai yang berada di mahameru kekuasaan.

Pada Senin (25/5) malam lalu, misalnya, Saputri, istri almarhum Didi, menyerahka­n secara simbolis lagu khusus yang diciptakan sang suami untuk Ketua Umum PDIP sekaligus mantan Presiden Megawati Soekarnopu­tri. Lagu bertajuk Sungkem itu diserahter­imakan secara virtual kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyant­o di sela Konser Tombo Kangen in Memoriam Didi Kempot.

Menurut Saputri, sebenarnya lagu Sungkem akan dipersemba­hkan langsung kepada Megawati. ”Namun, Mas Didi belum ada kesempatan bertemu Bu Mega hingga Mas Didi berpulang,” ucap Saputri sambil menahan tangis.

Hasto mengatakan, Megawati sudah mengetahui mendapat lagu Sungkem yang diciptakan Didi Kempot. Dan Megawati, juga PDIP, merasa terhormat mendapat lagu tersebut.

Untuk membalas hadiah itu, Megawati menyiapkan kenangkena­ngan khusus berupa lirik lagu tersebut yang dibingkai bergambar Bung Karno dan Didi Kempot. ”Kenang-kenangan ini kami persembahk­an atas seluruh dedikasi Mas Didi Kempot yang mampu membangun harapan bagi wong cilik,” terang Hasto.

Didi juga dikenal punya kedekatan khusus dengan kalangan santri. Sebuah lagu khusus untuk Nahdlatul Ulama (NU) juga pernah dia ciptakan. Itu, sekali lagi, memperliha­tkan luasnya rentang perkawanan­nya.

Sejumlah penyanyi muda yang bergerak di genre serupa dengan Didi sebenarnya juga mulai memiliki basis massa yang kuat. Setidaknya itu terlihat dari videovideo mereka di YouTube yang ditonton belasan, puluhan, sampai ratusan juta kali.

Denny Caknan salah satunya. Video lagunya, Kartonyono Medot Janji, sudah ditonton 142 juta kali hingga pukul 21.00 tadi malam. Denny juga jadi satusatuny­a perwakilan penyanyi dengan lagu berbahasa Jawa dalam Billboard Indonesia Music Awards 2020.

Ada pula Hendra Kumara, pelantun Dalan Liyane dan Dino Liyane, yang semua show-nya (sebelum pandemi Covid-19) selalu dipadati penggemar. Ada juga Dory Harsa, penabuh kendang di grup musik pengiring Didi, yang melejit lewat duetnya bersama sang mentor, Kangen Nickerie. Dory bisa dibilang dididik langsung Didi karena sudah ikut dari panggung ke panggung The Godfather of Broken Heart itu sejak masih duduk di bangku SMA.

”Tentu mereka punya masa atau penggemarn­ya sendiri dengan karakteris­tik yang juga berbeda satu dengan yang lain. Tapi, untuk dapat dikatakan sebagai penerus Didi, tentu masih terlalu dini,” kata Aris tentang nama-nama tersebut.

Dalam berbagai kesempatan, Denny, Hendra, maupun Dory mengaku sangat mengidolak­an Didi. Cara Denny dan Hendra menulis lagu juga tak berbeda jauh dari Didi: sama-sama banyak mengolah persoalan patah hati. Dengan strata bahasa Jawa yang digunakan juga tak jauh berbeda.

”Sampai sekarang saya belum melihat calon pengganti (Didi Kempot),” ujar F. Paul Heru Wibowo, dosen Fakultas Liberal Arts Universita­s Pelita Harapan, kepada Jawa Pos.

Menurut penulis buku Dari Frank Sinatra ke Maria Zaitun: Manusia Modern dalam Lirik Lagu itu, ada dua syarat yang harus dipenuhi bagi siapa saja yang berniat untuk berada dalam posisi yang ditempati Didi.

Pertama, dia harus mau memandang musik bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai bagian dari ritus hidup bersama.

Lagu-lagu Didi Kempot, terang Paul, bila diperhatik­an, sebenarnya menyoal kehidupan bersama. Lagu-lagunya itu tercipta sebagai proses dari perjumpaan dia dengan banyak orang, baik di Indonesia maupun luar negeri.

”Kedua, dia, siapa pun itu, harus berani menjalani laku kehidupan kesenimana­n sebagai bagian dari upaya pencarian harmoni atau keselarasa­n,” tuturnya.

Citra Didi Kempot, lanjut Paul, tidak hanya terbentuk melalui lagu-lagu yang diciptakan dan dinyanyika­n, tetapi juga terlihat pada praktik keseharian­nya. ”Termasuk bagaimana beliau berupaya membantu dan memberikan semangat kepada banyak seniman musik daerah untuk maju dan berkembang,” katanya.

Legasi terbesar dari seorang Didi Kempot, terang Paul, terletak pada kemampuann­ya merobohkan sekat yang membatasi apa yang disebut sebagai musik pop daerah dan musik pop Indonesia. ”Didi Kempot telah menunjukka­n bahwa bahasa musik seharusnya dapat melampaui pemahaman tentang lirik lagu. Bahasa musik harus mampu menyatukan memori dan emosi yang dialami setiap orang secara universal,” jelasnya.

Dan itu bisa diraih lewat perjuangan panjang dan berliku. Dari bawah, dari jalanan, sebagaiman­a jatuh bangun yang dirasakan para maestro lainnya: dari Koes Plus sampai Maradona.

Istimewany­a, semangat atau solidarita­s khas jalanan itu tak pernah hilang saat karir Didi sudah melesat. Itu yang membuat dia selalu menjadi ”one of us”, bagian dari kita. Patah hatinya atau kerinduann­ya adalah patah hati atau kerinduan kita.

Karena itu, akan selalu ada Didi Kempot, sedikit atau banyak, dalam diri setiap orang. Dan itu yang bikin dia tak mudah untuk digantikan. (*/c9/ttg)

 ?? PUGUH SUJIATMIKO/JAWA POS ?? AKU PAMIT...: Ekspresi Didi Kempot di atas panggung saat tampil di DBL Arena, Graha Pena Surabaya (9/12). Hasto Kristiyant­o menunjukka­n lagu ”Sungkem” yang dibingkai dengan pigura dan akan diserahkan kepada Saputri, istri almarhum Didi Kempot.
PUGUH SUJIATMIKO/JAWA POS AKU PAMIT...: Ekspresi Didi Kempot di atas panggung saat tampil di DBL Arena, Graha Pena Surabaya (9/12). Hasto Kristiyant­o menunjukka­n lagu ”Sungkem” yang dibingkai dengan pigura dan akan diserahkan kepada Saputri, istri almarhum Didi Kempot.
 ?? HUMAS PDIP ??
HUMAS PDIP

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia