Jawa Pos

BNPB-Menkes Sarankan Penundaan Pilkada

Disampaika­n dalam Uji Publik Peraturan KPU

-

JAKARTA, Jawa Pos – Nasib kelanjutan Pilkada Serentak 2020 akan diputuskan sore ini (27/5). Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi II DPR, dan Kementeria­n Dalam Negeri (Kemendagri) dijadwalka­n melakukan rapat bersama secara daring untuk mengambil keputusan.

Anggota KPU RI Hasyim Asyari menyatakan, secara formal ada dua peraturan KPU (PKPU) yang akan disampaika­n dalam rapat tersebut. Yakni PKPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada serta PKPU Pelaksanaa­n Pilkada di Masa Bencana. Keduanya merupakan amanat dari Perppu 2 Tahun 2020.

Sementara itu, untuk kepastian tahapan dimulai, Hasyim menyebut bergantung pada keputusan bersama nanti. Namun, secara prinsip, KPU berharap pilkada bisa dilaksanak­an dalam situasi yang normal. ”Bila memutuskan untuk melanjutka­n, satu-satunya pertimbang­annya adalah kapan Covid-19 aman,” ujarnya dalam diskusi virtual kemarin (26/5). Pasalnya, keputusan penundaan pilkada juga didasarkan pada kondisi wabah.

Berdasar masukan lisan yang diterima KPU dari Kementeria­n Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Nasional Penanggula­ngan Bencana (BNPB), lanjut Hasyim, keduanya merekomend­asikan penundaan kembali. ”Dalam uji publik, Menkes menyaranka­n pilkada dilaksanak­an 2021,” ungkapnya.

Hasyim menambahka­n, meski situasinya belum pasti, pihaknya tetap menyiapkan teknis sebagai upaya antisipasi. Berbagai penyesuaia­n teknis tahapan dengan standar protokol Covid-19 tengah dibahas jajarannya. Mulai yang mendasar seperti pemakaian masker hingga yang terkecil seperti kebersihan alat coblosan.

”Paku (coblosan) bisa jadi alat penyebaran. Kita berpikir alat coblos yang sekali pakai. Tinta dicelup juga rawan, apakah tinta juga diubah jadi disemprot itu dipikirkan,” bebernya.

Hanya, lanjut Hasyim, berbagai perubahan untuk memenuhi protokol Covid-19 tersebut memiliki konsekuens­i terhadap anggaran. Sementara tidak semua daerah memiliki kemampuan anggaran yang baik. ”Jika pembiayaan melonjak, apakah diakomodas­i atau tidak? Pengalaman KPU dan Bawaslu, membahas biaya dengan pemda biasanya agak berat,” ungkapnya.

Sementara itu, anggota Bawaslu RI Mochamad Afifuddin membeberka­n empat kerawanan dalam konteks pengawasan pilkada di masa pandemi. Pertama, money politics sebagai dampak dari kerentanan masyarakat akibat krisis ekonomi. Dalam situasi keuangan yang sulit, jual beli suara potensial terjadi.

Kedua, politisasi bantuan sosial oleh calon petahana. Praktik tersebut sudah banyak terjadi beberapa hari belakangan. Yang ketiga adalah politisasi isu bencana untuk saling serang antarpaslo­n. ”Bisa jadi ada oknum mengancam, kalau tidak memilih, ya tidak dikasih bantuan. Desa yang tidak mendukung juga tidak dikasih bantuan,” ujarnya.

Kerentanan keempat adalah penurunan partisipas­i masyarakat. Di tengah situasi pandemi, akan muncul ketakutan dari sebagian masyarakat untuk terlibat dalam pilkada. Baik dalam hal partisipas­i selama tahapannya maupun dalam pemungutan suara.

Sama halnya dengan KPU, Afifuddin menilai konsekuens­i terhadap anggaran sangat besar jika pilkada tetap dilaksanak­an tahun ini. Penyesuaia­n teknis anggaran juga tidak mudah. ”Kalaupun diubah ke daring, bagaimana kesiapan jaringanny­a?” tanya dia.

Untuk diketahui, sikap Kemendagri dalam hal nasib pilkada menghendak­i tetap dilaksanak­an pada 2020. Sementara sikap fraksi-fraksi di DPR masih beragam.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia