Menghitung Ruang Kecil. Kolom.
NIGERIA dan Angola adalah negara dengan karakter sedikit bicara, sedikit kerja. Jepang dan Korea, sedikit bicara banyak kerja.
Amerika dan Tiongkok, banyak bicara juga banyak kerja. Indonesia? ”Antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan beda,” kata Gus Dur.
Secara seremonial, normal baru akan dimulai dengan diakhirinya PSBB. Pintu besar seolah dibuka. Semua berhambur di hamparan ruang baru yang luasnya tanpa batas cakrawala. Dengan durasi umur zaman entah sampai kapan, seperti isyarat WHO. Semua makhluk akan berebut hidup. Berebut ruang –seperti zaman sebelumnya– seiring berjalannya waktu di ranah baru
Humor Gus Dur di atas menggambarkan keganjilan tingkat tinggi bangsa. Di luar kehebatan-kehebatan yang kita miliki, harus diakui, kultur hitung dan kalkulasi kita memang harus segera diperbaiki.
Antara yang dibicarakan dan yang dikerjakan tidak sama, adalah semacam ke-selegencean dalam skala bangsa. Tentu itu karena bentukan oleh kumpulan masyarakat yang selegence pula. Antara yang diimpikan dan kesanggupan tidak diukur. Antara luasan wilayah dan waktu yang dibutuhkan tidak dikalkulasi sungguhan. Target dan timeline pengerjaan dihitung awu-awu. Proyek molor, proyek mangkrak, proyek batal, proyek bubar, di negeri kita-lah surganya.
Proyek Hambalang, kalau dihitung secara proper, mungkin politisi-politisi muda milenial yang cantik dan cool itu tak perlu masuk penjara hingga hari ini. Terutama, hitungan menyangkut bagi-bagi apple Washington – sandi untuk menyebut dolar.
Tak menutup kemungkinan, New Normal yang hendak kita masuki akan senantiasa menyerupai keadaan darurat. Darurat dengan segala tingkatannya. Darurat selalu butuh hitunghitungan cepat. Secara psikologis semua akan cenderung terburuburu. Karena perasaan tidak aman akan terus tinggi tensinya.
* Menghitung ruang dan waktu bisa segera jadi kebudayaan ketika masuk zaman baru. Koran adalah salah satu yang hitungan ruangnya selalu diolah setiap hari. Setiap sore, semua redaktur, desainer halaman, memulai pengerjaan lajur-lajur kolom.
Suatu kali redaksi membuat eksperimen. Beberapa edisi dalam satu tahun dirancang dengan hitungan space kolomnya secara ekstra-cermat. Lantas dipilih materi istimewa yang disiapkan. Redaksi menyebutnya edisi lomba. Lalu, edisi istimewa itu diikutkan lomba tingkat dunia, Asia-Pasifik, Asia. Tiga tahun berturut-turut Jawa Pos keluar sebagai pemenangnya.
Ikut lomba-lomba internasional dihentikan setelah tahun ketiga. Agar piagam penghargaan tidak menumpuk dan fokus pada esensi ukuran keberhasilan kerja nyata. Koran, televisi, radio, online, dan industri media platform apa pun, akan mengubah ukuran-ukuran baru dalam pergulatan untuk mempertahankan hidupnya. Media apa pun tak ada yang luput dari dampak virus, seperti semua industri lainnya.
Gedung mangkrak, proyek salah hitung, okelah kita akui di sini surganya. Tapi, bakat-bakat kreatif yang hebat juga di sini gudangnya. Semua hanya perlu segera meningkatkan kemampuan hitung kolom dan deadline yang lebih akurat.
Sebagai pembiasaan diri untuk masuk normal baru, memang harus dimulai dari penguasaan kalkulasi hal-hal kecil, seukuran kolom surat kabar. Attitude bangsa tak lebih hanya attitude kita sebagai rakyatnya.