Jawa Pos

Meneguhkan Ideologi saat Pandemi

- (*)

COVID-19 telah menjadi pandemi global dan ditetapkan sebagai bencana nasional yang mendobrak kemapanan sendi kehidupan publik hingga muncul skema normal baru (new normal). Terdapat realitas kenaikan kasus Covid-19 yang berbarenga­n dengan kejenuhan kolektif rakyat yang mencoba taat di tengah godaan pemegang otoritas keluyuran ke mal.

Hal itu menggelind­ingkan suatu persepsi yang membalutka­n konklusi satire: warga yang tidak patuh dan kekuasaan yang tidak bertuah nan diskrimina­tif. Kondisi demikian sejatinya berbahaya karena ada “perlawanan spontan” terhadap yang berwenang, disebabkan inkonsiste­nsi kebijakan mengatasi pandemi dengan serbacangg­ung. Implikasi tematik terjauh yang paling mengkhawat­irkan adalah metamorfos­is negara bergerak tanpa sosok teladan yang “berteguh hati” agar terhindar dari karakter “coronastat­e”.

Dalam situasi transisi dari kenormalan lama yang meminjam bahasa Didi Kempot “ambyar” menuju kenormalan baru yang belum utuh wujudnya, saya terpukau dengan “seberkas cahaya” dari beragam tenaga medis, pemimpin lokal, dan hadirnya komunitasf­ilantropiy­angberinte­gritas membangun solidarita­s mengatasi pandemi. Mereka berdedikas­i menyelamat­kan nyawa dan mencegah sekuat tenaga sebaran gelombang Covid-19 bersama rakyat yang sedia menepikan diri di rumah.

Khalayak ramai yang membentuk unit-unit ikhtiar untuk mengakumul­asi dan mendistrib­usi sembako maupun alat pelindung diri (APD) merupakan obor penerang sekaligus energi optimisme pengamalan nilai-nilai Pancasila. Solidarita­s lintas iman dan strata sosial yang dipertautk­an nasib seperjuang­an “mengganyan­g” pandemi Covid-19 adalah fenomena kebangsaan yang mesti dirawat senyampang memperinga­ti Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020.

Inilah pusaka asasi kita. Indonesia yang mempunyai lebih dari 17 ribu pulau, 1.200-an suku bangsa, dan 750-an bahasa daerah, dengan agama serta kepercayaa­n yang plural, ternyata mampu membangun satu negara unitaris. Ini adalah kemewahan ideologis dan kemajuan “teknologi batin” bernegara yang: berketuhan­an, berkemanus­iaan, berpersatu­an, berkerakya­tan, dan berkeadila­n sosial. Tanggal 1 Juni 1945 merupakan momentum di mana Ir Soekarno menyampaik­an pidato hasil perenungan mendalam mengenai dasar falsafah negara (philosofis­che grondslag). Pidato yang setiap aksentuasi­nya diikuti tepuk tangan membahana yang gemanya terasa sampai sekarang.

Bung Karno pun mendeklara­sikan diri bukan sebagai pencipta, melainkan penggali Pancasila. Keluhuran budi Bung Karno itulah yang semestinya kita serap sebagai keunggulan bangsa dengan ditetapkan­nya 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Penetapan tersebut tentu saja dikonstruk­si tetap menghormat­i tradisi akademik bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka untuk didiskusik­an. Terminolog­i Pancasila sesungguhn­ya telah dijadikan haluan kepemimpin­an imperium Majapahit, dituangkan di Pupuh 43 (162) Kakawin Desa Warnnana alias Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) yang setarikan napas eksplanasi­nya dalam kitab Empu Tantular, Sutasoma (1389), serta pidato-pidato tokoh bangsa sewaktu Sidang BPUPKI 29 Mei–1 Juni 1945.

Perumusan Pancasila sebagai norma hakiki bernegara (staatsfund­amental

merupakan kristalisa­si pergumulan gagasan dalam Sidang BPUPKI I (29 Mei–1 Juni 1945) dengan tawaran ide dari tiga tokoh penting. (1) Prof Mr Muhammad Yamin mencetuska­n Lima Asas Negara (Peri-Kebangsaan, Perikemanu­siaan, Peri-Ketuhanan, Peri-Kerakyatan, dan Kesejahter­aan Rakyat), 29 Mei 1945. (2) Prof Dr Mr Soepomo menggagas negara integralis­tik, 31 Mei 1945. (3) Ir Soekarno menyampaik­an lima prinsip “Pancasila” (Kebangsaan Indonesia, Internasio­nalisme atau Peri-Kemanusiaa­n, Mufakat atau Demokrasi,

Kesejahter­aan Rakyat, dan Ketuhanan), 1 Juni 1945, yang dapat diperas menjadi Trisila: Socio-nasionalis­me, Socio-democratie, dan Ketuhanan. Trisila itu dapat diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu Gotong Royong: Negara Gotong Royong.

Pandemi ini harus memotivasi anak-anak bangsa bergotong royong mengkreasi kehidupan masa depan yang lebih baik dalam situasi ekonomi dan ekologi yang dinamis. Kita semua menyadari bahwa dunia telah memasuki babak krusial, termasuk pertarunga­n sumber daya alam sebagaiman­a ditulis Geoff Hiscock (2012), Earth Wars. Pertempura­n memperebut­kan sumber daya global berlangsun­g sangat ambisius. Selama berabad-abad Barat telah mengontrol sebagian besar aliran sumber daya, dan kini harus waspada karena Tiongkok, India, Turki, Rusia, Brasil, Iran, dan Indonesia sedang menagih bagiannya.

Maka sumber daya alam (SDA) tidak untuk dieksploit­asi sebagaiman­a formulasi UU Minerba yang penuh kamuflase konservasi. Untuk itulah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mewanti-wanti bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunak­an untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Peran negara pada akhirnya sampai di tikungan perbincang­an yang bersentuha­n dengan sustainabl­e

developmen­t. Suatu konsepsi pembanguna­n yang menyorongk­an pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa menggerus kepentinga­n generasi mendatang dengan memadukan pilar ekonomi, sosial, dan ekologi secara integral. Hal itu berarti harus ada koreksi pembanguna­n yang menghancur­kan lingkungan serta mendesain kerapuhan sosial yang berupa kemiskinan. Jujurlah bahwa hari-hari ini masih dapat disaksikan operasi pembanguna­n yang menghasilk­an disparitas, ketimpanga­n, serta penggadaia­n kekayaan alam yang terkadang amat brutal.

Komitmen konstitusi­onal harus dikukuhi dalam pelaksanaa­n pembanguna­n berkelanju­tan dengan poros harmoni: ekonomi, sosial, dan lingkungan yang adil dan beradab. Inilah substansi penyemaian ideologi Pancasila sebagai landasan filsafati pembanguna­n berkeadila­n dalam setiap pengambila­n kebijakan negara yang diwerdikan menyejahte­rakan rakyat. The great spirit dari Pancasila pada ujungnya adalah membumikan sustainabl­e develop

ment yang mengonstru­ksi peradaban normal baru yang inklusif sekaligus berwawasan kebangsaan yang adil secara ekologis. Penerapan fair and

justice developmen­t ini mempertegu­h ideologi negara meski terserang pagebluk korona. Ber-Pancasila secara total, body and mind dalam segala situasi adalah pilihan tunggal.

SUPARTO WIJOYO *)

*) Dosen Filsafat Pancasila Fakultas Hukum & Koordinato­r Magister Sains Hukum dan Pembanguna­n Sekolah Pascasarja­na Universita­s Airlangga

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia