Jawa Pos

HUT Ke-727 Surabaya, Saatnya Surabaya Dikalibras­i

-

DENGAN jurus kekinian, Covid-19 memulai seranganny­a di Wuhan pada 2019. Lalu, virus korona jenis baru itu masuk Indonesia pada Februari 2020 dan Surabaya luluh lantak pada Mei 2020. Sampai-sampai, Presiden Jokowi memfokuska­n perhatian untuk membantu Jawa Timur dan Surabaya. Perilaku Covid-19 ini seperti bipolar saja, menyerang dengan jurus kecepatan dan percepatan untuk mencapai sasarannya serta melambatka­n lari kencangnya dunia.

Ilmuwan Prancis Paul Virilio menyatakan, dunia yang berlari adalah gambaran dunia yang paradigma berpikirny­a kecepatan. Kecepatan dan percepatan lari itu kini terbaca telah melampaui kodrat alam dan manusia. Covid-19 hadir sebagai pengadil untuk menormalka­n alam semesta, mengalibra­si dunia.

Pada ulang tahun ke-727, Kota Surabaya sudah merasakan dampaknya. Ketika serangan Covid19 mampu menghentik­an kecepatan dan percepatan denyut nadi kota ini. Jalan-jalan utama Kota Surabaya nyaris sepi. Kerja dari rumah sudah disosialis­asikan. Work from home (WFH) seperti sudah dipahami warga kota.

Ternyata ada yang paham; ada yang paham, tetapi tidak bisa menghindar; dan ada yang tidak peduli. Ada sebagian mal, pertokoan, restoran, kantor, dan tempat ibadah menutup pintu rapat-rapat. Tapi, sebagian lain masih ngruntel koyok mbako enak (berdesakan seperti kusutnya tembakau enak), seperti di pasar-pasar tradisiona­l.

Sebagian paham beraktivit­as dengan memakai masker, menjaga jarak fisik, dan sering mencuci tangan. Tetapi, sebagian besar tetap belanja habis-habisan untuk Lebaran dan beramai-ramai mudik Lebaran. Sebagian besar di antara mereka itu belum menyadari dan bahkan belum memahami bahaya dan ancaman jiwa akibat penularan Covid-19 ini.

Data menyebutka­n, 65 persen kasus korona Jatim terjadi di Surabaya Raya. Tingkat kematian di Surabaya lebih tinggi ketimbang nasional. Tingkat penularan virus masih eksponensi­al. Kondisi seperti ini merupakan momentum refleksi diri, kota ini siap menghadapi peristiwa-peristiwa besar yang mengancam keberadaan kota atau tidak. Bukan hanya tentang kesiapan sarana-prasarana kota. Tetapi, apakah manajemen kota sudah cukup sigap membuat solusi-solusi? Covid-19 sedang mengalibra­si Kota Surabaya.

Tingkat kesadaran dan kedisiplin­an masyarakat menghadapi pandemi ini adalah realitas bahwa Surabaya harus berbenah dalam banyak hal. Model pendidikan kemasyarak­atan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemimpin Surabaya ke depan.

Kota dengan kemajuan fisik yang pesat ini ternyata mencatatka­n diri tertinggal dalam banyak hal, terutama tentang pembanguna­n manusia. Covid-19 mengalibra­si kesadaran dan kedisiplin­an masyarakat pada kesehatan. Salah satunya, mengajarka­n hal-hal dasar seperti cuci tangan. Perilaku sehat bukan urusan pribadi demi pribadi, tetapi bahkan memakai masker adalah bagian dari melindungi orang lain.

Tiba-tiba saja, rumah sakit penuh dan tenaga medis kewalahan. Kekurangan fasilitas kesehatan menghadirk­an masalah. Ternyata ada celah koordinasi pusat-daerah, ada komunikasi yang belum terbangun. Lalu, muncul kegaduhan-kegaduhan. Covid-19 did not break the system, Covid-19 exposed a broken system.

Work from home bukanlah sebuah konsep baru. Tetapi, Covid-19 memaksa kita segera bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Bahkan, arsitektur tradisiona­l Bali bisa mewadahi konsep hunian modern (Bali Twenty-Twenty, Freddy H. Istanto 1996).

Pola hidup sehat yang menjadi tuntutan era new normal saatnya difasilita­si kota. Perlu jalur-jalur pedestrian yang baik di seluruh bagian kota. Bukan hanya untuk pejalan kaki, tetapi juga untuk berolahrag­a.

Kota ini bahkan sudah membutuhka­n hutan kota. Saat ini yang tersedia hanya sekelas Kebun Bibit Manyar, KBS, dan hutan mangrove. Apresiasi pada bentang alam juga harus dikembangk­an. Sejak kapan apresiasi Surabaya sebagai kota maritim ini rendah ya? Tanjung Perak sudah dibentengi lahan-lahan kontainer. Pantai Kenjeran juga tidak pernah naik kelas untuk rekreasi warga kota. Bentang alam berupa pantai ini menjadi syarat kota masa depan.

Pembanguna­n mal-mal besar seharusnya sudah dibatasi. Malmal hanya akan membuka peluang menjangkit­nya budaya konsumeris­me. Pemerintah kota dan swasta seharusnya membangun fasilitas-fasilitas kota yang mampu membangun apresiasi pada nilai-nilai sosial budaya dalam berbagai bentuk. Misalnya, museum, gedung pergelaran, galeri, ruang baca, serta revitalisa­si bangunan cagar budaya dan kawasan kota lama.

Semangat Kota Pahlawan tidak boleh berhenti pada cerita masa lalu. Tetenger kota yang diwakili objek-objek seni kota seharusnya dihadirkan lebih marak. Urban street furniture bisa saja menjadi bagian penciptaan identitas kota dan pembentuka­n karakter kota. Selain itu, event-event kepahlawan­an yang bernuansa seni dan heroik perlu terus dimainkan.

Last but not least adalah estafet kepemimpin­an. Pandemi yang mengarut-marutkan kota ini bertambah pelik karena Surabaya sedang mengalami peralihan kepemimpin­an. Berharap muncul leader pada masa-masa sulit seperti ini yang akan membawa Surabaya lebih baik. Dirgahayu Kota Surabaya.

FREDDY H. ISTANTO *

* Dosen Arsitektur Interior Fakultas Industri Kreatif Universita­s Ciputra

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia