Menyelamatkan Pemilih Pilkada 2020
PEMERINTAH dan DPR RI telah bersepakat menggelar pilkada pada 9 Desember 2020. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) pada Rabu, 27 Mei 2020 yang diikuti komisi II, menteri dalam negeri, Bawaslu, KPU, dan DKPP, semua dalam satu pemahaman tunggal bahwa pilkada dilaksanakan dengan memperhatikan protokol pencegahan Covid-19. Namun, ada yang luput dari fokus dan perhatian bersama, yakni keselamatan pemilih. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sampai di mana kita mitigasi keselamatan pemilih?
Pilkada 2020 diselenggarakan di 270 daerah. Berdasar sinkronisasi antara daftar penduduk potensial pemilih (DP4) dan DPT Pemilu 2019, jumlah daftar pemilih berkisar pada angka 105.396.460 jiwa. Jumlahnya dimungkinkan bertambah karena ada penduduk yang belum merekam e-KTP.
Sekali lagi, pilkada bukan hanya tentang datang ke bilik suara. Ada serangkaian proses yang perlu dijalani. Tahapan akan dimulai aktif kembali pada 15 Juni. Ada titik temu yang niscaya antara penyelenggara dan pemilih.
Verifikasi faktual untuk dukungan calon perseorangan, misalnya, mengharuskan jajaran KPU dan pengawas pemilu bertatap muka dengan masyarakat yang tertera dalam form dukungan. Memastikan bahwa nama-nama yang tercantum benar-benar mendukung secara faktual, bukan hanya sebagai syarat adminisratif.
Dalam hitungan hari kita akan mulai tahapan ini. Sementara itu, angka kasus Covid-19 belum sepenuhnya terkendali. Tantangannya adalah bagaimana mungkin kita datang ke rumah pendukung calon perseorangan bila tak ada yang mau membuka pintu karena khawatir tertular Covid19. Atau, bagaimana kita akan berkomunikasi secara langsung saat pemilih belum tahu standar keselamatan untuk dirinya.
Kita dihadapkan pula pada waktu yang demikian cepat untuk menjernihkan sosialisasi ke masyarakat dengan tantangan berbeda-beda. Sebanyak 270 daerah menyebar di seluruh Indonesia yang porsi asupan informasinya pun beragam. Ada yang obesitas informasi, cukup, dan ada pula yang tidak paham sama sekali.
Apalagi misalnya, saat hari H masuk ke TPS. Banyak medium penularan di sana. Kalau masih menggunakan paku sebagai alat coblos, barangkali paku yang sering bergantian itu juga dapat menjadi medium penularan lainnya. Demikian pula surat suara, kotak suara, dan logistik lainnya yang lazim tersedia di TPS. Patut diperhatikan bahwa tidak semua TPS kita berada di jalan lapang, tetapi juga di pedalaman dan melintasi pulau.
Kita bertaruh terlalu besar dalam konteks politik dan pilkada 2020. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Bagaimana kita mampu menjamin keselamatan pemilih, sementara kita nir pengalaman melaksanakan pilkada saat pandemi.
Kita belum memulai secara resmi new normal yang dicanangkan pemerintah. Kita tidak tahu hasilnya. Namun, jika ini ternyata menyebabkan lonjakan kasus lagi dalam Covid-19, kita sepertinya perlu memikirkan kembali secara lebih detail dan komprehensif.
Saat menggambarkan pemilu, penyair kondang Joko Pinurbo menulis puisi berjudul Pesta. Puisi itu adalah perayaan ironi yang kelam dan menyentuh hati. Karena pada saat pesta yang besar, kita juga merayakan doa atas kematian para penyelenggara pemilu yang gugur dalam medan juang saat menjalankan tugasnya menghitung suara. Sedihnya, dengan honor yang tidak seberapa.
Puisi tersebut mengingatkan kita terhadap memori Pemilu 2019, saat 554 petugas yang terdiri atas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), pengawas pemilu, dan aparat keamanan yang gugur menjalankan tugasnya di TPS. Akankah pada 2020 kita kembali berduka karena pilkada?
Pemilih adalah masyarakat yang kini tampaknya juga terjebak dalam kebingungan. Mari kita melihat sejenak psikologis publik menghadapi pandemi. Salah satu momentumnya saat merayakan Idul Fitri kemarin. Sikap masyarakat terbelah. Ada yang benar-benar menutup diri. Ada yang membuka rumah dengan menyediakan hand sanitizer. Ada pula yang membuka rumah selebar-lebarnya tanpa protokol apa pun.
Keterbelahan itu juga dilihat pada pilihan masyarakat yang memilih Lebaran di perantauan dan yang memaksa mudik. Bahkan, yang di kampung juga bingung saat melihat salah satu tetangganya bisa mudik. Kita dilarang mudik, sementara transportasi dibuka.
Kebingungan lainnya adalah saat sebagian masyarakat baru memilih dengan bertahan di rumah, muncul lagi kebijakan boleh keluar rumah. Saat kita teriakkan tagar lawan korona, tiba-tiba kita diarahkan untuk berdamai dengan korona. Kita dihadapkan pada rencana penerapan new normal.
Kebingungan tersebut tentu juga dirasakan pemilih yang tersebar di 270 daerah. Adaptasi yang berusaha dilakukan ternyata dihadapkan dengan perlunya adaptasi baru. Media sosial menjadi ruang yang sangat ramai mempertontonkan sikap publik yang terbelah.
Saat bandara dibuka dan banyak kerumunan, dunia media sosial tumpah ruah dengan kekecewaan. Para tenaga kesehatan langsung menaikkan tagar Indonesia Terserah. Itu semua bagian dari kegelisahan publik yang bisa kita lihat dengan saksama.
Situasi yang tidak normal ini kemudian dihadapkan pada penyelenggaraan pilkada yang new normal. Tentu saja tantangannya akan lebih sulit. Sukses dan terlaksana saja sudah luar biasa, apalagi tanpa korban yang berjatuhan. Inilah sengkarut yang perlu kita urai pelan-pelan.
Keselamatan pemilih adalah hal utama. Bukan hanya dalam konteks penularan Covid-19. Keselamatan akal sehat dalam pilkada di tengah pandemi juga penting untuk menjadi fokus seluruh pihak. Sebagaimana yang ditulis Mochamad Afifudin dalam buku Membumikan Pengawasan Pemilu, tantangan penyelenggaraan pilkada memang tidak berubah, tetapi karakteristiknya yang berkembang bersamaan dengan situasi zaman.
Revolusi digital menjadi ’’jalan tol” yang membuat pelanggaran pilkada bisa masuk ke ruang media sosial lewat gawai yang dipegang pemilih. Yang diserang adalah akal sehat pemilih oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ada tim buzzer yang sungguh berpotensi menyebarkan hoax, melanggengkan ujaran kebencian antarcalon, serta menggunakan isu suku, agama, ras, dan antar golongan. Pengalaman beberapa kali pilkada, potensi chaos massa berasal dari provokasi media sosial.
Akal sehat yang lain adalah saat kita perlu memutus rantai klientelisme. Ketika program, visi, dan misi tidak lagi menjadi jualan dalam menarik publik, di sisi lain praktik keuntungan pribadi dan kelompok menjadi barter untuk kepentingan politik elektoral. Kewaspadaan kita perlu meningkat sebagaimana ditulis Edward Aspinall dan Ward Berenschot bahwa klientelisme juga terjadi di birokrasi.
Di tengah pandemi, akal sehat pemilih harus diselamatkan dari persepsi bahwa bantuan sosial yang diberikan secara tunai adalah murni kemanusiaan dan berasal dari anggaran resmi pemerintah, bukan karena kepentingan pilkada. Jangan sampai bansos menjadi praktik politik uang wajah baru. *) Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur