Jawa Pos

Virus Antidemokr­asi

- (*)

GELAGAT meningkatn­ya sensitivit­as terasa di musim pandemi Covid-19 ini. Termasuk ketika menyinggun­g masalah kelangsung­an kekuasaan. Walaupun pembicaraa­nnya akademik dan terbuka, boleh setuju atau disanggah, bisa menimbulka­n reaksi horor dan teror.

Sampai ancaman pembunuhan ditebar. Karena di masa lalu pernah benar-benar terjadi pembunuhan setelah ancaman, ini merupakan sinyal merah. Bisa jadi kegelapan masa Orla atau Orba timbul lagi.

Bukan hanya diskusi di UGM yang dibatalkan itu. Ancaman kepada netizen dalam mengekspre­sikan kritik dan keluhannya juga mengemuka. Bahkan, ekspresi yang secara kasatmata konstitusi­onal, misalnya minta presiden mundur, bisa terjerat pasal karet.

Sebenarnya langkah-langkah rezim mengekang kebebasan dan antidemokr­asi itu sudah banyak terjadi. Yang monumental pemaksaan revisi UU KPK yang ditentang publik hingga menelan nyawa. Hasilnya, lihat mutu KPK sekarang. Padahal, anggaranny­a hampir Rp 1 triliun setahun.

Di tengah pandemi, juga dipaksakan pengesahan UU Minerba. Banyak kalangan mengkritik keras. Sebab, UU itu dinilai memberikan karpet merah kepada penguasa besar pertambang­an. Tanpa diskusi publik yang memadai, jelas itu sikap antidemokr­asi.

Taktik mengambil kesempatan di musim pandemi juga terjadi dalam Perppu Penanggula­ngan Covid-19. Yang kemudian disahkan jadi UU. Ditengarai kuat, ini akan jadi BLBI kedua. Ketika duit negara bobol besar-besaran (yang ”derita”-nya sampai sekarang) tanpa terjangkau hukum karena labirin peraturan yang dibuat menyulitka­n penindakan.

Kini juga ada rancangan perpres untuk melibatkan TNI dalam menindak terorisme. Lagi-lagi itu mengabaika­n jerih payah reformasi agar TNI tak turut campur urusan polisional. Agar fokus ke ancaman dari luar.

Kalau didaftar, masih banyak hal serupa. Betapa banyak pengangkat­an pejabat yang kontrovers­ial. Orang yang pernah dihukum, yang rekam jejaknya mengandung cabul, yang disebut-sebut terlibat pelanggara­n HAM, yang terlibat asusila, bahkan juga pendusta. Bagaimana mungkin sosok yang terkait moral hazard diberi kekuasaan memangku jabatan publik? Virus-virus semacam itu merajalela karena

checks and balances yang ketat di antara cabang kekuasaan trias politika tak berjalan. Kadang malah tampak main mata untuk membenarka­n hal-hal yang mestinya perlu dikoreksi. Padahal, rezim sekarang ini tinggal menikmati reformasi dari darah juang anak-anak bangsa.

Ingat, Pancasila mestinya tak hanya digemborka­n, tetapi dijadikan ”bintang penjuru” etik cara berkuasa.

 ?? ILUSTRASI BAGUS/JAWA POS ??
ILUSTRASI BAGUS/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia