Virus Antidemokrasi
GELAGAT meningkatnya sensitivitas terasa di musim pandemi Covid-19 ini. Termasuk ketika menyinggung masalah kelangsungan kekuasaan. Walaupun pembicaraannya akademik dan terbuka, boleh setuju atau disanggah, bisa menimbulkan reaksi horor dan teror.
Sampai ancaman pembunuhan ditebar. Karena di masa lalu pernah benar-benar terjadi pembunuhan setelah ancaman, ini merupakan sinyal merah. Bisa jadi kegelapan masa Orla atau Orba timbul lagi.
Bukan hanya diskusi di UGM yang dibatalkan itu. Ancaman kepada netizen dalam mengekspresikan kritik dan keluhannya juga mengemuka. Bahkan, ekspresi yang secara kasatmata konstitusional, misalnya minta presiden mundur, bisa terjerat pasal karet.
Sebenarnya langkah-langkah rezim mengekang kebebasan dan antidemokrasi itu sudah banyak terjadi. Yang monumental pemaksaan revisi UU KPK yang ditentang publik hingga menelan nyawa. Hasilnya, lihat mutu KPK sekarang. Padahal, anggarannya hampir Rp 1 triliun setahun.
Di tengah pandemi, juga dipaksakan pengesahan UU Minerba. Banyak kalangan mengkritik keras. Sebab, UU itu dinilai memberikan karpet merah kepada penguasa besar pertambangan. Tanpa diskusi publik yang memadai, jelas itu sikap antidemokrasi.
Taktik mengambil kesempatan di musim pandemi juga terjadi dalam Perppu Penanggulangan Covid-19. Yang kemudian disahkan jadi UU. Ditengarai kuat, ini akan jadi BLBI kedua. Ketika duit negara bobol besar-besaran (yang ”derita”-nya sampai sekarang) tanpa terjangkau hukum karena labirin peraturan yang dibuat menyulitkan penindakan.
Kini juga ada rancangan perpres untuk melibatkan TNI dalam menindak terorisme. Lagi-lagi itu mengabaikan jerih payah reformasi agar TNI tak turut campur urusan polisional. Agar fokus ke ancaman dari luar.
Kalau didaftar, masih banyak hal serupa. Betapa banyak pengangkatan pejabat yang kontroversial. Orang yang pernah dihukum, yang rekam jejaknya mengandung cabul, yang disebut-sebut terlibat pelanggaran HAM, yang terlibat asusila, bahkan juga pendusta. Bagaimana mungkin sosok yang terkait moral hazard diberi kekuasaan memangku jabatan publik? Virus-virus semacam itu merajalela karena
checks and balances yang ketat di antara cabang kekuasaan trias politika tak berjalan. Kadang malah tampak main mata untuk membenarkan hal-hal yang mestinya perlu dikoreksi. Padahal, rezim sekarang ini tinggal menikmati reformasi dari darah juang anak-anak bangsa.
Ingat, Pancasila mestinya tak hanya digemborkan, tetapi dijadikan ”bintang penjuru” etik cara berkuasa.