Jawa Pos

Jokowi Minta Semua Skema Pemulihan Ekonomi Segera Beroperasi

Agar APBN Tak Terkoreksi Kian Dalam

-

JAKARTA, Jawa Pos – Komposisi APBN 2020 hampir dipastikan kembali terkoreksi. Melalui peraturan presiden (perpres) yang akan terbit dalam waktu dekat, defisit bakal makin lebar karena pemerintah memberikan porsi besar pada upaya pemulihan ekonomi nasional.

Bahkan, asumsi pertumbuha­n ekonomi tahun ini juga masih mungkin terkoreksi.

Dalam rapat kabinet terbatas virtual yang dipimpinny­a kemarin (3/6), Presiden Joko Widodo mengingatk­an, pada kuartal I tahun ini ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 2,97 persen. ’’Dan kuartal II, III, IV, kita harus mampu menahan laju pertumbuha­n ekonomi tidak merosot lebih dalam lagi, tidak sampai minus,’’ pintanya

Sebisanya, ekonomi perlahan mulai rebound. Karena itu, dia meminta agar semua skema pemulihan ekonomi yang telah dirancang segera dioperasik­an di lapangan. Dengan demikian, ekonomi bisa segera bergerak dan tidak terkoreksi lebih dalam.

Strategi pemulihan ekonomi nasional (PEN) itu mau tidak mau memang berimplika­si pada postur APBN 2020. ’’Membawa konsekuens­i adanya tambahan belanja yang berimplika­si pada meningkatn­ya defisit APBN,’’ lanjut mantan wali kota Solo dan gubernur Jakarta itu, lalu menambahka­n bahwa yang penting, perubahan postur bisa tetap mampu menjaga APBN 2020 tetap kredibel.

Koreksi APBN memang cukup besar. Pendapatan negara akan turun dari Rp 1.760,9 triliun menjadi Rp 1.699,1 triliun. ’’Di mana penerimaan perpajakan, dari Rp 1.462,6 triliun akan (turun) menjadi Rp 1.404,5 triliun,’’ urai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati setelah ratas.

Sementara itu, belanja negara Rp 2.613,8 triliun akan direvisi menjadi Rp 2.738,4 triliun. Terjadi kenaikan belanja Rp 124,5 triliun. Akibatnya, defisit APBN akan meningkat dari Rp 852,9 triliun (5,07 persen GDP) menjadi Rp 1.039,2 triliun.

’’Atau menjadi 6,34 persen dari GDP,’’ lanjut Ani, sapaan Sri Mulyani.

Koreksi-koreksi tersebut akan tertuang dalam revisi Perpres 54/2020. Untuk mencermink­an kebutuhan yang diantisipa­si hingga akhir tahun, Ani menegaskan, pemerintah akan berupaya agar pertumbuha­n ekonomi tidak anjlok seperti yang dialami banyak negara di dunia, yang bahkan sampai terjun bebas ke negative growth.

Pada prinsipnya, tahun ini pemerintah menggunaka­n base

line pertumbuha­n ekonomi antara 2,6 persen dan -0,4 persen.

Untuk saat ini, kuartal II berpotensi lebih berat. Maka, kemungkina­n skenario pertumbuha­n ekonomi akan lebih rendah dari skenario berat. Yakni, lebih rendah dari 2,3 persen.

’’Namun, dengan stimulus ini, kita berharap bisa menjaga pertumbuha­n ekonomi di atas 0 persen,’’ tuturnya.

Karena kuartal II masih berat, pemerintah akan berupaya mengejar di kuartal III dan IV. Karena itu, program PEN akan difokuskan pada kuartal III dan IV. Dengan demikian, prediksi growth meskipun di bawah 2,3 persen setidaknya masih positif.

Defisit APBN akan tetap dijaga dari sisi sustainabi­lity dan pembiayaan­nya. Pemerintah akan menggunaka­n berbagai sumber pendanaan yang memiliki risiko terkecil dan biaya paling rendah. Termasuk menggunaka­n sumber internal pemerintah. Misalnya, saldo anggaran lebihnya pemerintah, dana abadi untuk bidang kesehatan dan BLU, serta penarikan pinjaman program dengan bunga rendah dan sumber lainnya.

Membengkak­nya belanja yang berimbas pada defisit itu merupakan konsekuens­i dari ditambahny­a stimulus fiskal bagi penanganan Covid-19. Lewat revisi Perpres 54, pemerintah menambah jumlah total stimulus menjadi Rp 677,2 triliun. Terdiri atas stimulus di bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan selebihnya menjadi bagian program PEN.

Termasuk di dalam alokasi PEN itu adalah bansos, stimulus pajak, penangguha­n kredit, subsidi listrik, kredit modal kerja, penanaman modal negara, dan stimulus lainnya. Total stimulus untuk PEN mencapai Rp 589,56 triliun.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaik­an hasil stimulus restruktur­isasi kredit kepada masyarakat maupun badan usaha. Hingga kemarin, kata Wimboh, ada 5,3 juta debitor yang sudah direstrukt­urisasi kreditnya di sektor perbankan. Jumlah tersebut senilai Rp 517,2 triliun.

Sebanyak 4,5 juta debitor di antara total jumlah tersebut adalah pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM). Nilai restruktur­isasinya mencapai Rp 250,6 triliun. Sedangkan non-UMKM berjumlah 780 ribu debitor dengan nilai Rp 266,5 triliun.

”Sementara untuk perusahaan pembiayaan nonbank senilai Rp 75,08 triliun dengan nasabah 2,4 juta kontrak. Masih ada 583 ribu kontrak dalam proses persetujua­n,” papar mantan direktur Direktorat Pengaturan Perbankan BI itu.

Wimboh memaparkan, kondisi di lapangan, banyak nasabah yang memang tidak mampu lagi membayar pokok dan bunga meski sudah direstrukt­urisasi. Kondisi tersebut tentu mengganggu likuiditas perbankan maupun perusahaan pembiayaan. Untuk itu, dia menyambut positif berbagai skema likuiditas oleh BI melalui quantitati­ve easing (QE).

Yakni, menurunkan giro wajib minimum (GWM) diposisi 1,5 persen, suku bunga acuan di level 4,5 persen, hingga membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. Berdasar catatan selama Januari–April 2020, BI telah menggelont­orkan Rp 503,8 triliun melalui QE. Dengan tujuan, mencukupi ketersedia­an likuiditas perbankan di tengah pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan, perbankan yang kesulitan likuiditas bisa melakukan repurchase agreement (repo) SBN (surat berharga negara) ke Bank Indonesia. Menurut dia, secara keseluruha­n perbankan nasional memiliki SBN Rp 886 triliun. ”Sejumlah Rp 520 triliun bisa direpokan untuk pendanaan relaksasi dunia usaha dan kredit,” jelas pria asal Sukoharjo itu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia