Pembunuhan, Bukan Kecelakaan
Warga Tak Lagi Rusuh, tapi Tetap Tak Patuh
Jawa Pos Pertanyaan besar soal kasus kematian George Floyd terjawab sudah. Ahli forensik dari pemerintah maupun independen menyatakan Floyd sebagai korban pembunuhan. Pernyataan itu menguatkan demonstran untuk bertahan meski tak ingin lagi ada kerusuhan.
Ada dua tim forensik yang mengotopsi jenazah pria berusia 46 tahun itu. Tim dari Hennepin County Medical Examiner dan tim forensik independen yang direkrut pihak keluarga korban. Kedua hasil otopsi menyimpulkan bahwa nyawa Floyd direnggut petugas kepolisian pekan lalu.
Namun, penjelasan mereka berbeda. Pihak Hennepin County Medical Examiner mengatakan, kematian pria kulit hitam tersebut dipicu berbagai kondisi. Pertama, Floyd dikatakan punya riwayat penyakit jantung. Kedua, saat itu Floyd dikatakan sedang keracunan zat narkotika. Ketiga, aksi polisi yang menindih leher Floyd. ’’Terjadi henti jantung yang dipicu tindakan penegak hukum,’’ tulis mereka seperti dilansir CNN.
Hal tersebut berbeda dengan apa yang disimpulkan para dokter forensik independen. Mereka menyimpulkan bahwa Floyd mati karena kekurangan napas. Menurut mereka, darah yang mengalir ke otak Floyd terhambat karena tindakan aparat tersebut.
’’Tidak ada isu kesehatan lain yang memicu atau berkontribusi atas kematian korban. Dia meninggal karena tak bisa bernapas,’’ ungkap Michael Baden, salah seorang dokter forensik dari tim independen.
Baden menjelaskan bahwa masyarakat awam, termasuk polisi, sering salah kaprah. Mereka menganggap orang yang bisa bicara berarti masih bisa bernapas. Dia menegaskan bahwa asumsi itu salah besar.
Leher Floyd ditindih petugas Derek Chauvin selama total 8 menit 46 detik. Selama 2 menit dan 53 menit sebelum dia diangkut ambulans, ayah satu anak itu sama sekali tak bergerak.
’’Kita bisa menyimpulkan bahwa Floyd mati di tempat penangkapan,’’ ujar Ben Crump, salah seorang pengacara keluarga korban.
Saat ini Chauvin dituntut dengan pasal pembunuhan tingkat ketiga. Artinya, Chauvin tak sengaja membunuh Floyd. Sebaliknya, keluarga korban serta simpatisan meminta Chauvin dituntut dengan pasal pembunuhan tingkat satu atau pembunuhan berencana. Mereka juga meminta tiga petugas lainnya yang berada di tempat kejadian juga diadili.
Sampai saat ini, permintaan tersebut belum terpenuhi. Presiden AS Donald Trump lebih sibuk berusaha menekan demonstran daripada mengakomodasi permintaan massa. Selasa lalu (2/6) Kementerian Pertahanan AS alias Pentagon mengumumkan mereka sudah menempatkan 1.600 tentara aktif di
Negara Bagian Washington.
Kepala Jubir Pentagon Johnathan Hoffman mengatakan bahwa tentara tersebut berasal dari Fort Bragg di North Carolina dan Fort Drum di New York.
’’Pasukan tersebut hanya kami siagakan di markas militer di luar Washington DC. Mereka masih belum kami kerahkan untuk mendukung aparat sipil,’’ ungkapnya.
Pengumuman tersebut datang setelah beberapa gubernur Demokrat menolak permintaan meminjam National Guard untuk menjaga Washington DC. Gubernur yang menolak adalah politisi Demokrat. Mereka beralasan bahwa personel National Guard masih dibutuhkan siaga untuk menghadapi massa di wilayah mereka sendiri.
Saat ini ada 3.600 anggota National Guard yang berjaga di Washington DC. Sebanyak 1.300 datang dari Washington dan 2.300 didapat dari bantuan negara bagian lain. Tambahan 1.300 personel lagi bakal datang dalam waktu yang dekat.
Sikap Trump membuat massa pendemo makin teguh. Pada hari kedelapan, mereka tetap turun ke jalan dan menentang jam malam yang diterapkan di berbagai kota. Skala demonstrasi pun makin besar.
Salah satunya, aksi protes di Houston, Texas. Aksi di kampung halaman Floyd itu dihadiri sekitar 60 ribu orang. Di antara mereka ada 16 anggota keluarga Floyd yang naik ke panggung.