Jawa Pos

Rawat Koleksi, Gagas Kelas Khusus yang Membahas Tulang

Sisi edukasi menjadi fungsi yang tidak ingin ditinggalk­an kendati museum harus menutup lokasinya. Beberapa cara terus dicoba agar masyarakat tetap bisa menikmati ilmu tanpa terbatas ruang.

- RETNO DYAH AGUSTINA,

DARI namanya saja, Museum Etnografi Kematian sering bikin bulu kuduk berdiri. Penampakan­nya juga tidak biasa. Di lantai area menuju pintu masuk, tertulis mass grave dengan dekorasi tulang-tulang manusia. Masa pandemi saat ini semakin menambah suasana seram karena kondisi yang gelap dan sepi.

Menjaga museum tetap hidup pada saat seperti ini memang sulit. Hal itu terucap dari Kepala Museum Etnografi Kematian Unair Toetik Koesbardia­ti. Sebagai pengelola, timnya dituntut beradaptas­i dengan cepat. ”Padahal, biasanya museum ini sangat ramai. Sebulan kunjungan pasti lebih dari 500 dengan luas yang masih terbatas ini,” katanya.

Kini timnya mulai melirik rancangan museum virtual. ”Sementara belum jadi, kami masih rutin promosi lewat media sosial saja,” ujar perempuan yang akrab disapa Bu Tok tersebut.

Dosen Jurusan Antropolog­i Unair itu mengatakan, museum virtual tidak boleh hanya menampilka­n koleksi

”Ada program khusus yang bisa membuat pengunjung berinterak­si,” ucapnya saat diwawancar­ai kemarin (3/6).

Nanti juga disiapkan panduan secara online jika ada permintaan khusus dari pengunjung berkelompo­k. Salah satu program museum tersebut adalah bone class. Beberapa jenis paket ditawarkan kepada sekolah atau kelompok yang berminat. ”Kita duduk bareng, lalu belajar tentang tulang,” ucapnya.

Biaya untuk mengikuti kelas tersebut tidak mahal. Mulai Rp 1,5 juta hingga tak lebih dari Rp 5 juta. Bergantung pada jumlah siswa dan layanan yang diinginkan. Secara umum, pembiayaan museum berasal dari anggaran pihak universita­s.

Biaya tersebut digunakan untuk menunjang perawatan tulangtula­ng koleksi museum. Namun, tak sedikit juga pihak yang sukarela datang dan memberikan donasi. ”Padahal, ya memang kita tidak tarik biaya bagi yang datang biasa,” kata Delta Bayu Murti, salah seorang kurator.

Rangka yang digunakan saat presentasi tentu membutuhka­n perawatan yang ekstrahati-hati. Misalnya, saat ini museum tersebut harus dilengkapi exhaust yang menyala selama 24 jam. Demi menjaga kondisi koleksi rangka.

Pria yang akrab disapa Bayu itu juga harus tetap mengunjung­i museum dua kali seminggu. Dosen antropolog­i tersebut harus menyalakan AC untuk beberapa waktu demi menyegarka­n kembali udara di dalam museum. ”Koleksinya juga perlu kita bersihkan dengan kuas agar tak tertumpuk debu meski ruang tertutup terus,” jelasnya.

Kini kelas itu coba dihadirkan melalui platform diskusi virtual. ”Kan sudah banyak yang buat.

Makanya kita sedang pikir-pikir teknisnya seperti apa,” ucapnya. Dengan begitu, sekolah-sekolah yang sudah jadi partner selama ini tetap bisa belajar tentang studi kematian itu.

Selain itu, Bu Tok sedang bersemanga­t melirik medium komik. Timnya tidak sengaja bertemu dengan seorang pembuat komik. ”Nah, kita lagi main-main sama seorang pembuat komik hantu. Meski kita bukan bahas hantunya ya,” ucapnya, kemudian terkekeh.

Potensi kerja sama tersebut menjadi sarana untuk menyampaik­an keilmuan secara kreatif. Bentuk detailnya masih dibahas.

Bu Tok mengatakan, kondisi pandemi ini memang sangat menantang bagi pengelola museum. ”Secara umum saja, pemahaman masyarakat masih kurang tentang museum. Padahal, perkembang­an museum di Indonesia sebenarnya pesat lho,” ucapnya. Di beberapa kota, sudah muncul museum-museum dengan koleksi modern.

Maka, mengubah museum dalam bentuk virtual, diskusi kelas, hingga medium lainnya merupakan cara tepat untuk bertahan. Di sana, fungsi edukasi dan rekreasi tetap berjalan meski tak hadir di ruang museum. ”Sekarang yang jalan hanya fungsi penelitian karena tak harus bergerombo­l,” jawabnya.

Selain itu, medium tersebut bisa digunakan secara berkelanju­tan. Tak terbatas pada masa pandemi ini. Namun, juga bisa dimaksimal­kan dalam menghadapi the new normal nanti. ”Museum kami kecil, padahal pengunjung banyak. Jadi, tidak bisa kalau cuma protokol dasar. Harus ada pembatasan jumlah pengunjung dalam satu waktu,” sambungnya.

 ?? RETNO DYAH/JAWA POS ?? BERI PERAWATAN: Kurator Delta Bayu Murti harus tetap memeriksa koleksi meski Museum Etnografi Kematian ditutup selama masa pandemi.
RETNO DYAH/JAWA POS BERI PERAWATAN: Kurator Delta Bayu Murti harus tetap memeriksa koleksi meski Museum Etnografi Kematian ditutup selama masa pandemi.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia