Bawakan Konsep Panggung Teater Virtual
Seniman Harus Bisa Berkarya di Mana Saja
SURABAYA, Jawa Pos – Pandemi memang telah mengubah banyak hal. Termasuk pementasan teater. Jika sebelumnya bisa dinikmati secara langsung saat aktor bermain di depan mata, kini teater harus disajikan lewat sebuah media sebagai jembatannya. Teater pun bersifat virtual. Namun, berteater secara virtual ternyata belum bisa dikatakan virtual.
Itulah yang disampaikan Roci Marciano, dosen keaktoran dan penyutradaraan STKW, dalam diskusinya di YouTube Gresiknesia. Mengusung tema Teater Indonesia di Masa Pandemi, Roci menuturkan, meski masa pandemi, para seniman teater tetap harus bisa berkarya di mana saja. Sebab, tidak ada batasan panggung bagi si aktor untuk berteater.
’’Jika mereka biasanya manggung di stage dalam gedung, sebenarnya itu bukan batasan. Mereka mau berteater beberapa detik saat lampu merah pun sudah bisa dianggap berteater,’’ jelasnya dalam diskusi online tersebut.
Sebab, ketika sang aktor berteater dan ada satu penonton, hal tersebut sudah bisa disebut proses berteater dan tempat itulah panggungnya. Jadi, tidak ada batasan panggung bagi si aktor untuk berteater.
Namun, saat pandemi terjadi, pertunjukan teater berubah menjadi pertunjukan virtual. Sang aktor dan penonton tidak bisa berada di ruangan yang sama.
Dalam diskusi tersebut, Roci mengungkapkan, saat penonton hanya bisa melihat sang aktor berteater lewat layar dengan angle dari kamera, sebenarnya angle itu belum bisa mewakili hal yang ingin dilihat penonton. ’’Dari situ, sebenarnya teater yang disebut-sebut sebagai teater virtual belum bisa disebut demikian. Tapi, seharusnya disebut show virtual,’’ tuturnya.
Sebab, belum bisa dikatakan teater virtual jika belum masuk di ruang virtual. ’’Sebab, kita belum pakai alat seperti virtual reality headset untuk menontonnya. Jadi, yang terjadi saat ini sengaja untuk menjaga eksistensi teater agar tetap masih ada,’’ ujarnya.
Roci lantas menjelaskan perbedaan antara show virtual dan teater virtual. Dia menyatakan bahwa show bisa berdiri sendiri tanpa harus terikat pada esensi teater. Sebab, esensi teater adalah tontonan langsung secara tiga dimensi. ’’Kalau show ini terserah yang show, mau ada yang nonton atau nggak, mereka tetap show. Tapi, teater berbeda karena ada filosofi dan sejarah. Kehadiran penonton di lokasi sebagai peristiwa bersama harus terjadi,’’ tegasnya.