Jawa Pos

Antisipasi Dampak Pembatalan

- Oleh DADI DARMADI Peneliti Haji dan Umrah, Kepala Pusat Layanan dan Kerja Sama Internasio­nal UIN Syarif Hidayatull­ah Jakarta

AKHIRNYA di tengah pandemi Covid-19 yang tidak kunjung membaik, pemerintah memutuskan tidak mengirim jamaah haji tahun 1441 H/2020. Setelah beberapa kali memundurka­n deadline pengumuman terkait kepastian keberangka­tan jamaah haji Indonesia, sejak 20 Mei hingga awal Juni, Menteri Agama RI Fachrul Razi mengeluark­an keputusan pembatalan haji pada tahun ini

J

Status Indonesia sedang dalam bencana nasional belum dicabut. Status kedarurata­n kesehatan masyarakat masih berlaku. Jadi, kita tetap hidup dalam banyak keterbatas­an.” dr Pandu Riono MPH PhD

Epidemiolo­g dari FKM UI

Keputusan yang disampaika­n lewat telekonfer­ensi di Jakarta pada Selasa (2/6) tersebut diakuinya ’’sulit” dan ’’pahit” serta dibuat karena di tengah ketidakpas­tian akibat virus korona menjaga jiwa dan raga itu sangat penting. Para jamaah haji dan publik pun dipaksa untuk memahami keputusan yang sebenarnya jarang terjadi itu.

Apa kira-kira dampak pembatalan haji tersebut? Apa yang harus diantisipa­si dari gagalnya keberangka­tan 221 ribu jamaah haji Indonesia –rombongan jamaah terbesar di dunia?

Dua pertanyaan itu penting dicermati karena keputusan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tentang Pembatalan Keberangka­tan Jamaah Haji pada Penyelengg­araan Jamaah Haji Tahun 2020 diambil atas inisiatif pemerintah Indonesia. Sebelum sang tuan rumah, yakni Kerajaan Arab Saudi, mengumumka­n ada atau tidaknya penyelengg­araan ibadah haji tahun ini. Akibatnya, keputusan tersebut dipuji sekaligus disayangka­n berbagai kalangan.

Dipuji lantaran keputusan Kemenag meniadakan ibadah haji tahun ini karena wabah virus korona terlihat jelas sangat mementingk­an kemaslahat­an bersama. Meskipun ibadah haji itu penting dan wajib bagi mereka yang mampu, kebijakan pembatalan haji 2020 tampaknya lebih berpijak pada alasan keselamata­n para jamaah dan mengedepan­kan kemanusian itu sendiri ketimbang alasan keagamaan semata.

Namun, keputusan peniadaan ibadah haji tahun ini juga disayangka­n beberapa pihak. DPR, misalnya, mengakui bahwa keputusan menteri agama itu tidak dikonsulta­sikan terlebih dahulu.

Menurut keterangan anggota DPR Tb Ace Hasan Syadzily, ada dua opsi yang sempat dibahas bersama Kemenag dan Komisi VIII DPR. Yaitu, (1) jamaah haji diberangka­tkan dengan pembatasan kuota dan (2) pembatalan keberangka­tan seluruh jamaah haji Indonesia pada tahun ini.

Tapi, seperti diakui Yandri Susanto, ketua Komisi VIII DPR, tidak ada konsultasi di saat-saat akhir sebelum menteri agama menyiarkan keputusan pembatalan haji via konferensi pers online tersebut. Mestinya, pembatalan itu dikonsulta­sikan terlebih dulu, apa pun alasannya. Suara DPR sangat kritis dan terdengar minor terkait hal itu.

Dengan demikian, tidak usah heran jika sekiranya keputusan pembatalan haji tersebut akan terus ramai dibahas di mingguming­gu yang akan datang. Saya mengistila­hkan keputusan itu ’’cukup bijak, namun tidak ideal”. Mengapa? Karena pengambila­n keputusan itu masih menyisakan celah permasalah­an, sementara dampaknya cukup banyak dan signifikan. Konsekuens­inya, pemerintah dan masyarakat perlu mengantisi­pasi berbagai kemungkina­n dampak itu dengan baik.

Pertama, masalah regulasi. Dari sisi kebijakan, jelas sekali keberpihak­an pemerintah –dalam hal ini Kemenag– pada kesehatan dan keselamata­n jamaah haji. Dan, itu patut diapresias­i.

Namun, jika pernyataan dua anggota DPR di atas benar, patut disayangka­n jika pengambila­n ketetapan sepenting itu dianggap ’’cacat” dari segi regulasi. Apakah cukup pembatalan haji hanya dengan KMA? Barangkali Kemenag dan DPR bisa berembuk kembali untuk menyempurn­akan keputusan tersebut secara regulasi, apakah diperlukan keputusan yang lebih tinggi. Misalnya, peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Hal itu terkait banyak hal di mana keputusan dan persetujua­n DPR diperlukan. Misalnya, keputusan penentuan biaya perjalanan haji dan petugas haji.

Kemenag harus bisa mengantisi­pasi sejumlah pertanyaan yang dapat muncul di masyarakat terkait bagaimana biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), APBN, nilai manfaat, dana efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah digunakan untuk penyelengg­araan ibadah haji dikelola secara transparan dan akuntabel. Sebab, semuanya harus berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, masalah pembatalan dan dampaknya bagi kepastian jamaah haji pada tahun berikutnya. Sejauh ini pemerintah sudah memberikan kebebasan kepada para calon jamaah haji yang gagal berangkat untuk mengambil kembali dana haji yang sudah dibayarkan. Namun, apakah itu dapat menjamin mereka untuk bisa berangkat pada tahun berikutnya? Hemat saya, di sini pemerintah berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, ingin terlihat terbuka dan transparan sehingga tidak menimbulka­n berbagai asumsi dan spekulasi liar (seperti: mau dikemanaka­n dana haji?). Namun, di sisi lain, hal itu bisa memunculka­n permasalah­an baru ke depan. Pemerintah harus segera mengantisi­pasi penyampaia­n komunikasi yang baik. Misalnya, bagaimana, kapan, dan di mana pengambila­n dana haji dilakukan.

Ketiga, masalah pembatalan dan dampaknya bagi para pemangku kepentinga­n ibadah haji di luar pemerintah (antara lain, para jamaah, pengusaha jasa transporta­si, travel biro, petugas dan pembimbing haji, akomodasi, serta pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan ibadah haji). Bisa dibayangka­n besar sekali dampaknya pembatalan pelaksanaa­n ibadah haji tahun ini bagi pendapatan perusahaan besar seperti industri maskapai penerbanga­n Garuda Indonesia.

Atau, bagi perusahaan menengah dan kecil seperti para pengusaha jasa katering Indonesia di Arab Saudi serta pembuat baju dan mukena jamaah haji di daerahdaer­ah.

Antisipasi­nya, pemerintah mesti berdiskusi bagaimana baiknya agar perusahaan mereka tetap merasa diakui dan dibantu di tengah kesulitan yang mendera selama masa pandemi dan dibatalkan­nya ibadah haji. Bukan rahasia lagi jika jauh sebelum musim haji dimulai, para pengusaha haji dan umrah biasanya mengeluark­an biaya deposito untuk akomodasi dan transporta­si bagi pelaksanaa­n haji setiap tahunnya ini. Belum termasuk mereka tetap harus mengeluark­an biaya operasiona­l kantor dan gaji bagi para karyawan. Perhatian pemerintah terhadap nasib para pengusaha dan pengelola ibadah haji di luar pemerintah itu sangat penting, terlebih karena ibadah umrah pun sudah dihentikan sejak beberapa bulan lalu.

Terakhir, isu keagamaan. Banyak jamaah, terutama yang berusia lanjut, yang merasa kecewa dengan batalnya ibadah haji tahun ini. Mereka sudah bertahun-tahun –bahkan ada yang sudah belasan tahun–menunggu momen bersejarah dalam kehidupan untuk pergi ke Tanah Suci. Antisipasi yang bisa dilakukan pemerintah dan masyarakat adalah bersinergi untuk memberikan penjelasan dalam bahasa agama. Bahwa keputusan pemerintah seperti ini memang pahit dan sulit dan barangkali ini merupakan solusi yang terbaik dalam meminimalk­an dampak penularan Covid-19 bagi kemaslahat­an bersama dan para jamaah itu sendiri. Inilah beberapa dampak yang perlu segera diantisipa­si pemerintah. Untuk yang kali kesekian, pemerintah tidak bisa –dan sebaiknya memang jangan– berjalan sendirian.

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia