Target Baru: 20 Ribu Tes PCR Per Hari
Contact Tracing Lebih Agresif dan Memanfaatkan Teknologi Segera Tambah Reagen dan Laboratorium Keliling
JAKARTA, Jawa Pos – Kemampuan tes Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR) sudah melampaui 10 ribu per hari. Karena itu, kini target tersebut dinaikkan dua kali lipat. Peningkatan kapasitas tes akan diikuti pelacakan yang lebih agresif dan cepat terhadap orang-orang yang potensial terpapar virus korona
Hal tersebut diputuskan dalam rapat kabinet terbatas virtual yang dipimpin Presiden Joko Widodo dari Istana Merdeka kemarin (4/6). Dia mengapresiasi target pengujian 10 ribu spesimen per hari yang terlampaui. ’’Saya harapkan target berikutnya adalah 20 ribu per hari. Ini harus mulai kita rancang,’’ ujarnya.
Selain itu, pelacakan yang lebih agresif harus dilakukan. ’’Dengan bantuan sistem teknologi komunikasi, bukan dengan caracara konvensional,’’ lanjutnya. Dia mencontohkan, Selandia Baru telah menggunakan teknologi digital diary. Sementara itu, Korea Selatan mengembangkan mobile GPS. Dengan memanfaatkan teknologi, pelacakan akan lebih termonitor.
Hingga kemarin masih ada tiga provinsi yang memerlukan perhatian lebih. Yakni, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Presiden meminta ada perhatian khusus terhadap tiga provinsi itu. Per kemarin, Jatim mencatatkan total 5.408 kasus positif, Sulsel 1.722 kasus, dan Kalsel 1.142 kasus.
Kemampuan tes 20 ribu per hari sebenarnya belum ideal untuk Indonesia. Menko PMK Muhadjir Effendy menjelaskan, dalam ratas presiden menyampaikan bahwa idealnya kemampuan tes PCR Indonesia lebih dari itu. ’’Mestinya bisa mencapai 30 ribu (per hari),’’ terangnya. Itu melihat jumlah peralatan tes yang mencapai 120 unit, bahkan lebih.
Meski demikian, saat ini pihaknya bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC) dan Kemenkes akan berfokus pada target 20 ribu tes per hari. Kemudian bergerak untuk mencapai 30 ribu. Untuk memenuhi hitungan rasio tes dengan jumlah penduduk, 30 ribu adalah angka ideal. ’’Untuk bisa melakukan tes sebanyak 20 ribu harus ada tracing kan,’’ lanjut Muhadjir. Umumnya, hasil tracing yang berlanjut ke tes swab hanya seperlimanya. Karena itu, pelacakan besar-besaran harus lebih cermat agar tidak ada mata rantai yang tak dikenali.
Pada akhirnya, tracing besarbesaran memerlukan SDM yang besar pula. Karena itu, pemerintah terus merekrut relawan dari sejumlah bidang keahlian. Misalnya, biologi molekuler, keperawatan, kebidanan, hingga kesehatan masyarakat. Yang direkrut adalah para mahasiswa tingkat akhir, termasuk yang sedang studi master.
Khusus mahasiswa S-2 akan direkrut sebagai relawan yang mengerjakan tes PCR. ’’Karena kita berharap mesin-mesin PCR itu bisa dioptimalkan jam kerjanya,’’ tutur mantan Mendikbud tersebut. Dengan SDM yang lebih banyak, alat tes bisa terus beroperasi dengan sistem sif. Targetnya, sehari alat tes bisa bekerja setidaknya 22 jam sehingga kemampuannya optimal.
Ketua GTPPC Doni Monardo menjelaskan, SDM yang cukup menjadi penting karena mereka juga berisiko tinggi. Sama seperti dokter dan perawat yang langsung bersentuhan dengan pasien, pekerja laboratorium langsung menangani virus. Jangan sampai ada kebocoran sebagaimana terjadi di salah satu laboratorium sebelum ini dan membuat para petugasnya terpapar.
Upaya peningkatan jumlah tes PCR juga didukung ketersediaan reagen. Pihaknya masih memiliki stok 1,1 juta reagen PCR. Kalaupun nanti berkurang, sudah ada kerja sama dengan sejumlah negara pemasok. GTPPC juga melibatkan pihak swasta, baik untuk laboratorium maupun penyediaan reagen.
Selain itu, pihaknya memperbanyak mobile laboratorium biosafety level (BSL) 2 untuk dikirim ke daerah. Misalnya, ke Jawa Timur yang menjadi provinsi dengan perhatian khusus.
Mobile lab lebih praktis untuk mendukung percepatan tes. Ketika suatu daerah telah mengalami penurunan kasus positif, kendaraan bisa digeser ke daerah lain yang membutuhkan.
Sampai saat ini, ada 148 laboratorium di seluruh Indonesia yang siap mengerjakan tes PCR. Keterbatasan tenaga laboratorium akan dicarikan solusi. Termasuk pelatihan-pelatihan kepada kelompok masyarakat, relawan, maupun para mahasiswa dan pelajar sekolah keperawatan. New Normal
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengkritisi kebijakan new normal. Ketua IAKMI Ede Surya Darmawan menyampaikan, sejak pemerintah melaporkan kasus pertama Covid-19 pada 2 Maret, tiga bulan kemudian terkonfirmasi 27.549 kasus positif di seluruh Indonesia. Tren kasus terus meningkat. Belum terlihat kecenderungan kurva melandai. Namun, wacana menerapkan new normal semakin sering disampaikan pemerintah. Pertimbangan utamanya adalah aspek ekonomi nasional yang ingin segera dipulihkan.
’’IAKMI berpendapat, new normal harus didefinisikan dengan jelas, yaitu perilaku masyarakat yang menerapkan hidup lebih bersih, lebih sehat, lebih terlindungi, dan lebih disiplin terhadap protokol kesehatan pada seluruh sektor kehidupan, sehingga aman dari ancaman penularan virus korona,’’ paparnya.
New normal bukan diartikan sebagai pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Menurut dia, pelonggaran PSBB saat kurva epidemiologi terus meningkat adalah kebijakan yang kurang bijaksana. Jika hal itu nekat dilakukan, gelombang kasus kedua bisa timbul. Pesawat Bisa Dianggap Tidak Aman
Direktur Inovasi dan Science Techno Park Universitas Indonesia (UI) Ahmad Gamal menyampaikan hasil penelitian tim gabungan ahli dari kampusnya dengan judul Menyelamatkan Industri Penerbangan: Antisipasi Dampak, Prediksi Perubahan, dan Butir Rekomendasi Kebijakan Selama dan Pasca Pandemi Covid-19. Salah satu yang paling utama dalam penelitian itu adalah bakal ada perubahan persepsi masyarakat terhadap perjalanan udara.
’’Bila dulu melakukan perjalanan dengan pesawat terbang dianggap sebagai sesuatu yang cepat, rasional, aman, memudahkan, serta bergaya, pascapandemi perjalanan pesawat akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak aman,’’ katanya. Transportasi udara hanya akan digunakan dalam waktu atau keadaan mendesak.
Dia menjelaskan, sangat mungkin angkutan udara mengalami pemulihan bertahap sampai 2021 dengan bentuk kurva U-panjang. Tahap pemulihan itu akan berlangsung cukup lama, yakni selama 12 bulan hingga 18 bulan.
UI merekomendasikan beberapa hal. Antara lain, kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan standar kesehatan penerbangan. Kemudian, penerapan standar kesehatan secara terperinci sebelum dan selama di pesawat. Selain itu, sosialisasi yang maksimal tentang peraturan terbang kepada seluruh calon penumpang melalui media cetak atau lainnya.