Boros di Masa Prihatin
Ongkos pesta politik selalu saja bikin tangan mengelus dada. Dalam kondisi normal, hajatan memilih pemimpin pemerintahan selalu makan duit rakyat yang tak sedikit. Apalagi dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Rasanya semakin gila-gilaan.
Sialnya, pemerintah, DPR, bersama penyelenggara pemilu sepakat memaksakan pemungutan suara pilkada 2020 pada Desember mendatang. Tahapan yang sempat tertunda akan dimulai pada 15 Juni. Seluruh pelaksanaan tahapan diwajibkan menyesuaikan dengan aturan protokol kesehatan penanganan Covid-19.
Akan banyak tambahan logistik untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya, alat pelindung diri untuk petugas pemutakhiran data pemilih, petugas KPPS, hingga panitia pemungutan suara di TPS. Untuk mengurangi kerumunan massa saat coblosan, jumlah pemilih tiap TPS yang semula 800 orang disusutkan menjadi 500 orang. Konsekuensinya, jumlah TPS harus ditambah. Ujung-ujungnya, semua butuh tambahan duit. Bahkan triliunan rupiah.
Hitung-hitungan awal pilkada 2020 di 270 daerah menyebutkan, total dana daerah yang tersedot mencapai Rp 14,49 triliun. Terdiri atas Rp 10 triliun untuk KPU; Rp 3,45 triliun untuk Bawaslu; dan Rp 1,04 triliun untuk pengamanan. Saat pilkada harus dilaksanakan dengan mengikuti protokol kesehatan, KPU mengusulkan opsi tambahan dan maksimal Rp 5,69 triliun. Sementara itu, Bawaslu minta tambahan Rp 278 miliar.
Jika usul tambahan itu disetujui lewat APBN, akan ada duit rakyat Rp 5,968 triliun yang harus direlakan lagi untuk pelaksanaan pilkada. Jika ditotal dengan kesepakatan awal melalui hibah daerah, jumlahnya hampir mencapai Rp 20,5 triliun.
Rasanya, begitu mudah menghambur-hamburkan duit negara untuk sebuah hasil yang belum tentu lebih baik. Banyak risiko melaksanakan pilkada di tengah kepungan virus korona. Peluang klaster baru penularan bisa bermunculan. Tingkat partisipasi pemilih juga terancam jeblok. Lalu, apa gunanya bersikap boros dan berlebihan menggunakan uang negara dengan risiko seperti itu? Apakah opsi penundaan tidak lebih baik?
Di sisi lain, saat ini seluruh masyarakat bahumembahu menghadapi pandemi Covid-19. Mereka rela menyisihkan sebagian penghasilan, bahkan tabungan, untuk membantu pengadaan alat pelindung diri bagi rumah sakit. Ada juga gerakan sosial bagi-bagi masker dan hand
sanitizer dari patungan uang seadanya. Berbagi sembako untuk mereka yang terdampak juga sudah tak terhitung. Semua itu terjadi lantaran ada narasi bahwa negara tak mampu sendirian menghadapi pandemi korona.
Narasi itu sungguh berlawanan dengan begitu mudahnya menyedot duit negara untuk pelaksanaan pilkada. Yang hasilnya pun bisa jadi hanya seonggok pemimpin yang sama sekali tidak sesuai harapan.