Kerbau Bertanya, Gajah Berdendang
SEGALA jenis monyet disindir gajah-gajah. Sindiran penuh sayap itu, sayangnya, tak digubris.
”Suaranya seperti gajah palsu,” alasan salah satu monyet yang masih mengasyiki tandan pisang rajanya. Menurutnya, gajah asli bersuara seperti trompet. Nadanya tinggi. Melengking. Seapesapesnya masih mirip-mirip trombon. Nadanya rendah, tapi masih berbunyi instrumen tiup.
”Gajah-gajah ini suaranya bagai petikan gitar. Kemarin sore malah berdenting kayak piano. Ini jelas kawanan gajah palsu,” lanjut monyet itu setelah melompat ke pohon pisang susu. ”Suara kritik harus pas dengan jati diri pengkritiknya. Baru kita pertimbangkan.”
Sudah hampir tiga bulan ini segala jenis monyet menyandang amanah dari pasangan RajaRatu Singa Sastro-Jendro. Mereka harus rutin membawakan kabar kepada seisi rimba tentang akan berlalunya suatu kemelut, tentang rimba yang akan mereka huni selepas badai.
Ya, badai pasti akan berlalu, makhluk-makluk akan tetap berdenyut, akan tetap saling memangsa bukan untuk keserakahan namun untuk sekadar menjalankan rantai makanan demi kelangsungan hidup, tetapi sudah tinggal di suatu dunia yang sama sekali berbeda.
”Kedisiplinan masyarakat... Kedisiplinan masyarakat... Kedisiplinan masyarakat...begitu dan seterusnya... Kenapa itu terus yang terkesan digaunggaungkan oleh pemberitaan monyet-monyet untuk menyambut dunia baru ini? Kedisiplinan pemimpin bagaimana?”
Begitulah petikan gitar maupun denting piano dari suara gajahgajah palsu kalau diterjemahkan dengan aplikasi bahasa gajah asli, artinya bukan bahasa Minang.
”Padahal, kalau perlunya kedisiplinan pemimpin juga digaunggaungkan oleh pemberitaan monyet-monyet itu nanti kedisiplinan masyarakat akan ngikut. Masyarakat hanya mencontoh apa yang diteladankan oleh pemimpinnya,” sambung gajah lain dalam suara gendang tambua Minangkabau kalau diterjemahkan dengan aplikasi bahasa gajah asli.
Salah satu monyet ingin klarifikasi. ”Pak Gajah, yang kamu maksud tadi ’masyarakat hanya mencontoh apa yang diteladankan pemimpinnya’? atau ’masyarakat hanya meneladani apa yang dicontohkan pemimpinnya’?”
Gajah bingung. Tapi, ia dan kaumnya setidaknya bahagia. Senja ini untuk kali pertama kritik mereka dihiraukan.
Mungkin karena para monyet juga mulai terketuk kepeduliannya setelah para gajah tak henti-hentinya mengkritik mereka seperti para monyet itu juga tanpa jeda menyuguhkan berita tentang pentingnya kedisiplinan masyarakat.
Atau, bisa jadi itu cuma spontanitas si monyet. Ia tiba-tiba tersadar untuk tidak melihat siapa yang mengkritik, gajah asli atau gajah palsu, tapi dengar saja kritikannya. Spontanitas adalah watak alamiah dari keterpepetan, yaitu kepepet untuk segera menyongsong datangnya dunia yang sama sekali berbeda seusai badai.
”Wahai para gajah, coba tunjukkan satu saja, bagian mana yang raja singa tidak disiplin?” monyet berbulu kuning bertanya.
”Suatu hari saya mendengar suara beliau mengeong... Ini jelas tidak disiplin. Singa di mana-mana kalau tidak mengaum, ya menggeram.”
”Itu hoaks. Kami para monyet belum pernah mendengar paduka yang mulia mengeong di berbagai pertemuan.”
”Pertemuan kan tempat pencitraan. Pernah mengintip raja singa selagi tidur? Tidur itu jujur. Tidak ada pencitraan. Beliau itu kadang-kadang ngoroknya berbunyi meooooooong.”
Monyet-monyet ketawa, ”Mungkin karena beliau sedang mengimpikan nenek moyangnya: kucing. Bukankah jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, adalah salah satu bentuk kedisiplinan juga?”
Muncul kerbau. Ia mendengar dari kejauhan bahwa dialog tadi adalah suara alam. Suara alam berarti suara Tuhan.
”Bolehkah dialog tadi saya terjemahkan dalam bahasa Minang?”
Tak ada yang menyahut. Kecuali gajah yang bersuara gendang tambua. Tak begitu jelas apa yang diomongkannya, kecuali ajakan untuk berbahagia, khas sifat perkusi tradisional Minangkabau itu.