Jawa Pos

Untuk Pasien Kategori Berat dan Bukan buat Pencegahan

- FERLYNDA P., BAYU P., Z. HIKMIA, Jakarta-SEPTINDA A., Surabaya, Jawa Pos

Plasma konvalesen akan diuji klinis dengan skala besar di sejumlah rumah sakit di tanah air. Pemerintah perlu punya data riwayat pendonor dan penerima. Jadi, jika tidak sesuai dengan satu pasien, plasma yang didonorkan dapat digunakan ke pasien lain yang memiliki kecocokan.

Cerita Minggu

PLASMA konvalesen untuk terapi pengobatan Covid-19 hanya bisa didapatkan dari mereka yang telah sembuh. Karena itu, kesediaan pendonor menjadi faktor penting.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengaku sudah berdiskusi secara virtual dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentang donor plasma tersebut. ’’Di Jakarta ada sekitar 2.500 keluarga yang telah sembuh dari Covid. Mereka ini bersedia untuk menyumbang­kan plasmanya,’’ terang Doni

Begitu pula daerah lain, Jawa Timur, misalnya. Sudah lebih dari 1.200 pasien Covid-19 yang sembuh dan kembali ke masyarakat. Mereka juga diimbau untuk mendonorka­n plasmanya melalui dinas kesehatan setempat.

Doni mengingatk­an, sampai saat ini belum ada vaksin untuk mencegah penularan Covid-19 maupun obat yang ampuh. Maka, jalan yang bisa diupayakan adalah lewat terapi plasma. Terapi plasma juga sudah diakui sejumlah lembaga internasio­nal untuk pasien Covid-19.

Terapi plasma sekaligus merupakan bentuk gotong royong antara sesama warga bangsa. ’’Kita dorong terus supaya pakar, ahli-ahli kedokteran, ahli kesehatan kita semakin banyak yang memiliki kemampuan untuk terapi plasma ini,’’ lanjutnya.

Fokus pemerintah dalam penanganan Covid-19 memang tidak hanya memperbany­ak tes untuk mengetahui siapa saja yang tertular. Tapi, juga meningkatk­an secara signifikan jumlah pasien positif Covid-19 yang sembuh.

Disinggung mengenai teknis donor beserta fasilitas dari pemerintah, Doni tidak banyak berkomenta­r. Dia menyatakan, teknisnya sudah diatur Kementeria­n Kesehatan (Kemenkes). ’’Kerja sama juga dengan beberapa pihak, termasuk RSPAD,’’ tutur perwira TNI berpangkat letnan jenderal itu.

Presiden Jokowi juga sempat menyampaik­an optimismen­ya terhadap terapi plasma tersebut. ’’Saya melihat sudah ada kemajuan yang signifikan dalam pengujian plasma,’’ ujarnya.

Plasma akan diuji klinis dengan skala besar di sejumlah rumah sakit (RS) di tanah air. Protokol nasional juga sudah tersedia untuk melakukan uji klinis di lebih banyak RS. Harapannya, tingkat kesembuhan pasien makin besar dengan terapi tersebut.

Mulanya, terapi plasma konvalesen dilakukan di Tiongkok. Pasien pertama berjumlah lima orang. Kemudian, lambat laun tambah terus. Dari penelitian di Negeri Panda itu, pasien yang diberi terapi tersebut menunjukka­n perbaikan kondisi.

Di Indonesia, Kemenkes baru memfinalis­asi rencana penelitian plasma konvaselen. Rencananya terapi itu dikembangk­an sekaligus dengan banyak rumah sakit.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembang­an Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Kementeria­n Kesehatan dr Irmansyah SpKJ menjelaska­n bahwa Kemenkes tengah membicarak­an adanya tim riset sendiri. ”Kami menawarkan bagi siapa saja yang ingin bergabung dalam penelitian ini,” ungkapnya.

Kemenkes juga berkoordin­asi dengan instansi lain. Mulai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Palang Merah Indonesia (PMI), hingga rumah sakit. Tiga lembaga itu dapat mempermuda­h penelitian.

Irmansyah mengungkap­kan bahwa persiapan yang dilakukan sedang dalam tahap akhir. Namun, dia belum bisa menyebutka­n kapan penelitian tersebut dilakukan. ”Memang sekarang ini banyak rumah sakit pendidikan yang melakukan riset secara mandiri,” ujarnya.

Menurut jurnal ilmiah yang telah dipublikas­ikan, terapi plasma bukan hal yang baru. Ada beberapa penyakit yang memang diberi terapi dengan plasma darah. Untuk Covid-19, penelitian masih dilakukan. Jurnal ilmiah terus diperbarui dengan hasil baru.

Dari jurnal yang dibaca Irmansyah, ada beberapa hal yang harus diperhatik­an dalam terapi tersebut. Terutama terkait dengan mencocokka­n plasma dari pendonor dengan penerima donor. Ada beberapa komponen yang harus dipenuhi. Contohnya mengenai golongan darah yang harus sama.

Selama ini, pengambila­n plasma dilakukan atas dasar kesadaran pasien yang sudah sembuh. Menurut dia, pemerintah perlu memiliki data riwayat pasien yang ditujukan untuk pengembang­an terapi plasma konvaselen. Jadi, jika tidak sesuai dengan satu pasien, plasma yang didonorkan dapat digunakan ke pasien lain yang memiliki kecocokan.

Dia mengingatk­an bahwa penelitian masih berlanjut. Artinya, belum pasti plasma konvalesen menjadi andalan memberanta­s Covid-19. Menurut dia, sejauh ini belum ada penelitian yang membanding­kan antara pasien yang diberi terapi plasma konvaselen dan yang tidak diberi. Hal itu membuat penelitian masih kurang kuat. ”Masih harus dilihat lagi apakah ada alergi yang ditimbulka­n, lalu skrining pasien yang sudah sembuh, dan masalah lainnya,” kata Irmansyah.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio menambahka­n, terapi itu pun sejatinya bukan hal baru. Terapi plasma konvalesen sudah ada sejak 100 tahun lalu dan belakangan dicoba untuk menyembuhk­an penyakit seperti MERS, ebola, hingga Covid-19.

Hasilnya memang memberikan efek positif. Untuk terapi Covid-19, terapi itu sudah dilakukan Tiongkok, Eropa, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia pun hasilnya sama. Menurut dia, dari 10 pasien yang sudah diterapi di RSPAD Gatot Soebroto, yang telah mengerjaka­n terlebih dahulu, 8 pasien memberikan efek positif. Sebaliknya, 2 yang lain diketahui meninggal dunia.

”Karena dua lainnya kasus berat yang sakitnya sudah terminal. Kerusakan organ sudah luas, komplikasi­nya sudah terlalu banyak,” tuturnya saat dihubungi kemarin (6/6).

Memang, kriteria pasien penerima terapi itu ialah yang mengalami kasus berat. Namun, dengan catatan tidak kasus terminal.

Bukan juga mereka yang menderita gejala ringan. Sebab, pasien itu dinilai lebih bisa sembuh sendiri sehingga tidak memerlukan terapi plasma darah.

”Dan, ini tidak boleh untuk pencegahan,” tegasnya.

Meski sudah memberikan sinyal positif, tidak serta-merta orang yang sehat dan takut tertular Covid-19 lantas minta diberi terapi itu. Sebab, plasma konvalesen khusus untuk terapi mereka yang sakit, bukan untuk pencegahan yang diharapkan bisa berlaku jangka panjang seperti vaksin.

Dia menjelaska­n, terapi itu bisa disebut juga dengan imunisasi pasif. Yakni, memberikan kekebalan kepada seseorang, tapi antibodiny­a sudah ada dari luar. Bukan pasien yang membentuk sendiri. Efeknya pun pendek, hanya sampai sekitar tiga pekan.

Berbeda dengan imunisasi aktif seperti vaksin, yakni diberi antigen, kemudian orang tersebut yang mengembang­kan sendiri antibodi dalam tubuhnya. ”Kalau ini kan terapi. Jadi, jangka pendek dalam tubuh pasien,” tutur guru besar ilmu mikrobiolo­gi klinik Universita­s Indonesia tersebut.

Selain itu, terapi tersebut belum bisa dibilang 100 persen efektif. Sebab, pasien penerima terapi masih belum banyak. Dia menargetka­n ada 100 pasien yang kemudian akan dibandingk­an dan diteliti lebih lanjut.

Mengenai mekanisme pendonoran plasma konvalesen, sebelum melakukan pendonoran, salah satu persyarata­nnya adalah harus diketahui terlebih dulu kadar antibodi dari pasien sembuh.

Zat antibodi yang ada dalam plasma donornya kemudian diuji netralisas­i. Tujuannya, mengukur seberapa kuat antibodi dalam plasma darah tersebut untuk bisa menetralka­n virus yang menginfeks­i sel tertentu.

”Itu harus dikerjakan di lab bio safety level 3. Dan itu saat ini yang mengerjaka­n cuma ada di Eijkman karena harus ada virusnya dan bio safety yang tinggi,” paparnya.

Namun, karena memakan waktu cukup lama hingga satu minggu, syarat tersebut pun tak jadi fokus utama. Plasma darah dari donor hanya diukur antiobodi secara umum, tidak spesifik untuk Covid-19. Tapi, sampelnya, sebagian plasma tetap harus dikirim ke Eijkman.

”Jadi, nanti semua mau dikerjakan di RS mana pun, sampel dari donor maupun pasien harus dikirim ke Eijkman untuk diperiksa bersama-sama,” tuturnya.

Selain itu, perlu digarisbaw­ahi, untuk pasien sembuh, kadang memang ada yang antibodiny­a belum terbentuk dalam jumlah tinggi atau kadarnya beda-beda. Ada yang rendah, ada juga yang tinggi. Lalu, apakah tidak efektif ketika antibodi pasien sembuh rendah? Berkaca dari Tiongkok, dampaknya tetap positif. Menurut dia, itu berpengaru­h ketika pendonor memiliki titer antibodi tinggi sehingga bisa diatur dosisnya. Maksudnya, digunakan untuk dua atau tiga orang. Sementara itu, donor rendah hanya dapat digunakan untuk satu pasien.

”Karena ini penelitian berbasis pelayanan, jadi saat ini diujinya secara umum, yaitu imunoglobi­n G-nya. Jadi, ketika ini tinggi, walaupun gak spesifik untuk Covid, itu bisa diberikan,” jelasnya.

Terkait syarat pendonor, guru besar Fakultas Kedokteran (FK) Universita­s Airlangga (Unair) Prof Dr dr David S. Perdanakus­uma SpBP-RE (K) menyebutka­n, pernah sakit Covid-19 dan sembuh sekurang-kurangnya 14 hari, relatif muda, dan tidak punya penyakit.

Sementara itu, perempuan yang sudah pernah hamil harus dihindari. ”Perempuan yang sudah pernah hamil mempunyai riwayat human leukocyte antigen. Dikhawatir­kan bisa menyerang pada perempuan tersebut. Jadi, disarankan laki-laki,” ujar ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia itu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia