New Normal dan Akhir Pandemi secara Sosial
HIDUP di tengah pandemi adalah hidup di tengah ketidakpastian dan risiko. Ketidakpastian dan risiko fatal dari pandemi Covid-19 telah memicu juga satu pandemi lain berupa pandemi ketakutan (pandemic of fear) di tengah masyarakat.
Rasa takut itulah yang memberikan efek spiral pada dampak awalnya di bidang kesehatan dan kemudian mengakibatkan krisis multidimensi di semua aspek kehidupan sosial ekonomi J
Negara wajib menyediakan informasi akurat tentang Covid-19. Keakuratan informasi dan program edukatif masif sangat dibutuhkan untuk memberdayakan warga negara memasuki era new normal.”
Suko Widodo
Ketua Pusat Informasi dan Humas Universitas Airlangga
Takut juga yang menjadi penyebab pembatasan dan karantina sosial, yang kemudian mengakibatkan berhentinya proses produksi dan jatuhnya konsumsi. Hingga menekan ekonomi pada titik nadir.
Berbagai ketidakpastian dan risiko tersebut hanya bisa ditekan melalui tes secara masif serta ditemukannya vaksin yang efektif dalam mencegah dan melawan virus Covid-19. Selama dua hal itu tidak terjadi, segala aktivitas dan kegiatan sosial memiliki risiko.
Bagi Indonesia, risiko yang ada belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Informasi hingga 6 Juni 2020 menunjukkan, jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 terus meningkat. Bahkan, untuk keduanya, Indonesia termasuk tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Di posisi kedua teratas setelah Singapura.
Dengan sederet kerusakan yang ditimbulkan, pertanyaannya, kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir? Dari sejarah yang ada, satu pandemi akan berakhir untuk dua alasan: alasan medis dan alasan sosial.
Pandemi berakhir karena alasan medis dengan ditemukannya vaksin yang bisa memberikan kekebalan untuk melawan virus. Sementara secara sosial, pandemi berakhir bila masyarakat sudah mencapai satu tahap ketika frustrasi dan lelah terhadap rasa takut yang disebabkan pandemi memunculkan keberanian untuk memulai aktivitas walau dengan segala risiko yang ada.
Dari segi medis dan pengobatan, puluhan bahkan ratusan upaya tengah dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk menemukan vaksin yang bisa memberikan kekebalan terhadap Covid-19. Namun, ikhtiar tersebut membutuhkan proses. Mereka yang paling optimistis pun menyebutkan bahwa paling cepat baru pada awal 2021 vaksin yang efektif melawan Covid-19 bisa ditemukan. Selain itu, selalu ada kemungkinan untuk gagal dan tidak ditemukan vaksin sama sekali.
Sejarah pandemi adalah juga sejarah pertarungan antara satu virus yang mematikan dan kemajuan pengetahuan manusia di bidang pengobatan dan medis. Fakta yang tidak menyenangkan adalah pertarungan itu lebih sering dimenangi virus. Satu hal yang menunjukkan betapa lemah dan selalu tertinggalnya kemajuan peradaban manusia di bidang pengobatan dan medis dibanding penyakit baru yang muncul.
Dalam sebuah artikelnya belum lama ini, Gina Kolata, jurnalis sains terkemuka Amerika, menulis bahwa dalam sejarah sangat jarang ditemukan vaksin efektif melawan virus yang mengakibatkan pandemi besar yang menewaskan ratusan ribu sampai jutaan manusia seperti bubonic plague (black death), flu Spanyol 1918, dan flu Hongkong 1968. Bahkan, menurut Gina, virus penyebab pandemi flu Hongkong 1968 masih ada dan hidup sampai saat ini di dunia sebagai penyakit flu musiman. Tanpa pernah ditemukan vaksin yang memberikan daya imun.
Alhasil, tidak mengherankan bila sebagian besar pandemi di dunia berakhir bukan karena alasan medis dengan ditemukannya vaksin, tetapi mayoritas pandemi berakhir karena alasan sosial. Frustrasi terhadap kerusakan dan kelelahan akan rasa takut terhadap pandemi membuat masyarakat memberanikan diri melanjutkan kembali aktivitas sosial ekonomi.
Demikian pula agaknya yang akan terjadi dengan pandemi Covid-19. Ia akan berakhir lebih dulu secara sosial ketimbang secara medis. Terbukti, sudah banyak negara yang berangsur membuka diri dan melakukan relaksasi dari pembatasan serta karantina sosial. Termasuk Indonesia yang mencoba bertransisi meski pandemi masih tinggi.
Tentu langkah tersebut menimbulkan perdebatan sengit. Para ahli medis dan kesehatan dengan alasan keselamatan nyawa publik keras menolak langkah pelonggaran. Sementara sebagian elemen lain masyarakat, yang dimotori kalangan pengusaha, dengan alasan ekonomi mengadvokasi diakhirinya pembatasan dan karantina sosial.
Satu perdebatan yang rumit karena kedua pihak memiliki alasan yang sama-sama kuat. Namun, sebagaimana biasanya, argumen yang bersandar pada alasan ekonomi hampir selalu saja dimenangkan dalam sebuah perdebatan kebijakan publik.
Untuk itu, new normal tampaknya adalah sebuah keniscayaan. Sebab, suka tidak suka, diakui atau tidak, pandemi Covid-19 akan segera berakhir, setidaknya secara sosial. New normal sendiri adalah hidup dengan tetap melakukan berbagai aktivitas sosial ekonomi –walau menerapkan beberapa protokol tindakan untuk meminimalkan risiko penularan. Satu hal yang menuntut perubahan pada pola rutinitas dan kebiasaan dalam berbagai aktivitas sosial ekonomi.
New normal berisiko pada meningkatnya kembali penularan virus Covid-19 sebagaimana pengalaman di beberapa negara. Di Korea Selatan, misalnya, new normal meningkatkan kembali penularan virus Covid-19 atau lazim disebut sebagai pandemi gelombang kedua (second wave). Akibat second wave pandemi, otoritas Korea pun menunda new normal serta memperpanjang kewajiban pembatasan dan karantina sosial bagi rakyatnya.
Namun, new normal tidak selalu gagal. Contoh kasus di Asia adalah Hongkong yang sukses menerapkan new normal dan menghindari second wave dari pandemi. Begitu juga beberapa negara di Eropa seperti Austria dan Jerman yang berhasil menerapkan new normal dengan tidak adanya lonjakan kasus penderita Covid-19 terkonfirmasi.
Kesuksesan beberapa negara itu pada intinya bersandar pada dua hal: terus dilakukannya pengujian, pelacakan, dan pengobatan (testing, tracing and treat
ment) secara masif kepada penderita dan diduga penderita Covid-19. Serta adanya disiplin tinggi dalam menerapkan protokol kesehatan di berbagai aktivitas.
Hal pertama sangat bergantung pada pemerintah di pusat dan daerah dalam menyediakan fasilitas untuk pengujian, pelacakan, dan pengobatan secara menyeluruh serta terjangkau karena sifatnya yang sudah menjadi barang publik. Sementara hal kedua balik pada kesadaran individu pribadi masingmasing untuk tidak lengah dan tetap berdisiplin menerapkan protokol yang ada dalam beraktivitas kembali.