Kerusuhan Rasial dan Obsesi Trump
SIKAP dan tindakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam menghadapi kerusuhan rasial –akibat kematian George Floyd– yang terjadi selama dua minggu terakhir ini tentu didasari kepentingan agar terpilih lagi sebagai presiden pada pilpres awal November nanti. Dalam kajian politik ada rumus S=f-(Kp+Kk) (Sikap adalah fungsi kepentingan dan kekuatan). Pada Pilpres 2016 Trump mendapat dukungan mayoritas warga kulit putih (54 persen) dan hanya 6 persen dari warga kulit hitam. Berbeda dengan Hillary Clinton yang dipilih 91 persen warga kulit hitam dan 39 persen dari kulit putih.
Jadi, kepentingan Trump adalah menjaga kesetiaan pemilih kulit putih yang jadi kekuatannya selama ini. Menurut rumus politik itu, Trump tidak merasa perlu membela kepentingan kulit hitam dan tak mungkin mengabaikan, apalagi menentang, kepentingan kulit putih. Untuk diketahui, mayoritas pemilih kulit putih yang memilih Trump adalah mereka yang konservatif, senior, dan yang tingkat pendidikannya tidak tinggi. Sementara yang liberal dan berpendidikan tinggi cenderung memilih Hillary.
Sebenarnya sikap Trump tidak seekstrem seperti diberitakan di media massa, apalagi di medsos. Secara normatif, ia menghubungi keluarga George Floyd, atas nama bangsa mengucapkan simpati dan ikut berbelasungkawa. Trump juga menyatakan sedih melihat video penganiayaan polisi atas Floyd itu.
Ia juga menjanjikan keadilan (justice will be served).
Tetapi, sikap kurang toleran kepada kaum kulit hitam tak sulit dilihat. Trump tidak eksplisit mengutuk polisi yang melakukan penganiayaan itu. Ia juga lebih memfokuskan pada penjarahan daripada mempersoalkan salah atau benarnya tindakan polisi. Atau soal mengapa empat polisi pelaku hanya dibebastugaskan. Trump menyebut wali kota Minneapolis sebagai ”tidak punya kepemimpinan sama sekali” dan memintanya segera mengatasinya. Bila tidak mampu, Trump akan menggunakan kekuasaannya untuk mengerahkan tentara federal ke Minneapolis dan kota-kota yang dirundung kerusuhan serta penjarahan. Ucapnya, ”When the looting starts, the shooting starts (ketika penjarahan mulai, penembakan mulai).”
Selain itu, Trump menuduh Joe Biden, kandidat presiden dari Partai Demokrat, ikut memanas-manasi situasi. Dan terakhir, Trump sengaja membanggakan keberhasilan menambah kesempatan kerja dengan mengatakannya sebagai ”a great day” untuk Floyd.
Trump memang piawai mengolah fakta sesuai kepentingannya. Kita tidak tahu apakah penjarahan di berbagai kota besar di Amerika itu muncul spontan dari para demonstran. Bisa jadi itu hasil operasi intelijen untuk menggeser isu: dari pembunuhan Floyd menjadi penjarahan.
Apa pun yang sebenarnya terjadi, isu utama tindakan brutal bersifat
Apa pun yang sebenarnya terjadi, isu utama tindakan brutal bersifat rasial memang mampu bergeser menjadi isu kerusuhan dan penjarahan. Artinya, ada perubahan korban: semula korban di pihak kaum hitam karena tindakan eksesif petugas polisi, menjadi bergeser ke para pemilik toko yang dijarah sebagai korban karena aksi brutal dan menjarah dari pemrotes. rasial memang mampu bergeser menjadi isu kerusuhan dan penjarahan. Artinya, ada perubahan korban: semula korban di pihak kaum hitam karena tindakan eksesif petugas polisi, menjadi bergeser ke para pemilik toko yang dijarah sebagai korban karena aksi brutal dan menjarah dari pemrotes.
Kemudian, pada saat ini Trump tercatat berhasil menambah lapangan kerja baru. Departemen Tenaga Kerja AS mengumumkan (5/6), ada tambahan 2,5 juta pekerja baru. Penambahan pekerja baru itu tentu menjadi ”kekuatan” baru untuk mewujudkan obsesinya terpilih kembali di pilpres November nanti. Para warga kulit putih yang setia mendukungnya tentu lebih kuat memegang Trump untuk jabatan kedua.
Tetapi, keistimewaan ”berita penambahan 2,5 juta pekerja” itu justru muncul bersamaan dengan berita adanya jajak pendapat yang melaporkan bahwa Biden unggul atas Trump. Di tengah kerusuhan akibat kematian Floyd saat ini, popularitas Biden justru meningkat untuk kali pertama mengungguli Trump. Sejak Maret Trump selalu unggul atas Biden. Sampai akhir Mei lalu, Trump masih unggul dengan 46 persen atas Biden (39,9 persen). Tapi, sejak 5 Juni, kans menang Biden menjadi 47,3 persen. Sementara kans Trump turun 2,2 persen, jadi 43,8 persen.
Kekalahan Trump mungkin memuaskan mereka yang kecewa dengan kemenangan Trump empat tahun lalu. Pada Pilpres 2016, hampir semua pengamat, inteligensia, serta editor media massa menolak Trump dan mendukung
Hillary Clinton. Akal sehat mereka menolak Trump jadi presiden karena menganggapnya tidak menghayati nilai-nilai keutamaan bangsa Amerika. Plus karena omongannya yang sinis, rasis, kasar, dan agresif.
Misalnya, tim editor Washington Post (13/10/16) menulis endorsement seperti ini: ... Donald Trump is dreadful, that is true –uniquely unqualified as a presidential candidate (Donald Trump itu mengerikan, itu benar –uniknya tidak pantas sebagai kandidat presiden). Juga tim editorial The New York Times (24/9/16) yang membuat endorsement senada dengan Washington Post.
Tetapi, Trump mampu melawan arus opini. Dengan politik populisnya ia menakut-nakuti warga kulit putih yang uneducated dan ultrakonservatif dengan mengatakan bahwa mereka adalah korban dari perkembangan globalisasi dan dari para pendatang dari luar.
Sebenarnya Trump bukan anomali. Ada Narendra Modi di India dan Jair Bolsonaro di Brasil yang berhasil memainkan politik populis yang pada dasarnya rasis! Kita menunggu apakah Trump mampu terpilih lagi dengan politik populisnya yang secara mendasar tidak sesuai dengan nilai-nilai keutamaan Amerika itu.
I BASIS SUSILO *)
*) Pengampu mata kuliah sistem politik AS di FISIP Universitas Airlangga