Tanamkan Lari sebagai Kebutuhan agar Tetap Konsisten
Makin lama, lari mendarah daging bagi Endi Yuniarmoko. Hobi sejak SD itu kini berubah jadi kebiasaan harian. Hingga mengantarkannya ke banyak race, teman-teman baru, dan pengalaman seru.
LARI Malang-Surabaya dua kali dilahap Endi. Jarak 100 kilometer itu dia selesaikan dalam waktu 21 jam. Bukan hanya itu, ultramarathon lain sebenarnya juga sudah dia ikuti. Jika ditengok lebih dalam, Endi sebenarnya sudah lama jatuh cinta pada lari. Sejak sekolah dasar, Endi hobi lari. ”Cuma, mungkin dulu belum ada yang mengarahkan, jadi ya begitu saja,” kata dia.
Kini lari sudah lebih diseriusi Endi. Deretan acara maraton seperti Jogja Marathon, Bali Marathon, Surabaya Marathon, dan Jakarta Marathon pernah dia jajal minimal satu kali. Hingga akhirnya Endi menjajal ultramarathon.
Lalu, seperti apa formula latihan yang dibuat Endi? Pria yang berdomisili di Malang itu selalu membuat target bulanan. Target tersebut makin ketat menjelang hari H race. ”Dua bulan sebelumnya itu pasti ketat,” ucap dia. Agar bisa menyelesaikan target
ultramarathon-nya, Endi menetapkan angka 130 km sebagai menu total satu bulan.
Angka tersebut kemudian diecer dalam latihan harian. Biasanya, Endi menggunakan empat hari dalam seminggu untuk latihan lari. Minimal 10 kilometer harus dia selesaikan sebelum pergi kerja. Sedangkan akhir pekan dia gunakan untuk long run sekitar 21 kilometer. Rute pilihan Endi biasanya keliling Kota Malang saja. Yang jelas, waktunya harus pagi supaya bisa lari dengan tenang dan dapat udara segar. ”Apalagi saat pandemi seperti ini. Memperkecil papasan dengan orang juga karena sepi,” ucap dia.
Untuk menunjang lari, Endi juga memasukkan beberapa menu
workout. Ada push-up, sit-up, plank, dan latihan beban kaki. ”Lebih banyak di rumah. Nge-gym itu insidental aja karena terbatas kerjaan,” tutur pria yang bekerja sebagai karyawan swasta tersebut. Menu itu biasa Endi lahap saat tak ada jadwal lari. Dia melakukannya dua kali dalam seminggu.
Endi tak terlalu mengatur asupan gizi sebagai pendamping latihan. Tak ada diet khusus yang dia buat. Tapi, pria 42 tahun itu punya kebiasaan minum susu segar tanpa pengawet seusai lari. ”Kan otot kita perlu protein setelah latihan. Di samping itu, untuk menjaga tulang kita,” tambah dia.
Dia mengakui, menjaga konsistensi adalah tantangan terberat menuju ultramarathon. ”Apalagi, sebagian orang mikir, ngapain capek-capek lari sehari semalam? Nggak ada manfaat,” ucapnya. Padahal, lari jarak jauh sebenarnya melatih mental dan fisik.
”Kita dilatih sabar, dilatih tak kenal putus asa,” lanjut dia. Sikap-sikap tersebut tidak hanya bermanfaat dalam lari, tetapi juga bisa diterapkan untuk keseharian. Di bidang pekerjaan atau lainnya. Jadi, ultramarathon bukan hal sepele bagi Endi. ”Memang sih awal-awal lihat teman, kok bisa ya lari sejauh itu? Penasaran,” tutur dia. Hal itu pula yang memotivasi dia untuk mulai menambah porsi latihan. Setelah mulai percaya pada kemampuan sendiri, Endi meyakinkan diri untuk mendaftar dan menjajal jarak 100 kilometer. ”Lega sekali karena pas itu bisa selesai dan tanpa cedera lho. Jadi mau lagi, mau lagi,” kata dia.